Tampilkan postingan dengan label flashfiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label flashfiction. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Maret 2016

Sayap Pelindungmu


Regent Seven Seas Cruise menawarkan pengalaman tak terlupakan untuk anda yang ingin mengelilingi dunia dengan perjalanan 128 malam. Kapal akan mengunjungi 6 benua, 31 negara dan berlabuh setidaknya di 60 pelabuhan…
Sambil menyeruput kopi, Ande menghabiskan malam di Kedai Bambu bersama rekan kerjanya, Tom dan memperbincangkan berita di televisi yang saat itu sedang tayang.
“Menurutmu berapa harga tiket pelayaran itu?” celetuk Ande.
“Pasti mereka mematok harga yang tidak wajar dan jelas kau tidak akan bisa membayarnya, hahaha.” Seperti biasa Tom selalu meremehkan. Ande hanya diam, ia membayangkan menjadi salah satu penumpang beruntung yang bisa berkeliling dunia dengan kapal pesiar mewah.
Tanpa pembicaraan yang panjang, Ande lalu membayar bill dan bergegas pulang. Saat menuju pintu keluar, ia melihat keributan kecil di sudut ruangan. Seorang gadis memohon kepada salah satu pegawai kafe untuk tidak melaporkannya ke pihak berwajib karena tidak mampu membayar secangkir kopi.
“Biarkan saya yang membayarnya,” kata Ande menawarkan.
Belum sempat gadis itu mengucapkan terimakasih, Ande sudah masuk ke dalam bis kota dan tidak menyadari bahwa dompetnya telah jatuh.
Siapapun yang dapat menemukan dompetku, jika ia laki-laki akan ku jadikan saudara, jika ia perempuan akan ku jadikan istri! pikirnya dalam hati.
 --
“Bukankah ini dompetmu? Aku menemukannya di jalan depan kafe.” Ia terkejut melihat gadis tadi berada di depan pintu bis.
“Bagaimana kau…”
“Tak usah dipikirkan, aku lupa mengucapkan terimakasih.” Gadis itu bergegas pergi, sementara Ande masih terpaku. Alangkah terkejutnya ia saat melihat secarik tiket pelayaran kapal di dalam dompetnya yang bertuliskan Perjalanan pertama akan berhenti di Karibia dan selanjutnya di Amerika, Hawaii, Selandia Baru dan…”
Ande mencari gadis itu, namun ia tidak menemukannya.

“Ku kira semua manusia itu sama saja, pemarah dan menghakimi. Tapi tidak denganmu, kau berbeda. Kapan pun mimpimu terasa jauh, ku akan selalu jadi sayap pelindungmu!” Gadis itu melihat Ande dari kejauhan, lalu terbang dengan sayapnya.


Meramaikan #Prompt107 : 299 words

-Ide cerita diambil dari kisah Dayang Sumbi yang menjatuhkan jarum jahit dan mengadopsi lirik Lagu Sayap Pelindungmu- Jadilah cerita yang sebenernya nggak nyambung, gagal romance, dan maksa banget wkwk. Cerita ditulis dalam keadaan tugas senumpuk-numpuknya :D

Sabtu, 19 September 2015

Di Bawah Matahari




“Apa yang kau lihat ?”
“Ikan serapu, mutiara hijau, kerang putih. Sepertinya cukup untuk hari ini. Bagaimana denganmu?”
-Diam-
“Apa yang kau dapat?”
“Belenggu.”
“Hah?”
“Pernahkah kau sadari, disaat semua penjuru yang tertangkap oleh mata adalah baik adanya, tetapi masih ada belenggu yang mengikat keadaan? Disaat yang kita lihat adalah keindahan, tetapi masih ada keprihatinan, masih ada yang membutuhkan uluran tangan.”
“Apa maksudmu?” 
“Lihatlah itu...”
-Diam-
“Oh, tidak! Apa yang ia lakukan? Mengais sampah? Tidakkah dipikirnya itu membahayakan tubuhnya yang mungil? Kemana ibunya? Ayahnya?”
“Entahlah.”
“Tidakkah dipikirnya kalau malam ia akan kedinginan? kalau siang ia butuh perteduhan? Kalau lapar ia butuh asupan?”
“Tidak. Ia hanya butuh didengarkan. Saat semua orang menghamburkan limbah, ia yang memungutnya. Saat semua orang membuang bahagia dengan percuma, ia justru mengemis penuh iba. Saat orang serakah merampas kuasa, ia justru tak punya tujuan untuk sedikit pun berteduh.”
Keduanya bergeming. Memperhatikan apa lagi yang akan dilakukan gadis kecil itu.
“Ku pikir sepanjang semesta hanya ada keanekaragaman alam, ku kira hanya lautan biru. Miris!”
“Kau lihat! Ia minum dari botol itu! Tidakkah ia tahu bahwa air yang tidak bersih itu tidak menyehatkan tubuh?”
“Hmm.”
“Apa yang harus kita lakukan? Haruskah diam?”
“Bagaimana kalau presipitasi? Setidaknya aku bisa memberinya cukup air.”
“Ide bagus! Aku akan mengatakannya pada matahari untuk membantu evaporasi, energinya pasti cukup.”
“Saat uap air sudah masuk kedalam tubuhku, ku harap kau cepat membawaku dengan awan yang lain untuk menggabungkan diri sampai terjadi koalensi.”
“Baik. Bersiaplah untuk perbedaan tekanan udara nantinya.”
“Tapi, tunggu. Apakah kau juga siap saat gravitasi menarikmu ke bawah hingga jatuh ke permukaan? Kau siap kehilangan dirimu sendiri?”
“Untuk menghilangkan dahaga anak itu, aku siap.”
“Baiklah.”


Diikutkan untuk meramaikan #Prompt 88- Hear Me Out
nb: Prompt pertama di semester 3 setelah sekian lama tidak tertantang hahaha-_-


Senin, 08 Juni 2015

#Prompt80 - Dialah Aku



Uziel membawakan secangkir Kopi Robusta di atas tatakan, ia melangkah ke arah teras dengan sangat hati-hati.
“Jadwalnya minggu ini kek. Saya boleh naik gunung kan?” Uziel meletakkan kopi itu di atas meja di sisi kakeknya yang sedang fokus membaca berita terhangat minggu ini, lalu duduk manis di kursi persis di sebelah meja.
“Saya nggak sendirian kok.” Sejak tadi malam pemuda jangkung ini terus saja membujuk kakeknya untuk memberi izin.
Kehadiran si pemuda tidak digubris sama sekali. Sang kakek masih saja sibuk dengan korannya , ia sesekali menyeruput Kopi Robusta yang masih hangat.  
“Kau pantas jadi Barista,” sang kakek menimpali, suaranya mencerminkan sindiran.
“Ayolah, kek. Aku ingin melihat puncak Semeru. Sekali ini saja.” Intonasi suara yang bersikeras akan keinginannya untuk mengibarkan merah putih di atas puncak gunung merapi itu menggangu kenyamanan si kakek. Ia menatapnya tajam. Uziel hanya tertunduk.
16 Desember 1969,” kata sang kakek memulai pembicaraan yang sepertinya akan panjang, Uziel hanya mendengarkan.
“Mereka menjumpai jasadnya sudah kaku. Semalam suntuk ia lelap berkasur pasir dan batu kecil Semeru. Badannya yang dingin sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Matanya terkatup kencang serapat katupan bibir birunya.”
Uziel bergeming.
“Dia mahasiswa UI yang kakek ceritakan tadi malam?” Pemuda itu antusias dengan kelanjutan ceritanya.
 “Ia mungkin terlahir di masa yang unik bagi Indonesia, saat itu kondisi negara dalam keadaan terpuruk dan kacau akibat jatuh bangunnya kabinet sistem demokrasi parlementer yang membahayakan kehidupan negara.” Kakek terus berbicara, pandangannya kosong.
“Kau tahu apa alasannya melakukan misi pendakian itu?” Uziel menggeleng, ia tidak ingin menebak alasan yang belum pasti kebenarannya.
“Katanya waktu itu... kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Kakek menirukan kalimat itu dengan suara yang lantang seperti berorasi.
Uziel membelalakan mata, ia tidak menyangka bahwa ada mahasiswa seperti demikian.
“Hipokrisi ?” tanya Uziel penasaran.
“Dia seorang demonstran sejati, mengajak teman-temannya untuk menentang ketidakadilan pemerintah Orde Lama, saat itu korupsi dan suap merajalela dalam tubuh pemerintahan dan perusahaan-perusahaan BUMN yang hipokrisi.”
Mata Uziel menyiratkan kebingungan, ia merasa pertanyaannya masih belum terjawab sepenuhnya.
“Perusahaan BUMN? Lantas apa hubungannya, kek?” Ia bertanya lagi.
“Pada masa itu, bukan yang mudah beradaptasi yang akan bertahan, justru yang kuatlah yang memegang kekuasaan.”
Kakek terdiam sesaat, kemudian melanjutkan.
“Kau tahu siapa pimpinan BUMN brengsek kala itu?” Mata sang kakek seperti berbicara, hendak melampiaskan kebenciannya tentang kejadian saat itu.
Uziel menggeleng lagi.
“Airlangga Pane. Dialah seoerang pecundang.”
“Apa?? Aku hanya mengenal satu orang dengan nama itu.” Pemuda itu berharap bukan orang yang ia kenal baik yang dimaksud kakeknya.
“Kau benar. Dialah aku.” 
Uziel terhenyak, masih pada posisi yang sama.
“Lalu siapa mahasiswa itu?” tanya pemuda itu kemudian.
“Soe Hok Gie.”

Note: Alur cerita tidak sepenuhnya benar, riwayat Soe Hok Gie diambil dari sini 
 #Prompt80 – Oligarki-
-481 words-

Rabu, 29 April 2015

Cerita Lain Beauty and The Beast




Ia memandangi setangkai mawar yang tidak lagi utuh di dalam kotak kaca persis di dekat jendela. Ruangan yang agak gelap menutupi wajah Vahn, si buruk rupa.  Matanya yang lelah tidak terlihat jelas di bawah lampu, kali ini ia sudah putus asa, kesempatannya untuk menemukan cinta sejati pupus sudah.

“Masih ada 7 hari sebelum purnama, Pangeran,” kata si ceret berbahan logam menghibur.
“Cinta sejati tidak akan pernah terlambat datang,” si cangkir kopi menimpali.

Vahn tidak menanggapi kalimat yang mereka lontarkan, sejak penyihir jahat itu mengutuk sang pangeran dan penghuninya, ia tidak pernah lagi bertemu dengan orang lain di luar istana. Malam itu badai salju turun. Perapian di ruang tengah tidak mampu menebas angin dingin yang menusuk tubuh.

“Aku akan keluar mencari kayu bakar, tunggu saja disini.” Vahn mengenakan jubah hitamnya yang hangat.
“Tapi, Pangeran?” Salah satu dari mereka memprotes si buruk rupa agar tidak menginjakkan kaki keluar istana, tetapi Vahn seolah-olah tidak mendengarnya.  

Beberapa menit berlalu, ia belum menemukan kayu bakar di dalam hutan, angin kencang menghambat langkah kakinya untuk cepat mendapatkan. Tak lama itu, dilihatnya sosok manusia tergeletak tidak berdaya.

“Ia kedinginan!” gumam Vahn setelah melihat gadis cantik yang jatuh akibat terseret badai salju.

Setibanya di istana, gadis itu belum juga sadar, hingga keesokan harinya ia terkejut melihat dirinya berada di tempat asing. Ditelusurinya setiap ruangan, tak juga ditemukan siapa yang sudah menolongnya dari badai tadi malam.
“Kau sudah bangun?” Vahn mengagetkan.
“Terimakasih, tuan,” kata gadis itu memberi salam.
“Kau tidak terkejut melihat rupaku?!”
“Memangnya ada yang salah?” si gadis tampak heran.
Bagaimana mungkin?! batinnya.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikanmu tuan?” Katanya menawarkan diri.
Vahn mencari akal. Tidak ada salahnya untuk menyuruhnya tetap tinggal, pikirnya dalam hati.
“Aku bisa membantumu membersihkan tempat ini selama beberapa hari.”
Di...dia...bisa membaca pikiranku?
“Baiklah.” Vahn mengiyakan tawaran gadis itu, ia merasa ada kebahagiaan menyeruak di dalam dirinya.

Beberapa hari berlalu, kedekatannya dengan si gadis cantik membuatnya semakin jatuh, ia berniat untuk menyatakan cintanya sebelum semua kelopak mawar tidak bersisa lagi.
“Bersediakah kau menjadi istriku?” Vahn memberanikan diri.
Tanpa rasa ragu, si gadis mengangguk setuju.

Keajaiban datang, seluruh ruangan bersinar terang. Si buruk rupa berubah wujud, tetapi tampaknya ada yang salah. Bukannya kembali menjadi pangeran, Vahn kini terpampang di atap istana menghadap jalan. Gargoyle!*)
“Kau bukan cinta sejatiku!” teriaknya.
“Kau lupa denganku, Pangeran? Aku yang mengutukmu menjadi si buruk rupa tempo dulu. Hahaha!” Gadis itu berubah menjadi sosok penyihir yang mengerikan.

*)Gargoyle adalah patung pahatan berbentuk monster yang ada di bangunan pada abad pertengahanDi rancang untuk mengalirkan air dari atap agar menjauhi bangunan. Mencegah air hujan mengenai dinding bangunan karena akan mengikis mortar (seperti semen) yang terdapat diantara balok batu yang menyusun bangunan tersebut. (Sumber)

#Prompt76 "Gargoyle" in MFF : 399 words ( di luar catatan kaki )



Selasa, 07 April 2015

Mungkin Bib Benar



Sumber : kaskus.co.id

Anak manis janganlah dicium sayang, kalau dicium merahlah pipinya...”
“Lagi-lagi si Kumara, seperti nggak ada yang lain.” Si rambut keriting menggelengkan kepalanya, berusaha memaklumi kebiasaan pemuda berjangkung itu setiap usai makan siang.
Soleram, anak yang manis...”
Fur Elise1) . Itu lebih baik.” Awalnya pria itu menatapnya sinis, kemudian tertawa.
“Lagu tanpa lirik maksudku, haha,” katanya menambahkan.

Tampaknya gurauan Bib tak dihiraukan pemuda ini, ia tetap melanjutkan bait demi bait.

“Anak manis janganlah dicium...”
“Atau paling enggak, volumenya dimute aja.” Kali ini terkesan nada serius.
“Oh, soleram...”
“Heh! Kau tuli? Tidak lihat aku harus menyelesaikan deadline-deadline ini?” Ia mulai naik pitam. Merasa berada dalam situasi tidak menyenangkan, dibantingnya berkas-berkas itu ke meja kerja, lalu bergegas meninggalkan Reedo dan suara bisingnya.
Kawan lama ditinggalkan jangan...”
“Hhh... terserah apa katamu!” Ia tetap pergi meninggalkan mejanya.
“Itu sebagai lirik penutup dari lagunya dan kau tetap memilih jauh dariku saat menyusun laporan? Apa kau yakin, Bib? Haha.” Terselip ledekan yang tertuju kepada rekan kerjanya itu.
“Dasar licik!” Bib bergumam kesal. Pria itu kembali ke meja kerja, melanjutkan list yang harus diserahkan kepada atasannya.
Well, masih tetap aku yang menang ckck,” kata pemuda itu menjagokan diri.
“Reedoooo! Tidak bisakah kau mengunci mulutmu itu?!”
“Skakmat, hahaha.” Pemuda yang disapa Reedo itu masih saja melempar panah tajam ke arah Bib, sahabatnya sejak duduk dibangku SMA.
“Kalau bukan karena job ini, aku sudah minggat dari tadi!” gerutu Bib kesal.
“Kau kan sudah tau kenapa harus lagu favoritnya Kumara yang kunyanyikan, apalagi ...” Reedo mulai serius dengan perkataannya. Tidak sempat ia melanjutkan, Bib  protes.
“Lalu? Menurutmu aku akan diam saja jika ancaman menggangu ketentramanku?”
“Ah, kau ini. Hiperbola! Aku cuma ingin bernostalgia, memangnya nggak boleh?”
Bib tidak menjawab, ia memanfaatkan kesempatan sebelum Reedo mengulangi lagu kedaerahan yang monoton itu.
“Oh, ternyata sahabatku ini melupakan sejarah yang teramat penting?”
“Maksudmu?" Mata Reedo mengisyaratkan kebingungan.
“Apa perlu ku jelaskan?”

Entah kenapa ruangan yang tadinya diisi dengan gurauan dan tawa tiba-tiba berubah hening dan sedikit mencekam.

“Cukup! Jangan dilanjutkan!” Reedo membentak.
Bib berusaha mengerem kalimat yang agaknya mengganggu ingatan Reedo. Bib ingat betul, 2 tahun lalu ada undangan pernikahan melesat diatas meja kerjanya. Ia ternganga saat membaca nama mempelai perempuan tertera di pita berwarna emas. Kumara Ayu Dewi. Perempuan senja yang pernah memberi seikat janji pada sahabatnya, Reedo. Bib tidak tahu persis apa yang telah dikatakannya kala itu.
“Hei kawan...”
“Masih ingat kata-kataku tempo lalu?” katanya melanjutkan.
“Merpati dalam sangkar nggak akan betah berlama-lama jika sesekali tidak melihat jendela, melirik merpati-merpati lain yang lebih gagah. Nggak menutup kemungkinan ada lelaki lain yang lebih dulu mencium pipinya. Bisa saja kau yang datang terlambat.”

Reedo tak bersuara, ia bergeming.

“Aku hanya mengingatkan.” Bib menepuk pundak sahabatnya itu, baru kali ini ia melihat Reedo menangis.
“Sudahlah, nanti ku carikan merpati lain yang lebih cantik, dan pasti nggak gampang untuk dicium,” kata Bib menggoda, tampaknya ia ingin membantu Reedo menghilangkan kepahitan masa lalu.
Mungkin Bib benar. Pikir Reedo dalam hati.
“Tidak!”
Bib tersentak.
“Aku tidak ingin merpati! Carikan aku Mocking Jay2)!
“HAHAHA.” Tawa mereka merebak, memenuhi seisi ruangan.

 -ΣND-
Catatan:
1.    Salah satu musik klasik favorit dari sepuluh lagu piano terbaik sepanjang masa. Teori yang terkenal mengatakan bahwa pada mulanya Fur Elise berjudul “Für Therese”. Therese yang dimaksud adalah Therese Malfatti von Rohrenbach zu Dezza (1792-1851), wanita yang ingin dinikahi Beethoven tahun 1810. Sayangnya, ia menikahi pria lain sebelum Beethoven menyatakan perasaan cinta kepadanya. Ia adalah puteri dari saudagar dari Wina, Jacob Malfatti von Rohrenbach (1769-1829). Sampai masa meninggalnya, Beethoven tidak pernah menikah dengan wanita lain.

2.    Nama burung dari varietas baru, hasil perkawinan burung Mocking Bird dengan burung mutan yang bernama JabberJay dalam serial buku dan film The Hunger Games: Mocking Jay. Burung yang berukuran kecil ini termasuk jenis burung pengicau yang dapat menirukan suara.

-499 kata tidak termasuk judul dan catatan-

Rabu, 04 Maret 2015

FFRabu- Air Mata



“Satu liter sudah cukup, nak.”
Lita mengangguk mengerti. Tanpa sepatah kata, ia menuju kamar, meninggalkan ibunya seorang diri di ruang tamu yang sedang sibuk mengemas air dalam botol.
“Ibu akan mengganti rotannya dengan yang lebih ringan. Jadi jangan khawatir, sayang.” Wanita tua berkonde itu setengah berteriak, memberi isyarat bahwa ia tak tega dengan keadaan anak semata wayangnya.
“Hmm, benarkah?” Sendu dari suaranya terdengar sangat jelas.
“Iya, tenanglah. Obat merah sudah ibu siapkan diatas meja belajarmu.”
Lita merindukan ayahnya. Merindukan masa lalu, saat dimana ia tak harus menjual air mata, tak harus banting tulang, menghidupi keluarga yang hanya tinggal ibunya saja.

-End-
Tantangan menulis #FFRabu MFF : 100 kata





Rabu, 25 Februari 2015

#FFRabu - Pencuri Jemari Gadis



Tidak! Bukan malam ini saja. Ini sudah yang kelima kalinya.
“Sudah kubilang jangan Pak Joko! Kenapa kau keras sekali?!”.
“Tidak baik memilah-milih,” digubrisnya bentakan Dini.
“Pekerjaan yang memaksaku,” tambahnya lagi.
“Maksudku, apa tidak ada gincu alternatif?”
“Kau sendiri yang mendengar Patris membacakan peraturannya, kan?”
“Iya, tapi...”
“Tak apa jika jemarinya tersisa dua, masih kuberi kesempatan untuk mengisap jempolnya.” Dini mengeluh.  
“Sebentar lagi kereta menjemput, aku akan bersiap-siap ke prasmanan. Jangan tinggalkan perapian sampai aku pulang, mengerti?”. Gincu merah merona di bibirnya semakin menambah pesonanya, baru saja ia mengunyah jemari Gadis, bayi kedua pakde Dini yang baru lahir.
“Hmm,” katanya mengangguk. 


Rabu, 18 Februari 2015

Cerita Jingga




“Perairan sebelah mana lagi kali ini?”. Si Jingga sudah tahu kebiasaannya yang selalu pergi malam dan kembali segelap ia pergi.  Pertanyaan ini hanya sekedar basa-basi.
“Bun”, jawabnya singkat.
“Hmm. Siapa lagi?”
“Apa perlu ku jelaskan, Jingga?”
“Oh, tak perlu. Aku sudah tahu.”
 “Pramoedya bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk...”
“Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh...” Si Jingga memotong kalimatnya yang belum sempat diselesaikan.
“Ya, baguslah kalau kau mengerti.”
“Aku sudah menyiapkan bekal untuk perjalanan, cukup untuk 2 hari.”
“Terima kasih, sayang.”

Sudah hampir 20 tahun menjalani pernikahan, hingga sekarang sepasang manusia ini tak juga dikaruniai seorang anak, bahkan cucu. Jingga sadar, dia bukan satu-satunya wanita yang menjadi istrinya, masih ada wanita-wanita lain yang lebih beruntung. 

“Kalau kau bertemu Biru, sampaikan salamku untuknya.” tambah Jingga.
“Kau tak usah khawatir, ia pasti menerima salam dari ibunya dengan sangat manis.” Dibelainya rambut istrinya yang masih hitam dan halus itu. Parasnya yang elok dan masih awet muda itu masih sangat jelas terlihat.
“Hmm.”  Ekspresi datar terpampang jelas di wajah Jingga yang bebas keriput dan noda hitam yang kusam.

Biru. Anak tiri Jingga, ia adopsi dari pernikahan suaminya dengan Nila, putri dari Dewa Neptune.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.



Rabu, 22 Oktober 2014

Dalam Gelap

Saya selalu penasaran dengan kebisingan yang kerap terdengar dari rumah tua di persimpangan jalan setiap kali saya lewati di waktu senja.
Awalnya saya membiarkan pikiran ini diam, kekeuh melanjutkan perjalanan. Tapi kaki ini kelayapan!
Pintunya tak terkunci. Kayu tua pelapis dinding yang reot mulai terdengar, beradu suara dengan paku perekat.
“Hei! Jangan berisik ada tamu.”
“Siapkan roti dan mentega!”
“Kau bercanda?”
“Hanya ada ikan seluang yang mati tadi malam.”
Saya mulai mencari sumber suara, bahkan di dalam gelap perdebatan itu terdengar sangat jelas. Astaga! Saya baru menyadari hanya ada satu objek di ruangan ini, lukisan di sisi sebelah kanan.




 #Prompt67 On the Riverside in MFF : 100 words

Diberdayakan oleh Blogger.