Senin, 01 Juni 2015

Kepadamu Tuan Si Telaga Biru,



Kepadamu tuan yang abadi dalam ingatan, 
Keraguan senja untuk memasuki masanya kala itu terpampang jelas diantara sudut mata, kira-kira pukul 6 sore, ia tidak berani memancarkan semburat oranye yang cantik dimuka  sebuah rumah berdinding krem. Ia kehilangan nyali, lantas bersembunyi dibalik pohon berkayu yang tinggi.
Kau tahu kenapa?
Karenamu. Pulang tidak tepat pada waktunya adalah hal yang kerap kau sepelekan. Ingat saat itu emosi ibu sudah diluar kendali? Oh iya, aku lupa. Lupa kalau membuat masalah adalah kebiasaanmu.

Kepadamu tuan yang keras kepala,
Pernahkah kau sadari setiap jenjang kehidupan yang kau sia-siakan? Kala itu kau tak pernah mau tahu tentang masa depanmu, tentang apa yang nanti akan terjadi dengan istri atau anakmu kelak.
Ingatkah kau tentang lakumu yang semena-mena dengan keadaan ? Kau terlalu sering membakar isi kepala ayah, bahkan aku, adikmu.
Lalu bagaimana dengan kebiasaanmu tidur larut kemudian bangun disaat matahari tak lagi ada di timur? Oh, tidak. Aku benci dengan itu, aku benci saat aku harus membangunkan dirimu yang ogah-ogahan itu. Ingatkah dirimu saat amarah ibu melebihi kekuatan peluru yang gaungnya berlangsung hanya sepersekian detik itu? Mungkin sangking banyaknya masalah yang kau ciptakan, kau lupa. Lupa sering mengecewakan kami.

Kepadamu tuan yang pertama kali dilahirkan ibu,
Ingatkah kau tanggung jawabmu sebagai penyangga keluarga? Kata Ibu, alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak dihadapan orang lain. Lalu apa tanggapanmu? Kau hanya bergeming.  Tidak pernah lebih baik dari daun Ek yang terbang jauh menyisir-nyisir udara, walau ia selalu senyap sepertimu, tapi ia tahu jalan pulang untuk kembali. Ingat saat ayah mengajarimu tentang kedewasaan? Kala itu kau ugal-ugalan saat menyetir mobil hendak menuju jalan pulang. Ayah hanya memperingatkanmu untuk berjaga-jaga, kalau-kalau kau masih membekukan hati, tak memberi ruang sedikit saja untuk mendamaikan keadaan.

Kepadamu tuan yang tidak pernah ingat dengan waktu,  
Kau tau filosofi kopi? Kata Dee, seindah apa pun huruf terukir, ia tidak dapat bermakna bila tak ada jeda, kita baru bisa bergerak jika ada ruang. Lantas malam itu ayah menasihatimu soal apa yang ingin kau gapai, aku ingat betul beliau memberimu waktu untuk menentukan masa depanmu sendiri. Tetapi apa? Kau tidak pernah acuh untuk itu.  

Kepadamu tuan yang namanya selalu saya ucapkan dalam doa,
Aku tidak tahu apakah kau mengerti tentang diamku beberapa bulan lalu, saat aku kembali ke rumah dan masih kecewa dengan lakumu. Lantas kau ingat kala kita beradu mulut untuk suatu komitmen? Kau terlihat ingin punya masa depan, tetapi apa? Perkuliahanmu saja kau tinggalkan. Menurutmu pantaskah seorang adik memarahi abangnya? Kendati demikian, "Tahukah kau mengapa aku memperhatikanmu lebih dari siapa pun? Karena kau adalah abangku. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Tidakkah kau mengerti bahwa aku, kami sungguh mencintaimu? Itu caraku untuk bisa mengenalmu lebih jauh, tidakkah kau sadari itu? Kini aku mengerti mengapa aku harus merantau. Agar aku tahu makna sebuah pulang. Disini tidak ada lagi perdebatan, pun omelan kecil di saat kau bangun kesiangan. Aku rindu.

Teruntuk tuan si telaga biru,
Aku ingat saat untuk pertama kalinya aku meninggalkan rumah dan memilih jarak yang jauh untuk menempuh pendidikanku. Sepi. Jauh darimu. Tapi aku tahu kaulah si telaga itu, yang membiarkan aku berlayar diatasmu, yang mengantarkan aku sampai di seberang dan menjaga perahuku agar tidak terseret arus. Kaulah si telaga itu, yang sesungguhnya menyatukan keluarga dengan kehangatan, tempat berteduh jika panas dan hujan menghampiri adik-adiknya. Aku mengerti, kau membiarkan perahuku menyibakkan riak-riak kecil ditelaga itu untuk apa. Untuk melihat bahwa aku bebas berekspresi, bukan?

Pada suatu nanti, ketika ragaku sudah tidak ada lagi, maka bacalah surat ini. Kau akan mengerti, bahwa dalam setiap baris kalimat ini berarti aku menyayangimu.  
Pada suatu nanti, ketika suaraku tak terdengar lagi, maka bacalah surat ini. Diantara kata dalam kalimat ini ada makna yang berarti.
Pada suatu nanti, ketika impianku tak dikenali lagi, maka bacalah surat ini. Karena aku tahu, kau takkan pernah letih untuk menjaga diri dan menyiapkan hari.
Pada suatu nanti, ketika tak sempat senja kembali, maka bacalah surat ini. Karena aku tahu, kau takkan membiarkanku sendiri walau lelah kaki ini pergi. 



 Tertanda, adik kecilmu. 

#662 kata tanpa judul



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.