Tampilkan postingan dengan label prompt. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prompt. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 September 2015

Di Bawah Matahari




“Apa yang kau lihat ?”
“Ikan serapu, mutiara hijau, kerang putih. Sepertinya cukup untuk hari ini. Bagaimana denganmu?”
-Diam-
“Apa yang kau dapat?”
“Belenggu.”
“Hah?”
“Pernahkah kau sadari, disaat semua penjuru yang tertangkap oleh mata adalah baik adanya, tetapi masih ada belenggu yang mengikat keadaan? Disaat yang kita lihat adalah keindahan, tetapi masih ada keprihatinan, masih ada yang membutuhkan uluran tangan.”
“Apa maksudmu?” 
“Lihatlah itu...”
-Diam-
“Oh, tidak! Apa yang ia lakukan? Mengais sampah? Tidakkah dipikirnya itu membahayakan tubuhnya yang mungil? Kemana ibunya? Ayahnya?”
“Entahlah.”
“Tidakkah dipikirnya kalau malam ia akan kedinginan? kalau siang ia butuh perteduhan? Kalau lapar ia butuh asupan?”
“Tidak. Ia hanya butuh didengarkan. Saat semua orang menghamburkan limbah, ia yang memungutnya. Saat semua orang membuang bahagia dengan percuma, ia justru mengemis penuh iba. Saat orang serakah merampas kuasa, ia justru tak punya tujuan untuk sedikit pun berteduh.”
Keduanya bergeming. Memperhatikan apa lagi yang akan dilakukan gadis kecil itu.
“Ku pikir sepanjang semesta hanya ada keanekaragaman alam, ku kira hanya lautan biru. Miris!”
“Kau lihat! Ia minum dari botol itu! Tidakkah ia tahu bahwa air yang tidak bersih itu tidak menyehatkan tubuh?”
“Hmm.”
“Apa yang harus kita lakukan? Haruskah diam?”
“Bagaimana kalau presipitasi? Setidaknya aku bisa memberinya cukup air.”
“Ide bagus! Aku akan mengatakannya pada matahari untuk membantu evaporasi, energinya pasti cukup.”
“Saat uap air sudah masuk kedalam tubuhku, ku harap kau cepat membawaku dengan awan yang lain untuk menggabungkan diri sampai terjadi koalensi.”
“Baik. Bersiaplah untuk perbedaan tekanan udara nantinya.”
“Tapi, tunggu. Apakah kau juga siap saat gravitasi menarikmu ke bawah hingga jatuh ke permukaan? Kau siap kehilangan dirimu sendiri?”
“Untuk menghilangkan dahaga anak itu, aku siap.”
“Baiklah.”


Diikutkan untuk meramaikan #Prompt 88- Hear Me Out
nb: Prompt pertama di semester 3 setelah sekian lama tidak tertantang hahaha-_-


Senin, 08 Juni 2015

#Prompt80 - Dialah Aku



Uziel membawakan secangkir Kopi Robusta di atas tatakan, ia melangkah ke arah teras dengan sangat hati-hati.
“Jadwalnya minggu ini kek. Saya boleh naik gunung kan?” Uziel meletakkan kopi itu di atas meja di sisi kakeknya yang sedang fokus membaca berita terhangat minggu ini, lalu duduk manis di kursi persis di sebelah meja.
“Saya nggak sendirian kok.” Sejak tadi malam pemuda jangkung ini terus saja membujuk kakeknya untuk memberi izin.
Kehadiran si pemuda tidak digubris sama sekali. Sang kakek masih saja sibuk dengan korannya , ia sesekali menyeruput Kopi Robusta yang masih hangat.  
“Kau pantas jadi Barista,” sang kakek menimpali, suaranya mencerminkan sindiran.
“Ayolah, kek. Aku ingin melihat puncak Semeru. Sekali ini saja.” Intonasi suara yang bersikeras akan keinginannya untuk mengibarkan merah putih di atas puncak gunung merapi itu menggangu kenyamanan si kakek. Ia menatapnya tajam. Uziel hanya tertunduk.
16 Desember 1969,” kata sang kakek memulai pembicaraan yang sepertinya akan panjang, Uziel hanya mendengarkan.
“Mereka menjumpai jasadnya sudah kaku. Semalam suntuk ia lelap berkasur pasir dan batu kecil Semeru. Badannya yang dingin sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Matanya terkatup kencang serapat katupan bibir birunya.”
Uziel bergeming.
“Dia mahasiswa UI yang kakek ceritakan tadi malam?” Pemuda itu antusias dengan kelanjutan ceritanya.
 “Ia mungkin terlahir di masa yang unik bagi Indonesia, saat itu kondisi negara dalam keadaan terpuruk dan kacau akibat jatuh bangunnya kabinet sistem demokrasi parlementer yang membahayakan kehidupan negara.” Kakek terus berbicara, pandangannya kosong.
“Kau tahu apa alasannya melakukan misi pendakian itu?” Uziel menggeleng, ia tidak ingin menebak alasan yang belum pasti kebenarannya.
“Katanya waktu itu... kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Kakek menirukan kalimat itu dengan suara yang lantang seperti berorasi.
Uziel membelalakan mata, ia tidak menyangka bahwa ada mahasiswa seperti demikian.
“Hipokrisi ?” tanya Uziel penasaran.
“Dia seorang demonstran sejati, mengajak teman-temannya untuk menentang ketidakadilan pemerintah Orde Lama, saat itu korupsi dan suap merajalela dalam tubuh pemerintahan dan perusahaan-perusahaan BUMN yang hipokrisi.”
Mata Uziel menyiratkan kebingungan, ia merasa pertanyaannya masih belum terjawab sepenuhnya.
“Perusahaan BUMN? Lantas apa hubungannya, kek?” Ia bertanya lagi.
“Pada masa itu, bukan yang mudah beradaptasi yang akan bertahan, justru yang kuatlah yang memegang kekuasaan.”
Kakek terdiam sesaat, kemudian melanjutkan.
“Kau tahu siapa pimpinan BUMN brengsek kala itu?” Mata sang kakek seperti berbicara, hendak melampiaskan kebenciannya tentang kejadian saat itu.
Uziel menggeleng lagi.
“Airlangga Pane. Dialah seoerang pecundang.”
“Apa?? Aku hanya mengenal satu orang dengan nama itu.” Pemuda itu berharap bukan orang yang ia kenal baik yang dimaksud kakeknya.
“Kau benar. Dialah aku.” 
Uziel terhenyak, masih pada posisi yang sama.
“Lalu siapa mahasiswa itu?” tanya pemuda itu kemudian.
“Soe Hok Gie.”

Note: Alur cerita tidak sepenuhnya benar, riwayat Soe Hok Gie diambil dari sini 
 #Prompt80 – Oligarki-
-481 words-
Diberdayakan oleh Blogger.