Uziel
membawakan secangkir Kopi Robusta di atas tatakan, ia melangkah ke arah
teras dengan sangat hati-hati.
“Jadwalnya
minggu ini kek. Saya boleh naik gunung kan?” Uziel meletakkan kopi itu di
atas meja di sisi kakeknya yang sedang fokus membaca berita terhangat minggu
ini, lalu duduk manis di kursi persis di sebelah meja.
“Saya nggak sendirian kok.” Sejak tadi malam pemuda
jangkung ini terus saja membujuk kakeknya untuk memberi izin.
Kehadiran
si pemuda tidak digubris sama sekali. Sang kakek masih saja sibuk dengan
korannya , ia sesekali menyeruput Kopi Robusta yang masih hangat.
“Kau
pantas jadi Barista,” sang kakek menimpali, suaranya mencerminkan sindiran.
“Ayolah,
kek. Aku ingin melihat puncak Semeru. Sekali ini saja.” Intonasi suara yang bersikeras
akan keinginannya untuk mengibarkan merah putih di atas puncak gunung merapi
itu menggangu kenyamanan si kakek. Ia menatapnya tajam. Uziel hanya
tertunduk.
“16 Desember 1969,” kata sang kakek memulai pembicaraan yang sepertinya akan panjang, Uziel hanya mendengarkan.
“Mereka menjumpai jasadnya sudah kaku. Semalam suntuk ia
lelap berkasur pasir dan batu kecil Semeru. Badannya yang dingin sudah
semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Matanya terkatup kencang
serapat katupan bibir birunya.”
Uziel bergeming.
“Dia mahasiswa UI yang kakek ceritakan tadi malam?” Pemuda itu antusias dengan kelanjutan ceritanya.
“Ia mungkin
terlahir di masa yang unik bagi Indonesia, saat itu kondisi negara dalam
keadaan terpuruk dan kacau akibat jatuh bangunnya kabinet sistem demokrasi
parlementer yang membahayakan kehidupan negara.” Kakek terus berbicara, pandangannya
kosong.
“Kau tahu
apa alasannya melakukan misi pendakian itu?” Uziel menggeleng, ia tidak ingin
menebak alasan yang belum pasti kebenarannya.
“Katanya
waktu itu... kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan.
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang
hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan
mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia
bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus
berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Kakek
menirukan kalimat itu dengan suara yang lantang seperti berorasi.
Uziel
membelalakan mata, ia tidak menyangka bahwa ada mahasiswa seperti demikian.
“Hipokrisi
?” tanya Uziel penasaran.
“Dia seorang demonstran sejati, mengajak teman-temannya untuk
menentang ketidakadilan pemerintah Orde Lama, saat itu korupsi dan suap
merajalela dalam tubuh pemerintahan dan perusahaan-perusahaan BUMN yang hipokrisi.”
Mata
Uziel menyiratkan kebingungan, ia merasa pertanyaannya masih belum terjawab
sepenuhnya.
“Perusahaan
BUMN? Lantas apa hubungannya, kek?” Ia bertanya lagi.
“Pada
masa itu, bukan yang mudah beradaptasi yang akan bertahan, justru yang kuatlah
yang memegang kekuasaan.”
Kakek
terdiam sesaat, kemudian melanjutkan.
“Kau
tahu siapa pimpinan BUMN brengsek kala itu?” Mata sang kakek seperti berbicara,
hendak melampiaskan kebenciannya tentang kejadian saat itu.
Uziel
menggeleng lagi.
“Airlangga
Pane. Dialah seoerang pecundang.”
“Apa??
Aku hanya mengenal satu orang dengan nama itu.” Pemuda itu berharap bukan orang
yang ia kenal baik yang dimaksud kakeknya.
“Kau benar. Dialah aku.”
Uziel
terhenyak, masih pada posisi yang sama.
“Lalu
siapa mahasiswa itu?” tanya pemuda itu kemudian.
“Soe
Hok Gie.”
Note:
Alur cerita tidak sepenuhnya benar, riwayat Soe Hok Gie diambil dari sini
#Prompt80
– Oligarki-
-481 words-
soe hok gie. semeru di pancaroba orde memang identik dengannya ya.
BalasHapusWaw, keren iki!
BalasHapusThankss mbak! :)
Hapusem,,, aku nggak tahu tentang orang yang disebutin itu
BalasHapusSoe Hok Gie, maksudnya? Silakan baca riwayatnya di link yang tertera ya hehe :)
Hapus