Minggu, 18 Oktober 2015

Terimakasih Untukmu, Rizky



Aku tak pernah mengira bahwa kado terindah selain mereka, adalah darimu.
Sederhana. Tapi caramu mengemasnya mampu menyapulenyapkan takut yang menderu. Agar tak ada kehilangan. Aku takut hal sama terulang lagi. Darimu, aku belajar bahwa tulisan yang apik butuh waktu agar bisa mengingat setiap kesan yang membekas. Bahkan berulang kali ku baca setiap untai kata di dalam ini, ku dapati sepasang mata yang basah. Ia berkaca. Melihat banyak temanmu yang mau sekadar memberi ucapan, aku bersyukur karena disana kau tidak sendiri. (Plz artikan yang mereka bilang-_- wkwk)
Kau tahu, rengkuhan yang kerap kau sampaikan lewat suaramu mampu mengatupkan sesak seketika, memberi lega dan tenteram untuk waktu yang lama. Kala aku tersandung disini lalu menceritakannya padamu, aku terlelap, kemudian menyadari bahwa sebenarnya aku tidak sendiri. Maaf karena aku kerap menambahkan keluh padamu. Maaf karena apapun wujud cideraku, aku masih saja lupa, bahwa kau disana juga berusaha meredam masalahmu.

Kala aku bersedih nanti, aku berjanji akan melihat ini.



Kala aku lelah menempuh cita nanti, aku berjanji akan mengingat ini.


Dan ini



Dear, kau ingat betapa banyak tetesan air matamu saat kau kalah menghadapi sesuatu? Atau kau menangis saat citamu tidak sampai akhir? Atau kau gagal menyampaikan tulisanmu ke penerbit? Hmm. Sungguh! Aku malu kala itu karena belum pernah melakukan sesuatu sepertimu.

Dear, kau ingat saat aku tahu bahwa untuk pertama kalinya kau berkunjung ke negeri sebelah Australia? Atau saat kau mempersiapkan sepenuhnya mendapatkan bangku di negeri Beruang Putih lalu mengubah jalur dan kini menempuh pendidikan di negeri Al-Fatih? Atau saat kau dilema memilih untuk berkunjung ke Hongkong pun Slovakia? Hahaha. Tahukah kau dear, betapa bangganya aku? Karenamu, aku mengerti bahwa pada akhirnya akan indah, bahwa gagal adalah bukti bahwa kita pernah belajar, aku juga percaya bahwa masa depan sungguh ada dan pengharapan tidak akan pernah hilang. 

Ingat tulisan ini ? Di tanggal yang sama kau menyampaikannya padaku. 


Dear, terimakasih karena masih memberi ruang dalam ingatanmu. Terimakasih karena masih menyempatkan diri untuk mendoakan, menyusun kado terbaik untukku. Terimakasih telah mengajarkanku banyak hal, terutama arti perjuangan. Terimakasih telah mendekap di dekatku hingga bertahun dan telah menjadi bagian dari hidupku. Terimakasih karena pernah menjadi sahabatku, bahkan hingga detik ini. Juga terimakasih untuk rekan-rekanmu disana, sampaikan salamku untuk mereka. Mungkin pikirmu, terimakasih hanya sekadar kata, tapi bagiku itu bisa mewakili semuanya, saat tak ada yang benar-benar bisa ku lakukan. Percayalah, aku akan selalu ada untukmu. Percayalah, kita-akan-baik-baik-saja. Percayalah kelak kita-akan-mengenakan-toga-yang-sama. Toga hasil perjuangan J


Tertanda,


Sahabat yang merindukanmu, Onix Octarina.

Semarang, 16 Oktober 2015. 







Selasa, 29 September 2015

Bagaimana Rumah Nyaman Bagimu ?

Bagaimanakah rumah nyaman bagimu? 
Seperti ini? 



Atau seperti ini?

(Sumber foto : twitter)


Rumah nyaman seyogyanya merupakan hunian yang mengutamakan kualitas hidup, efisiensi penggunaan energi, pengembangan sumberdaya manusia dan memberi manfaat ekonomi. Perumahan CitraRaya Tangerang merupakan salah satu perwujudan pengembangan kota terpadu terbesar oleh Ciputra Group, dengan luas pengembangan sebesar 2.760 Ha.
Rumah idaman bagi hampir semua kalangan masyarakat adalah perumahan dengan karakteristik berkelanjutan. Masyarakat tentu memikirkan tentang cara untuk tinggal lebih nyaman di wilayah perkotaan melalui pencapaian konsep desain yang mementingkan pemberdayaan lingkungan. Kondisi perkotaan atau suburban seperti Tangerang menjadikan masyarakat memilih wilayah permukiman yang memiliki pola perancangan yang ekologis dan memberikan fasilitas yang dapat mendukung kesehatan serta gaya hidup layak bagi penghuninya.  
CitraRaya yang merupakan perumahan yang mulai berdiri tahun 1994 dan telah mengalami pertumbuhan  sangat pesat menghadirkan ratusan fasilitas pendidikan, rekreasi, kesehatan, agama dan retail untuk memenuhi semua kebutuhan warga di dalam dan sekitarnya. Konsep Kota Humanis yang mempertimbangkan faktor kemanusiaan, dengan konsep smart growth, ramah lingkungan dan layak huni tercermin dari Kawasan CitraRaya ini. Terbukti semakin meningkat dengan pembaharuan komitmennya untuk mengedepankan konsep kota yang berkesinambungan, yakni melalui peluncuran program EcoCulture di tahun 2011.
EcoCulture merupakan program revitalisasi yang bertujuan untuk membangun budaya cinta lingkungan di semua kalangan. Sebagai komitmen pada program ini,  berbagai event yang bertemakan EcoCulture baik itu untuk umum maupun komunitas pun telah terselenggara. Selain itu, CitraRaya juga telah membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur yang berpedoman pada EcoCulture.
Perumahan yang memiliki fasilitas taman kota yang luas, klub keluarga, sekolah, sarana ibadah dan rumah sakit juga telah direposisi menjadi “green community” yang mengadopsi konsep bangunan berkelanjutan dan mendorong masyarakatnya untuk menerapkan gaya hidup “green”.
CitraRaya menyadari bahwa transportasi merupakan sesuatu yang vital dalam menopang kegiatan sehari-hari masyarakat, baik penghuni maupun yang berada di sekitar CitraRaya. Oleh karena itu, demi kemudahan aksesibilitas, CitraRaya meluncurkan armada bus TRANS CitraRaya untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan transportasi bagi penghuninya, dengan banyak rute yang bisa dijangkau mulai dari Jakarta, Tangerang, Bandung, dan lain-lain.

( Sumber Gambar: CitraRaya )
CitraRaya Tangerang agaknya mempunyai visi yang serupa dengan kota berkelanjutan atau kota komprehensif yang mendukung aktivitas sehat dan ramah lingkungan sekaligus kebersamaan penghuni. Hal ini dapat dilihat dari penyediaan jalur sepeda di sepanjang CitraRaya Boulevard yang lengkap dengan rambu-rambu sepeda. Dalam rangka menghemat energi listrik, CitraRaya tengah mengganti fasilitas penerangannya dari lampu TL (fluorescent) ke LED. Selain itu, memperbaiki rangka dasar jalan adalah salah satu hal yang dilakukan oleh CitraRaya untuk menjamin kelancaran dan ketertiban lingkungan. Tenaga surya, sebagai satu sumber daya energi yang dapat diperbaharui (renewable) dan ramah lingkungan ternyata juga dimanfaatkan sebagai alternatif tenaga listrik.

( Sumber Gambar: CitraRaya )

Konsep Kota Humanis semakin jelas dari fungsi utama kawasan rumah tinggal di CitraRaya, tidak hanya dilengkapi dengan sarana dan prasarana didalamnya, kawasan CitraRaya juga memiliki  kemudahan akses lokasi dan bebas banjir.
Aspek keruangan kota yang baik tidak hanya berhubungan dengan ruang terbuka hijau atau lingkungan hidup, tetapi merupakan rencana fisik dan ekologi kota yang sesuai dengan kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya dari masyarakat dengan mempertimbangkan kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi (Wunas, 2011). Sama halnya dengan konsep perumahan ideal CitraRaya Tangerang, kawasan komersil seperti Grand Arcade, Little Ginca, dan Sentra Niaga menjadikan kawasan ini memiliki pengembangan sumberdaya manusia. Pun dengan wisata Tangerang, CitraRaya juga menyediakan fasilitas pendukung agar masyarakat yang tinggal di dalamnya tidak merasa jenuh dengan rutinitas sehari-hari, seperti CitraRaya Office Park, Garden Boulevard, Sport & Leisure, waterpark dan themepark. Selain berkualitas dengan lingkungan yang sangat nyaman dan asri, rumah tinggal di CitraRaya juga merupakan investasi yang sangat berharga.

( Sumber Gambar: CitraRaya )

Referensi tambahan:
Wunas, Shirly. 2011. Kota Humanis: Integrasi Guna Lahan & Transportasi di Wilayah Suburban. Brilian Internasional: Surabaya. 

Kata Kunci : Kota Humanis, Nyaman

#Diikusertakan dalam Writing Competition CitraRaya : 557 kata




Sabtu, 19 September 2015

Di Bawah Matahari




“Apa yang kau lihat ?”
“Ikan serapu, mutiara hijau, kerang putih. Sepertinya cukup untuk hari ini. Bagaimana denganmu?”
-Diam-
“Apa yang kau dapat?”
“Belenggu.”
“Hah?”
“Pernahkah kau sadari, disaat semua penjuru yang tertangkap oleh mata adalah baik adanya, tetapi masih ada belenggu yang mengikat keadaan? Disaat yang kita lihat adalah keindahan, tetapi masih ada keprihatinan, masih ada yang membutuhkan uluran tangan.”
“Apa maksudmu?” 
“Lihatlah itu...”
-Diam-
“Oh, tidak! Apa yang ia lakukan? Mengais sampah? Tidakkah dipikirnya itu membahayakan tubuhnya yang mungil? Kemana ibunya? Ayahnya?”
“Entahlah.”
“Tidakkah dipikirnya kalau malam ia akan kedinginan? kalau siang ia butuh perteduhan? Kalau lapar ia butuh asupan?”
“Tidak. Ia hanya butuh didengarkan. Saat semua orang menghamburkan limbah, ia yang memungutnya. Saat semua orang membuang bahagia dengan percuma, ia justru mengemis penuh iba. Saat orang serakah merampas kuasa, ia justru tak punya tujuan untuk sedikit pun berteduh.”
Keduanya bergeming. Memperhatikan apa lagi yang akan dilakukan gadis kecil itu.
“Ku pikir sepanjang semesta hanya ada keanekaragaman alam, ku kira hanya lautan biru. Miris!”
“Kau lihat! Ia minum dari botol itu! Tidakkah ia tahu bahwa air yang tidak bersih itu tidak menyehatkan tubuh?”
“Hmm.”
“Apa yang harus kita lakukan? Haruskah diam?”
“Bagaimana kalau presipitasi? Setidaknya aku bisa memberinya cukup air.”
“Ide bagus! Aku akan mengatakannya pada matahari untuk membantu evaporasi, energinya pasti cukup.”
“Saat uap air sudah masuk kedalam tubuhku, ku harap kau cepat membawaku dengan awan yang lain untuk menggabungkan diri sampai terjadi koalensi.”
“Baik. Bersiaplah untuk perbedaan tekanan udara nantinya.”
“Tapi, tunggu. Apakah kau juga siap saat gravitasi menarikmu ke bawah hingga jatuh ke permukaan? Kau siap kehilangan dirimu sendiri?”
“Untuk menghilangkan dahaga anak itu, aku siap.”
“Baiklah.”


Diikutkan untuk meramaikan #Prompt 88- Hear Me Out
nb: Prompt pertama di semester 3 setelah sekian lama tidak tertantang hahaha-_-


Jumat, 11 September 2015

Gudang Transit


Aku lupa entitasnya, serupa apa dia? Mungkin hanya pikiran yang terus saja dibubuhi rasa bersalah, atau sesuatu yang samar, sulit untuk dilihat oleh kasat mata: hati yang hablur. Hahaha. Cepat sekali dia mengkristal?

Pelak. Kau keliru. Dia hanya belum ingin menampakkan diri, belum berani memandang mentari kala biasanya, belum berani berdiri memaki salah, ya, karena dia yang melukis salah. Dia kecolongan!

Kau tahu kapan tiba saatnya ia mengalah pada waktu?

Dia hanya ingin mengakui keadaan, bahwa luka yang ditorehnya masih basah. Hanya butuh waktu untuk lupa, hanya ingin menyibukkan diri hingga tiba saatnya hati yang hablur kembali hangat J

Maksudmu, mereda karena mengikuti intuisi?

Kau benar. Ia tidak menghilang, tenang saja. Hanya sedang mencari gudang transit, meluapkan apa yang dirasa, dan setelah itu melanjutkan perjalanan, merengkuh hingga sampai ke tujuan, ke arah mana hati berlabuh.

Sehari semalam aku terkatung-katung menunggunya kembali, bahkan dahaga pun entah berapa kali meraja. Kapan ia pulang? Berhenti untuk diam?

Nanti. Bila nama dinyatakan. Bila ia sudah lupa... 
Ia akan menyemat harapan lagi, seperti biasanya J

  


Teruntuk Onix Octarina,

Belajarlah menghargai pagi, selelah apapun malam, ia akan datang lagi. 

Minggu, 21 Juni 2015

Teruntuk Puan yang Kerap Meninggalkan Jeda,



Teruntuk puan yang baru saya kenal kemarin sore,
Saya lupa entah sejak kapan saya bisa berekspresi sebebasnya dihadapanmu. Terkadang disaat kau merasa begitu lelah menghadapi waktu, aku justru memaksamu untuk mengeja ingatan. Setiap cela dalam baris di pikiran. Aku selalu mendesakmu hingga kau ingin sekali terlelap begitu saja. Kau tahu, bukan karena lakumu yang lupa menapakkan jejak karena kesibukan, tapi justru aku yang waktu itu memaksakan pelangi agar tiba lebih awal. Memaksakan keadaan harus begini dan begitu. Maaf untuk kata-kata menyebalkan yang kerap saya lontarkan, bahkan peluh yang sering saya tambahkan padamu.

Teruntuk puan yang kerap meninggalkan jeda,
Kau selalu saja begitu, meninggalkan jeda lalu lupa untuk melanjutkannya.
Entah bagaimana caranya saya bisa menanggalkan rutinitas. Kau tahu untuk apa? Untuk menunggu ceritamu kembali, yang kerap tidak kau selesaikan, yang lupa kau beri titik pada ujungnya. Hahaha. Konyol bukan?
Kau mengingatkanku pada seseorang dengan nama Faradina. Kemiripan itu membuat saya ingin tahu tentangmu lebih banyak. Saya lupa pernah melakukan kesalahan apa hingga ia menghilang hanya dalam satu sapuan ombak. Kalian persis. Sama-sama mengajarkan saya banyak hal, terutama tentang warna.

Kepadamu puan penyejuk pagi,
Katamu waktu itu, kau adalah embun yang dingin dan telah kering. Ingat saat itu kita beradu mulut? Saya mengakui kesetiaan senja, lalu kau menimpali. Oh tidak, aku tidak ingat sudah berapa banyak perbedaan argumen yang terselip di setiap percakapan-_-
Berapa pun itu, saya tidak acuh, karena pada dasarnya kau mengajarkan saya untuk lebih berani. (berani menghadap senior maksudnya hahaha :p)

Beginilah saya yang selalu lupa mengkhawatirkan perasaanmu saat kalimat demi kalimat bebas saya ucapkan.
Beginilah saya yang kerap lupa harus memilah kata demi kata untuk saya ajukan.
Beginilah saya yang punya semangat tapi butuh penyemangat.
Inilah saya, Onix Octarina.

Kepadamu puan si pelupa,
Menangislah, jika memang yang kau ceritakan waktu itu menyakitkan. Akuilah, jika memang luka itu ada, agar kau tidak lupa untuk melunak pada luka. Kau yang pelupa, kerap menganggap luka yang menganga ialah biasa.  Kau yang pelupa, kerap membiarkan cemas mendidih tiap malam.

Kepadamu puan tanpa nama,
Selamat ulang tahun untuk yang kesekian kalinya, selamat menempuh pendidikanmu yang saat ini ada di depan mata, selamat berhak bahagia di usiamu yang tak lagi muda :p
Tetaplah menjadi Anisa Rachmawati aka Mb Anon yang saya kenal: menyebalkan, jahat, tetapi penuh dengan warna. Tetaplah menjadi kakak yang baik untuk saya, yang sabar menghadapi saya, pun omelannya hihi.
Semoga jutaan kata “aku baik-baik saja” akan terus menjajah isi kepalamu hingga pagi tiba dan malam kembali.




I’ll be there.
Tertanda,


Bunga yang manis J



Nb: Pegel ya nulis sepanjang ini pft-_-“

Senin, 08 Juni 2015

#Prompt80 - Dialah Aku



Uziel membawakan secangkir Kopi Robusta di atas tatakan, ia melangkah ke arah teras dengan sangat hati-hati.
“Jadwalnya minggu ini kek. Saya boleh naik gunung kan?” Uziel meletakkan kopi itu di atas meja di sisi kakeknya yang sedang fokus membaca berita terhangat minggu ini, lalu duduk manis di kursi persis di sebelah meja.
“Saya nggak sendirian kok.” Sejak tadi malam pemuda jangkung ini terus saja membujuk kakeknya untuk memberi izin.
Kehadiran si pemuda tidak digubris sama sekali. Sang kakek masih saja sibuk dengan korannya , ia sesekali menyeruput Kopi Robusta yang masih hangat.  
“Kau pantas jadi Barista,” sang kakek menimpali, suaranya mencerminkan sindiran.
“Ayolah, kek. Aku ingin melihat puncak Semeru. Sekali ini saja.” Intonasi suara yang bersikeras akan keinginannya untuk mengibarkan merah putih di atas puncak gunung merapi itu menggangu kenyamanan si kakek. Ia menatapnya tajam. Uziel hanya tertunduk.
16 Desember 1969,” kata sang kakek memulai pembicaraan yang sepertinya akan panjang, Uziel hanya mendengarkan.
“Mereka menjumpai jasadnya sudah kaku. Semalam suntuk ia lelap berkasur pasir dan batu kecil Semeru. Badannya yang dingin sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Matanya terkatup kencang serapat katupan bibir birunya.”
Uziel bergeming.
“Dia mahasiswa UI yang kakek ceritakan tadi malam?” Pemuda itu antusias dengan kelanjutan ceritanya.
 “Ia mungkin terlahir di masa yang unik bagi Indonesia, saat itu kondisi negara dalam keadaan terpuruk dan kacau akibat jatuh bangunnya kabinet sistem demokrasi parlementer yang membahayakan kehidupan negara.” Kakek terus berbicara, pandangannya kosong.
“Kau tahu apa alasannya melakukan misi pendakian itu?” Uziel menggeleng, ia tidak ingin menebak alasan yang belum pasti kebenarannya.
“Katanya waktu itu... kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Kakek menirukan kalimat itu dengan suara yang lantang seperti berorasi.
Uziel membelalakan mata, ia tidak menyangka bahwa ada mahasiswa seperti demikian.
“Hipokrisi ?” tanya Uziel penasaran.
“Dia seorang demonstran sejati, mengajak teman-temannya untuk menentang ketidakadilan pemerintah Orde Lama, saat itu korupsi dan suap merajalela dalam tubuh pemerintahan dan perusahaan-perusahaan BUMN yang hipokrisi.”
Mata Uziel menyiratkan kebingungan, ia merasa pertanyaannya masih belum terjawab sepenuhnya.
“Perusahaan BUMN? Lantas apa hubungannya, kek?” Ia bertanya lagi.
“Pada masa itu, bukan yang mudah beradaptasi yang akan bertahan, justru yang kuatlah yang memegang kekuasaan.”
Kakek terdiam sesaat, kemudian melanjutkan.
“Kau tahu siapa pimpinan BUMN brengsek kala itu?” Mata sang kakek seperti berbicara, hendak melampiaskan kebenciannya tentang kejadian saat itu.
Uziel menggeleng lagi.
“Airlangga Pane. Dialah seoerang pecundang.”
“Apa?? Aku hanya mengenal satu orang dengan nama itu.” Pemuda itu berharap bukan orang yang ia kenal baik yang dimaksud kakeknya.
“Kau benar. Dialah aku.” 
Uziel terhenyak, masih pada posisi yang sama.
“Lalu siapa mahasiswa itu?” tanya pemuda itu kemudian.
“Soe Hok Gie.”

Note: Alur cerita tidak sepenuhnya benar, riwayat Soe Hok Gie diambil dari sini 
 #Prompt80 – Oligarki-
-481 words-

Rabu, 03 Juni 2015

Kepadamu Puan yang Abadi dalam Ingatan,



Kata Pramoedya, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Begitukah kita?
Kurasa tidak.
Demikian waktu yang cukup lama, aku yakin 4 tahun diksi buatanmu masih tetap sama, tetap layak untuk dinikmati.

Pernah aku mengumpat. Kala itu aku lelah menggapai tujuan, saat berhasil tak bisa diucapkan, tapi aku ingat, kau bilang gagal adalah proses bahwa kita pernah belajar.

Pernah aku nelangsa, merasa salah berada di tempat asing ini, tapi aku ingat, malam itu kau yang ingatkan bahwa tak semua orang punya kesempatan. Aku simpan nestapa itu jauh, hingga bahagia yang kini ku usahakan.

Kau ingat kita pernah bersama menyemat impian yang terlalu tinggi itu? UK, negeri impian? Kala itu aku pesimis karena merasa tidak mungkin untuk menggenggamnya, tapi karenamu aku yakin sebuah perjuangan yang akan membayar.

Banyak hal yang tertimbun dalam pikiranku, seluruh jejak waktu yang pernah kita habiskan bersama. Lantas saat itu kau ceritakan kisah tentang pangeranmu. Ah, aku senang mendengar bahagia itu. Kini, usiamu telah bertambah satu tahun, bukan waktu yang lama untuk menimbang kedewasaan.

Kau tahu bahwa jarak adalah bahaya? Aku takut nantinya kita bisa lupa tentang perjalanan yang sudah dibangun ini, yang tidak semua orang mengetahuinya, bahkan kepada senja saja kita enggan mengumbar.

Tapi kini aku yakin jarak adalah bahaya yang lekas jadi pudar, karena aku selalu ingat katamu waktu itu, kau selalu berjaga, menunggu aku berjalan dari bawah hingga berada disisimu dan mencapai ujung pelangi bersama.

Kepadamu puan yang abadi dalam ingatan,
Selamat ulang tahun untuk yang kesekian kalinya, aku berharap kabarmu senantiasa baik-baik saja, pun mimpi dan cita-citamu.
Apapun kisahmu, ceritakanlah. Aku disini siap menjadi telaga, karena kau adalah perahunya.
Apapun keluh kesahmu, kisahkanlah. Aku disini siap menjadi telaga yang kau ribak dengan airmu.
Selamat menjadi bahagia di hari lahirmu, selamat menjadi Rizky Amallia yang membanggakan di masa depan, selamat menempuh perjuangan bersamaku, sahabatmu.


Senin, 01 Juni 2015

Kepadamu Tuan Si Telaga Biru,



Kepadamu tuan yang abadi dalam ingatan, 
Keraguan senja untuk memasuki masanya kala itu terpampang jelas diantara sudut mata, kira-kira pukul 6 sore, ia tidak berani memancarkan semburat oranye yang cantik dimuka  sebuah rumah berdinding krem. Ia kehilangan nyali, lantas bersembunyi dibalik pohon berkayu yang tinggi.
Kau tahu kenapa?
Karenamu. Pulang tidak tepat pada waktunya adalah hal yang kerap kau sepelekan. Ingat saat itu emosi ibu sudah diluar kendali? Oh iya, aku lupa. Lupa kalau membuat masalah adalah kebiasaanmu.

Kepadamu tuan yang keras kepala,
Pernahkah kau sadari setiap jenjang kehidupan yang kau sia-siakan? Kala itu kau tak pernah mau tahu tentang masa depanmu, tentang apa yang nanti akan terjadi dengan istri atau anakmu kelak.
Ingatkah kau tentang lakumu yang semena-mena dengan keadaan ? Kau terlalu sering membakar isi kepala ayah, bahkan aku, adikmu.
Lalu bagaimana dengan kebiasaanmu tidur larut kemudian bangun disaat matahari tak lagi ada di timur? Oh, tidak. Aku benci dengan itu, aku benci saat aku harus membangunkan dirimu yang ogah-ogahan itu. Ingatkah dirimu saat amarah ibu melebihi kekuatan peluru yang gaungnya berlangsung hanya sepersekian detik itu? Mungkin sangking banyaknya masalah yang kau ciptakan, kau lupa. Lupa sering mengecewakan kami.

Kepadamu tuan yang pertama kali dilahirkan ibu,
Ingatkah kau tanggung jawabmu sebagai penyangga keluarga? Kata Ibu, alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak dihadapan orang lain. Lalu apa tanggapanmu? Kau hanya bergeming.  Tidak pernah lebih baik dari daun Ek yang terbang jauh menyisir-nyisir udara, walau ia selalu senyap sepertimu, tapi ia tahu jalan pulang untuk kembali. Ingat saat ayah mengajarimu tentang kedewasaan? Kala itu kau ugal-ugalan saat menyetir mobil hendak menuju jalan pulang. Ayah hanya memperingatkanmu untuk berjaga-jaga, kalau-kalau kau masih membekukan hati, tak memberi ruang sedikit saja untuk mendamaikan keadaan.

Kepadamu tuan yang tidak pernah ingat dengan waktu,  
Kau tau filosofi kopi? Kata Dee, seindah apa pun huruf terukir, ia tidak dapat bermakna bila tak ada jeda, kita baru bisa bergerak jika ada ruang. Lantas malam itu ayah menasihatimu soal apa yang ingin kau gapai, aku ingat betul beliau memberimu waktu untuk menentukan masa depanmu sendiri. Tetapi apa? Kau tidak pernah acuh untuk itu.  

Kepadamu tuan yang namanya selalu saya ucapkan dalam doa,
Aku tidak tahu apakah kau mengerti tentang diamku beberapa bulan lalu, saat aku kembali ke rumah dan masih kecewa dengan lakumu. Lantas kau ingat kala kita beradu mulut untuk suatu komitmen? Kau terlihat ingin punya masa depan, tetapi apa? Perkuliahanmu saja kau tinggalkan. Menurutmu pantaskah seorang adik memarahi abangnya? Kendati demikian, "Tahukah kau mengapa aku memperhatikanmu lebih dari siapa pun? Karena kau adalah abangku. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Tidakkah kau mengerti bahwa aku, kami sungguh mencintaimu? Itu caraku untuk bisa mengenalmu lebih jauh, tidakkah kau sadari itu? Kini aku mengerti mengapa aku harus merantau. Agar aku tahu makna sebuah pulang. Disini tidak ada lagi perdebatan, pun omelan kecil di saat kau bangun kesiangan. Aku rindu.

Teruntuk tuan si telaga biru,
Aku ingat saat untuk pertama kalinya aku meninggalkan rumah dan memilih jarak yang jauh untuk menempuh pendidikanku. Sepi. Jauh darimu. Tapi aku tahu kaulah si telaga itu, yang membiarkan aku berlayar diatasmu, yang mengantarkan aku sampai di seberang dan menjaga perahuku agar tidak terseret arus. Kaulah si telaga itu, yang sesungguhnya menyatukan keluarga dengan kehangatan, tempat berteduh jika panas dan hujan menghampiri adik-adiknya. Aku mengerti, kau membiarkan perahuku menyibakkan riak-riak kecil ditelaga itu untuk apa. Untuk melihat bahwa aku bebas berekspresi, bukan?

Pada suatu nanti, ketika ragaku sudah tidak ada lagi, maka bacalah surat ini. Kau akan mengerti, bahwa dalam setiap baris kalimat ini berarti aku menyayangimu.  
Pada suatu nanti, ketika suaraku tak terdengar lagi, maka bacalah surat ini. Diantara kata dalam kalimat ini ada makna yang berarti.
Pada suatu nanti, ketika impianku tak dikenali lagi, maka bacalah surat ini. Karena aku tahu, kau takkan pernah letih untuk menjaga diri dan menyiapkan hari.
Pada suatu nanti, ketika tak sempat senja kembali, maka bacalah surat ini. Karena aku tahu, kau takkan membiarkanku sendiri walau lelah kaki ini pergi. 



 Tertanda, adik kecilmu. 

#662 kata tanpa judul



Diberdayakan oleh Blogger.