Kepadamu tuan yang abadi dalam
ingatan,
Keraguan senja untuk memasuki
masanya kala itu terpampang jelas diantara sudut mata, kira-kira pukul 6 sore, ia
tidak berani memancarkan semburat oranye yang cantik dimuka sebuah
rumah berdinding krem. Ia kehilangan nyali, lantas bersembunyi dibalik pohon
berkayu yang tinggi.
Kau tahu kenapa?
Karenamu. Pulang tidak tepat pada
waktunya adalah hal yang kerap kau sepelekan. Ingat saat itu emosi ibu sudah
diluar kendali? Oh iya, aku lupa. Lupa kalau membuat masalah adalah
kebiasaanmu.
Kepadamu tuan yang keras kepala,
Pernahkah kau sadari setiap jenjang
kehidupan yang kau sia-siakan? Kala itu kau tak pernah mau tahu tentang masa
depanmu, tentang apa yang nanti akan terjadi dengan istri atau anakmu kelak.
Ingatkah kau tentang lakumu yang
semena-mena dengan keadaan ? Kau terlalu sering membakar isi kepala ayah,
bahkan aku, adikmu.
Lalu bagaimana dengan kebiasaanmu
tidur larut kemudian bangun disaat matahari tak lagi ada di timur? Oh, tidak.
Aku benci dengan itu, aku benci saat aku harus membangunkan dirimu yang
ogah-ogahan itu. Ingatkah dirimu saat amarah ibu melebihi kekuatan peluru yang
gaungnya berlangsung hanya sepersekian detik itu? Mungkin sangking banyaknya masalah
yang kau ciptakan, kau lupa. Lupa sering mengecewakan kami.
Kepadamu tuan yang pertama kali dilahirkan
ibu,
Ingatkah kau tanggung jawabmu
sebagai penyangga keluarga? Kata Ibu, alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak
dihadapan orang lain. Lalu apa tanggapanmu? Kau hanya bergeming. Tidak pernah lebih baik dari daun Ek yang terbang jauh
menyisir-nyisir udara, walau ia selalu senyap sepertimu, tapi ia tahu jalan
pulang untuk kembali. Ingat saat ayah mengajarimu tentang kedewasaan? Kala itu
kau ugal-ugalan saat menyetir mobil hendak menuju jalan pulang. Ayah hanya
memperingatkanmu untuk berjaga-jaga, kalau-kalau kau masih membekukan hati, tak
memberi ruang sedikit saja untuk mendamaikan keadaan.
Kepadamu tuan yang tidak pernah
ingat dengan waktu,
Kau tau filosofi kopi? Kata Dee, seindah apa pun huruf terukir, ia tidak dapat bermakna bila
tak ada jeda, kita baru bisa bergerak jika ada ruang. Lantas
malam itu ayah menasihatimu soal apa yang ingin kau gapai, aku ingat betul
beliau memberimu waktu untuk menentukan masa depanmu sendiri. Tetapi apa? Kau
tidak pernah acuh untuk itu.
Kepadamu tuan yang namanya selalu saya ucapkan dalam doa,
Aku tidak
tahu apakah kau mengerti tentang diamku beberapa bulan lalu, saat aku kembali
ke rumah dan masih kecewa dengan lakumu. Lantas kau ingat kala kita beradu
mulut untuk suatu komitmen? Kau terlihat ingin punya masa depan, tetapi apa? Perkuliahanmu
saja kau tinggalkan. Menurutmu pantaskah seorang adik memarahi abangnya? Kendati
demikian, "Tahukah kau mengapa aku memperhatikanmu lebih dari
siapa pun? Karena kau adalah abangku. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan
abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Tidakkah kau mengerti bahwa aku, kami sungguh mencintaimu? Itu caraku
untuk bisa mengenalmu lebih jauh, tidakkah kau sadari itu? Kini aku mengerti mengapa
aku harus merantau. Agar aku tahu makna sebuah pulang. Disini tidak ada lagi
perdebatan, pun omelan kecil di saat kau bangun kesiangan. Aku rindu.
Teruntuk tuan si telaga
biru,
Aku ingat saat untuk
pertama kalinya aku meninggalkan rumah dan memilih jarak yang jauh untuk
menempuh pendidikanku. Sepi. Jauh darimu. Tapi aku tahu kaulah si telaga itu,
yang membiarkan aku berlayar diatasmu, yang mengantarkan aku sampai di seberang
dan menjaga perahuku agar tidak terseret arus. Kaulah si telaga itu, yang sesungguhnya
menyatukan keluarga dengan kehangatan, tempat berteduh jika panas dan hujan
menghampiri adik-adiknya. Aku mengerti, kau membiarkan perahuku menyibakkan
riak-riak kecil ditelaga itu untuk apa. Untuk melihat bahwa aku bebas
berekspresi, bukan?
Pada suatu nanti, ketika ragaku sudah tidak ada lagi, maka bacalah
surat ini. Kau akan mengerti, bahwa dalam setiap baris kalimat ini berarti aku menyayangimu.
Pada suatu nanti, ketika suaraku tak terdengar lagi, maka bacalah surat
ini. Diantara kata dalam kalimat ini ada makna yang berarti.
Pada suatu nanti, ketika impianku tak dikenali lagi, maka bacalah surat
ini. Karena aku tahu, kau takkan pernah letih untuk menjaga diri dan menyiapkan
hari.
Pada suatu nanti, ketika tak sempat senja kembali, maka bacalah surat
ini. Karena aku tahu, kau takkan membiarkanku sendiri walau lelah kaki ini
pergi.
Tertanda,
adik kecilmu.
#662 kata tanpa judul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar