Selasa, 06 Maret 2018

Cara mudah atasi mood travelling ke Telomoyo dengan Insto


“Travelling is not only for sightseeing, but also to see more, understanding deeper and doing better”- Kadek Arini

Untuk kali pertama, setelah melalui berbagai cerita, tujuan perjalanan saya kali ini tidak bisa mencapai akhir.
Melewati *Jalan Nasional Rute 14 dari Utara-Semarang menuju ke arah Selatan-Magelang, saya bersama Aswad, Akbar, dan Megy berkutat selama 1 jam di jalan menuju Telomoyo yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Magelang dan Semarang. Gunung ini lebih tinggi sedikit dari Gunung Andong yang memiliki ketinggian 1726 Mdpl.

Kami memulai perjalanan pada jam 3 sore dari Tembalang dan baru saja menyadari kalau jalan arteri nasional yang ditempuh akan seramai dan sepadat itu. Beralasan lupa rupanya bisa menghambat perjalanan dan ketepatan waktu untuk tiba di tujuan akhir. Namun hal mutlak ini tidak bisa mengubah apapun seperti rencana awal. Belum lagi track menuju puncak Telomoyo yang kami susuri dengan motor, bikin siapa saja ingin turun karena jalannya yang labil kayak ABG.
“Tau nggak sih, perjalanan itu ibarat hidup. Pas ketemu jalan rusak kayak gini rasanya pengen balik ke bawah lagi, kalau ada sesuatu yang sulit dan nggak selesai rasanya pengen langsung menyerah,” Aswad yang bersama saya saat itu hanya mengangguk sambil menyelesaikan rute jalan yang rusak. Duh, lagi-lagi saya sok menggurui.
“Terus?” Jawabnya menunggu kelanjutan saya.
“Iya, sama halnya dengan perjalanan, hidup itu ibarat jalan rusak ini. Terlanjur ke bawah karena nggak telaten menempuh, padahal kalau sabar sedikit langsung nemuin jalan bagus, tau-tau udah sampe puncak kan. Kita nggak tau ternyata hal sulit tadi cuma datang sebentar aja, ngetes nyali, padahal jalan itu yang sebenarnya menguatkan kita,” drama saya panjang lebar, lalu diikuti dengan tawa.
“Siap!” Aswad yang sedang fokus mengemudikan motor hanya mengiyakan, lalu celetuk, ”Eh kamu tau Genta Kiswara nggak? Selain Fiersa Besari, aku juga suka tulisannya di caption instagram tentang perjalanan.”
Masyarakat tengah merayakan hasil panen ketika kami lewat di jalan
Dok.pribadi
Ada begitu banyak hal yang baru kami mengerti selama di perjalanan, sampai menyadari kalau saat itu kabut awan mulai meninggi dan menutupi pandangan ke bawah, sampai kami akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan rute ke puncak Telomoyo karena waktu sudah hampir petang.
“Duh, gimana nih kabutnya udah naik. Dilanjut ke atas nggak?” Tanya Aswad ragu.
“Emang di atas kita bisa liat apa to?” Interupsi Megy.
“Rawa Pening,” jawab Aswad seadanya.
“Gunung-gunung yang lain juga bisa keliatan,” lanjutnya.
“Kalau kita ke atas, nanti malah nggak dapat gambar apa-apa. Udah jam 5 ini soalnya, gerimis lagi,” Akbar memberi argumen yang akhirnya menjadi pertimbangan kami berempat untuk kembali ke bawah.  
Kami lupa sebuah fakta kalau pergi ke Telomoyo saat menjelang senja, resikonya adalah kabut dan gelap, fatal jika niatnya ingin mengabadikan gambar dari atas gunung. 
Track Telomoyo yang kabut
Dok.pribadi
Kami juga lupa kalau selama di jalan arteri yang disibukkan oleh kendaraan berat dengan roda berlipat ganda tadi bisa menghalangi pandangan para penglaju: mahasiswa biasa yang ingin menikmati lansekap dari Telomoyo, menambah urusan Millennials dengan mood yang baik saat travelling. Yap, karena debu dan asap kendaraan yang menggumpal, perjalanan menjadi tidak se-cozy sebelumnya.
Di saat Aswad berhenti karena menemukan spot foto yang apik saat kami menuju ke bawah, Akbar yang menggunakan helm tanpa kaca malah bergumam, “Kok perih ya.”
Helm Akbar tanpa kaca
“Eh ini bagus lho treknya, kayak di Bandung,” komentar Aswad setelah memarkirkan motor ke pinggir jalan, diikuti oleh Akbar.
“Iya ya, kayak di Korea gitu jalannya, kurang daun-daun musim gugur aja,” kata Megy menambahkan.
Aswad mulai memberi aba-aba, “Eh ayo foto.”
“Sek to mataku ini lho,” kata Akbar sambil mengucek mata.
“Kenapa Gel?” Demikian saya memanggil namanya.
“Karena debu di jalan nih pasti.” Saya merogoh kantong jaket dan menemukan kotak hijau yang baru saja dibeli saat sebelum perjalanan. Ini dia! Batin saya dalam hati.
“Aku tadi beli insto. Nih.” Begitu saya memberikan obat mata itu, sejurus kemudian, mood Akbar sudah kembali membaik. Tadinya masih enggan ikut berfoto, sekarang malah paling banyak gaya!
“Makasih teng,” katanya girang.
Yap, Insto Regular yang sepertinya akan selalu sedia di dalam kantong bisa digunakan saat mata perih karena debu, asap, angin, dan kebiasaan Millennials saat ini: main gadget. Termasuk Akbar, Insto memudahkan perjalanan kami yang singkat ini.

Dok.pribadi
“Udah kan? Ayo foto, mumpung spotnya bagus nih,” ajak Aswad sembari menunjuk posisi yang pas untuk berpose.
“Foto berempat dong. Pake tripod aja,” Megy tidak sabar mengabadikan momen, karena takut kalah cepat dibanding kabut dan gelap.
“Gini ya posenya, ikutin aku.” Saya mulai memberi aba-aba untuk pose foto yang lucu dan unforgettable.

Bermodal tripod, kami semua bisa dalam satu frame
Dok.pribadi

Nyatanya perjalanan tidak melulu soal destinasi, tidak selalu soal lansekap, tapi tentang bagaimana kita bisa memaknainya, menemukan hal baru yang kemudian menghinggapi pikiran kita. Jalanan menanjak yang rusak membuat saya mengerti, bahwa sesuatu yang sulit bisa dihadapi tanpa keluhan, ia menjadi cara terbaik untuk belajar, mengikis ambisi, dan menempah sabar.

Jika perjalanan adalah tentang seberapa banyak tujuan yang sudah kau tempuh dalam listmu, maka tidak untuk kali ini. Nyatanya kami bisa menikmatinya tanpa harus mengubah makna, tanpa abai dengan hal-hal sepele. Yes, Insto mudahkan perjalanan millennials seperti kami yang ingin memburu gambar dari ketinggian, yang ingin menambah feed di instagram, yang rela menukar hiruk pikuk di jalan dengan sebuah cerita.
Terima kasih Insto! Kali ini perjalanan kami bisa selesai tanpa mengurangi mood seorang teman. Terima kasih karena baru saja mengubah mindset bahwa mutlaknya sebuah lupa bisa diatasi dengan memaknai perjalanan dari sisi lain.
Dok.pribadi


*Jalan Nasional Rute 14 adalah jalan arteri nasional dari Semarang di utara dan berakhir di Kota Yogyakarta di selatan. Jalan ini melintasi pegunungan Merapi dan Merbabu di Timur dan pegunungan Sumbing dan Sindoro di Barat. Rute ini sejajar dengan Jalan Tol Semarang-Solo seksi 1 dan 2.
 


P.S Tulisan pernah dipublikasikan di sini kemudian memenangkan lomba menulis Weekend Escape berhadiah jalan-jalan ke Labuan Bajo gratis

Thankyou Insto!



Diberdayakan oleh Blogger.