Senin, 01 Desember 2014

Hujan Bulan Juni









"Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu" 
- Sapardi Djoko Damono

Dari balik dedaunan yang tinggi, aku melihat kamu membaca sepucuk surat di ranting pohon ara yang sudah tua itu, menunggu sampai daun-daunnya mekar di Juni tahun depan.
Kamu selalu meminjam bangku kayu di taman untuk sejenak bersandar, lalu menangis, kemudian tertawa. Kamu lakukan itu berulang-ulang, hingga aku bosan mengintip.
Setiap menjelang malam, kamu tak pernah datang membawa bungkusan senyuman, atau sedikit cengiran, yang aku lihat hanya diam. Sorot matamu selalu terpaku pada sepucuk surat itu, tak pernah hiraukan aku.
Kamu selalu gusar, aku tahu itu. Bahkan kamu tak pernah tidur semalaman, merenung dan memikirkannya. Kamu menyesal pernah melakukannya? Iya, aku mengerti. Kamu ingin memperbaiki?
Terlambat!
Katamu setahun lalu akan ada pelangi sehabis hujan di malam itu. Aku menunggu hujan itu selama mungkin, hingga aku basah kuyup! Aku berharap pelangi dan kamu datang di saat yang bersamaan. Persis di bangku taman yang sekarang menjadi tempat kesukaanmu setiap senja. Tapi kenapa?! Kenapa kamu tidak datang memenuhi janji itu?

Ah! Purnama sudah datang, aku harus pulang! Tak ada waktu membahas semua masa lalu itu. Aku tidak mau lagi sayapku patah karena menunggumu begitu lama.



#Prompt73 "Pelangi" in MFF : 202 words
FF ini merupakan pengembangan puisi dari Andi Eksak di sini




Minggu, 30 November 2014

29 November 2014

 “Bersama satukan tekad, siap berjuang demi masa depan yang lebih cerah”

Dear Planologi 14,
Aku dengar kamu sudah jarang bersenandika, bercerita satu sama lain.
Aku dengar kamu sudah jarang saling menyapa, lupa bahwa dulu pernah punya cerita.
Aku dengar acuh sudah menyelami setiap insan, hingga sekedar bertanya ‘kenapa’ semakin tenggelam dan hilang begitu saja.
Kata mereka, rantaimu yang kokoh mulai lepas satu per satu, hingga peduli hanya tinggal niat saja. Benarkah begitu?
Kata mereka, kamu sibuk berkutat dengan laporan, asistensi, dan revisi, hingga –dari bersawala- menjadi diam dan berpura-pura melupa.
Kamu ingat saat dulu saling berdebat memecah masalah? Atau saat terlalu banyak opini hingga satu kepala tak bisa menampungnya? Bahkan kini semua jadi semenjana. Biasa saja.
Kamu ingat saat masing-masing kita mengutarakan keberanian untuk menjadi Planner masa depan? Aku dengar semangatmu sudah tak lagi memburu seperti sedia kala.

Bergegaslah menyatukan satu tekad yang dulu pernah dikoarkan, jangan biarkan semua hanya retorika saja. Jangan biarkan aku mengabu dan hilang tanpa bekas. Jangan biarkan KITA adalah uap yang membumbung ke udara sebentar saja lalu melayang entah kemana.


Dear Planologi 14,
Selamat belajar berjalan, selamat terjatuh berkali-kali, selamat untuk harus siap berdiri dan tegak lagi, mengejar impian yang hanya 1 inci.
Belajarlah untuk mengenal peta, belajarlah untuk mengenal dunia, belajar untuk tetap kuat walau tubes sudah bertebaran dimana-mana.


Regards,
Kamu di 10 tahun mendatang.

*nb: 1 inci = 2,54 cm! wk





Senin, 17 November 2014

Tentang Mimpi ( II )



Entah apa yang saya pikirkan waktu dulu melihat orang-orang menuliskan harapan mereka lewat perayaan tertentu, ritual misalnya. Terakhir kali yang saya lihat lewat media, mereka menerbangkan lampion ke mulut langit pada malam hari. Ah, mungkin waktu itu saya masih terlalu kecil untuk tau apa itu harapan dan bagaimana saya bisa menggapainya. Saya hanya yakin kalau itu adalah pekerjaan orang dewasa yang sedang meniti masa depan. Klisenya, anak kecil hanya mengerti kesenangan semata.

Jadi 3 hari terakhir, saya berkesempatan pergi ke Solo, tepatnya di daerah Tawang Mangu, Wisma El-Bethel, untuk mengikuti kegiatan tahunan PMK FT UNDIP (organisasi kerohanian Kristen Fakultas Teknik di Undip) : Retreat. Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari 2 malam.

Hari keberangkatan yaitu hari Jumat, sekitar pukul 16.00 waktu setempat dengan sikon hujan. 4 jam perjalanan yang agak melelahkan akhirnya terbayar karena disambut oleh cuaca yang dingin dengan temperatur -1°C (*oke ini lebay). Jadi setelah opening ceremony, kami dibagi dalam beberapa paviliun + kakak fasilitator. Yak, saya mendapat teman kamar dari teknik lingkungan : Monica dan teknik kapal : (emm... wait ! Namanya itu... mampus deh aku lupa namanya-_- aduh plis  maaf ya teman kamarku). Dan kak Lia -yang ternyata adalah Eda ku sendiri- sebagai kakak fasil.

Hari kedua kegiatan kami full dengan materi-materi yang sesungguhnya membangun iman anak muda saat ini dan ditambah dengan pegal yang tak berkesudahan karena seharian duduk di tempat yang sama. Great! J

Di hari terakhir, tepatnya tadi pagi sekitar pukul 00:25 kami menyalakan api unggun, bernyanyi, kemudian menulis apa-apa saja hal di dalam diri kita yang ingin dibakar di api unggun. Yap, dimana ada mendung, disitu ada hujan. Setelah hujan akan ada bagian dari alam yang menyapu dingin: mentari, dan pelangi akan hadir sebagai warna kehidupan (oke, ini ribet). Simpelnya, di acara api unggun ini, ada dua hal yang berbeda di dalam diri kita : hal buruk yang harus “dibakar” dan harapan sebagai mimpi yang akan “diterbangkan” bersama bintang-bintang #asik

Jadi setiap kelompok diberi satu lampion, masing-masing kelompok terdiri dari 10-15 orang, dipilih random alias bebas. Setelah menulis di label, harapan itu ditempel di lampion. Ya, saya jelas hanya menulis 2 harapan secara garis besar dengan alasan labelnya terlalu kecil hehe^.^ seperti kebanyakan orang yang selalu menggantung mimpinya di puncak tertinggi, maka saya memilih puncak lampion sebagai tempat yang membawa mimpi saya terbang tinggi. Uniknya, saat sudah diterbangkan, lampion yang sepertinya membawa mimpi-mimpi yang terlalu tinggi ini kesulitan mendapat ancang-ancang untuk terbang, dengan kesimpulan nyangkut di pohon (*lampion PHP).

Tapi tidak semua dari mereka menyalahkan lampion yang terlalu lemah dan kecil ini.
“Makanya punya mimpi jangan ketinggian coba, ya kali mau mirip-miripan sama Aliando, mana bisa bro.” (Hahaha! Ini orang menghina apa gimana ya, yang nggak tau Aliando bisa searching di google dengan keyword pemain GGS paling fenomenal #plak)

Akhirnya kami diberi satu permintaan: lampion kedua (lampion nggak datang dua kali lho, manfaatkan dengan baik ya) #halah.

Setelah diberi label baru dan menuliskan harapan yang sama, kami menempelnya lagi ditempat yang sama pula (ini kalau saya), dan taraaa! Belum juga mau dilepas, sisi kiri lampion terbakar dan jelas menambah suasana panik kala itu. Tapi beberapa dari kami berinisiatif menambalnya (alah macam ban aja), alhasil lampion bisa diterbangkan tapi... cuman se-meter tok. Hahaha! Suasana kembali ricuh saat lampion mendarat dengan tidak cantiknya, api yang digantung di dalam lampion jatuh mengenai salah satu manusia yang punya mimpi diatas sana.

Yak kembali lagi mereka tidak menyalahkan lampion sayang, lampion malang.
“Ini siapa sih yang nggak ada kerjaan, pengen lulus dua tahun, ya mana bisa.” Spontan semua yang mendengarnya tertawa. Tak ada satu pun dari mereka yang mengeluh tentang mimpi-mimpi yang gagal lepas landas ini, saya cuman bisa senyum. (Ini apa mimpi saya yang ketinggian apa gimana). Akhirnya, karena berbaik hati dan tidak tega melihat kami satu-satunya (camkan ya satu-satunya!) adalah kelompok yang 2x lampionnya gagal terbang, jadi panitia memberi lampion ketiga, berharap itu yang terakhir.

Karena tidak ada lagi waktu menulis ulang di label baru, maka kami putuskan untuk mengambil label di lampion yang kedua tadi dan menempelnya di lampion baru. Ternyata lampion ketiga berhasil terbang layaknya lampion-lampion terdahulu milik orang lain . Tapi tampaknya tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena sepertinya lampion terakhir nyangkut di gedung depan!-_- Oh God! Kenapa saat semua mimpi-mimpi yang lain bisa mengejar bintang-bintang, sementara kami tidak? Kenapa saat mimpi mereka (kelihatannya) tidak ada hambatan untuk terbang tinggi,  kami malah merasakan sebaliknya? Mungkinkah harus ada perjuangan agar mimpi kami bisa bersanding diantara cahaya di langit malam?

Hanya Kau yang tau jawabannya, tapi beri aku waktu maka akan aku cari tau.

Omong-omong soal mimpi yang saya tempel di label itu ada dua  :
Author wanna be dan London, I’ll be there(soon). Ketinggian ya itu? Hehe J








Rabu, 22 Oktober 2014

Dalam Gelap

Saya selalu penasaran dengan kebisingan yang kerap terdengar dari rumah tua di persimpangan jalan setiap kali saya lewati di waktu senja.
Awalnya saya membiarkan pikiran ini diam, kekeuh melanjutkan perjalanan. Tapi kaki ini kelayapan!
Pintunya tak terkunci. Kayu tua pelapis dinding yang reot mulai terdengar, beradu suara dengan paku perekat.
“Hei! Jangan berisik ada tamu.”
“Siapkan roti dan mentega!”
“Kau bercanda?”
“Hanya ada ikan seluang yang mati tadi malam.”
Saya mulai mencari sumber suara, bahkan di dalam gelap perdebatan itu terdengar sangat jelas. Astaga! Saya baru menyadari hanya ada satu objek di ruangan ini, lukisan di sisi sebelah kanan.




 #Prompt67 On the Riverside in MFF : 100 words

Selasa, 21 Oktober 2014

Tentang Mimpi ( I )






Saya punya mimpi yang sederhana tapi tidak semua orang menganggapnya berharga. Ada kala dimana mereka belum menemukannya. Iya, saya tahu setiap orang punya mimpi yang berbeda. Tapi percayalah, dulu saya adalah kerang tanpa mutiara, hampa, tapi sejak menulis saya kembali punya jiwa! Dengan menulis saya bisa mengekspresikan naluri dengan naturalnya, tanpa berpikir bahwa hidup harus terlihat sempurna.  Karena menulis, saya bisa menjadi pribadi apa adanya, tanpa menuntun saya menjadi sesuatu yang sebenarnya bukan saya. Tanpa terpaksa menjalani peran untuk menjadi serupa. Karena katanya, serupa adalah satu-satunya cara untuk bisa diterima. Menulis adalah cara bagaimana saya bisa bercerita dengan santainya, apalagi tentang cinta. Hanya dengan cinta, semua yang 
tak terlihat bisa menjadi nyata, semua yang kelam bisa menjadi berwarna, dan semua yang  sederhana bisa menjadi berharga. J




           
         

Senin, 06 Oktober 2014

Lelaki Tua di Tengah Gerimis


Sumber: Dokumentasi Pribadi Rinrin Indrianie

Aroma  ilalang merebak di sepanjang jalan, tak ada embun. Gerimis yang telah lama turun membasahi Gadjah Mungkur, memberi kesan sepi.  Hanya ada saya dan lelaki tua di sisi jalan, tapi posisi kami tidak berpapasan, saya berada agak jauh dibelakangnya, memerhatikan apa yang dipikulnya di atas sepeda ontel.  Betapa ia sudah tua dan butuh uluran tangan, tubuhnya yang digerogoti usia itu tampak begitu memprihatinkan, ia seorang diri.

Pasti  lelaki ini sejak tadi belum berteduh! Kemana anak-anaknya? Istrinya mungkin? atau cucu kesayangannya?

Oh, mungkin saja ia ingin menukar barang bawaannya dengan seikat padi untuk digiling menjadi beras, atau membagi ke peternakan untuk dijadikan jerami. Iya, tapi ini hanya hipotesa awal, saya tak sepenuhnya yakin.    

Kakinya gemetar, tubuhnya lunglai, namun terselubungi dengan baju biru yang tampaknya ia kenakan sejak kemarin sore, lusuh dan kumuh, atau ia sudah berjalan berhari-hari? Setidaknya ia membutuhkan receh atau secangkir teh panas. Saya terus membuntutinya dari belakang, ia tak curiga. Bau aspal terkena panas matahari yang baru saja dibasahi gerimis sangat menyengat, membuat saya semakin ingin tahu tujuan lelaki tua itu.  

Awalnya saya mengurungkan niat, berencana mengikutinya sampai saya tahu apa yang membuat langkah kakinya berada di jalan ini. Tapi yang benar saja, berjam-jam saya berteduh dibawah langit menganga, saya kedinginan!

“Pak, mau kemana?” tidak digubris sama sekali. Barangkali ia sudah pikun, saya ulangi pertanyaan yang sama.

“Anak saya kelaparan, dari kemarin belum makan. Saya dari bawah mau ke tanjakan memberi ini untuknya. Kasihan dia,” katanya kelelahan.

Saya terkejut.
Saat ia menunjuk ilalang di atas sepedanya. 

Prompt#65 in MFF: 243 words




Sabtu, 30 Agustus 2014

Untaian Rindu dari Tanah Biru





Dari Eropa, mata birunya terpatri
Telapak tangan memikul dagu serentak menengadah
Gadis mongoloid itu sesekali menyeruput teh hijau,
Menenun awan di cakrawala, ia melirik.

Ikan serapu, mutiara hijau, kerang putih.
Dasar laut yang biru terpampang jelas
Memancar rindu yang amat sangat.
Raja Ampat, konon kabarnya.

Bersama kepak Cendrawasih, sanubari bersenandung.
Masih saja, bayangan cepat berkelebat.
Tak setetes rasa iripun mampu membuatnya karam,
terlebih terhadap kebudayaan orang
Karena Eropa tak punya Ngaben,
Keramahan Khas Bali yang berdenting pelan.

Sejenak gadis lugu berlaga,
riuh suara hati berlarian begitu saja
Sebentar-sebentar berganti ingatan.

Dari tanah kelahiran Sisingamangaraja, kemudian bernostalgia.
Tor-tor menghentakkan setiap kaki mungilnya di Toba
Waktu itu, Inang-inang tua tegak berdiri
Menari tiada taranya.  
“Ulos ini untukmu.”
Begitu katanya.

Tak lama itu, ia ingat lagi
Saat nelayan bersampan tersenyum
Wajah berseri berpendar kuat.
Melangkah sedikit saja ke ujung sumatera
Ada Rimba disana, suku kubu lebih akrabnya.
Pikirannya meraba, dibuai aroma Kajoe Aro yang membumbung di angkasa.
Mungkin sengaja ia mengintip buku dunia
Sambil mengira apa saja yang tertera disana,
Tatkala Unesco menorehkan daftar warisan
Batik. Itulah dia sapaan budaya lisan nonbedawi.

Oh sungguh, ia rindu mendekap Indonesia.
Ingatannya menari melagukan Rasa Sayange,
Tanpa kata diantara peluh penat.
Pernah sekali, waktu petang seorang mengingatkan,
Beta sekolah tinggi-tinggi, mau tunjukkan ke seluruh negri, ada Indonesia yang luasnya tak terkira persis budayanya.”

Gadis ini tak heran,
Bilamana ia singgah di Borneo, ada bahasa Nusantara yang menghantarkannya
Mengikat erat Dayak dan Batak tanpa sengaja.

Seperti sajak rayuan pulau kelapa,
Dari Weh di barat sana, singgah di Pulau bernama Sulawesi,
Hanyut dalam pesona Tari Pakarena,
Sampai pada akhirnya...
Kaki menyentuh ujung dunia, melebihi Atlantis pesonanya,
yang kini disapa Papua.
Semua disatukan hangat, dipeluk ibu pertiwi.

Tersadar akan pesona si cantik Puspa Bangsa,
Sang gadis terbuyar dari lamunan sederhana.
Dari sudut kota metropolis Ratu Elizabeth,
ia menyampaikan alunan rindu
Akan kearifan budaya juga keindahan warna
yang tentu menentramkan kalbu,
Menghanyutkan jiwa.



Kamis, 28 Agustus 2014

Ingin Pulang


Saya ingat, belakangan ini banyak keluarga dekat bertanya: "kapan berangkat"

Dan ya! Spontan saya menjawab: "oh..masih lama". Besok, kemudian lusa, satu minggu, dua minggu. Bahkan masih saja ada menanyakan hal yang sama. Saya masih merasa keberangkatan itu belum didepan mata.

Iya, saya menganggap hal itu biasa. Hari pasti berlalu, kan? Kecambah yang kemarin ditanam pasti bertambah usia, kan? Itu yang saya pikir. Tapi ternyata ada yang salah. Bukan waktu yang berlalu begitu cepat, bukan rasa ingin pergi yang selalu mendesak, tapi ada rindu yang datang disaat yang salah.  Saya rindu untuk pulang, saya rindu berkumpul dengan orang-orang yang sebelumnya saya anggap menyebalkan, saya rindu menikmati masakan seorang wanita yang selalu mengomeli saya, saya rindu malam-malam yang menyenangkan: saat dimana tawa bisa meledak seketika bahkan berulang-ulang, saya rindu mendekap senyum mereka, saya rindu semua sudut rumah, saya rindu rasa aman dan nyaman saat saya terlelap dalam gelap dan rasa lelah, saya rindu sosok yang selalu mengerti apa yang saya butuhkan. Apa perlu saya beritahu semua rasa rindu yang berlebihan ini? 

Pergi untuk kembali. Iya, saya tahu itu. Tapi untuk berapa lama? satu jam? dua hari? Berminggu-minggu? Atau sampai rasa rindu ini kadaluarsa?
Saya pikir ini hanya omong kosong! Keluhan para pendatang yang meramaikan sosial media, saya pikir ini adalah hal yang mudah untuk dilewati. Tapi ternyata... ah entahlah.

Doa kecil ini hanya bisa saya gantungkan diatas langit-langit, agar terus terlihat dan tak lupa untuk saya ucapkan, siang dan malam. 
Bahkan saya selalu ingin menyempatkan diri untuk bertemu senja, menyampaikan rindu dan kata-kata kepada mereka bahwa :

Saya ingin pulang.





Sabtu, 26 Juli 2014

Di Balik Labirin



 "Aku akan ada esok dan seterusnya"


Untukmu  辜美霞 ,

Ada kejora yang menghantarkan aku.

Kamu tahu kemana?

Aku berharap ke ujung pelangi,

Ternyata tidak. 

Bukan hanya bintang pagi itu, tapi jalan-jalan setapak yang membawa kaki melangkah.

Aku berusaha meraup jejak-jejak kecil supaya bisa tiba disana.

Kamu tahu dimana?

Di balik labirin .

Sederhana memang, tapi disanalah aku dan kamu dipertemukan.

Untuk menjalin pertemanan sederhana.

Iya awalnya hanya itu.

Entahlah, aku ingin kejora diatas sana terus mengikuti hati.

Supaya saat ada yang pergi, selalu ada alasan untuk kembali.

Supaya ia tidak hanya ada disaat pagi.

Kamu tahu kenapa?

Karena aku ingin kita menjadi senja.

Tak apa jika nanti ditelan langit, namun senja tetap hadir esok dan seterusnya.

Ia juga tak pernah ingkar janji dan akan kembali esok hari.

Tak seperti pelangi yang tak tahu kapan akan datang lagi.

Ini hanya angan. Aku tidak tahu ia terus berawan atau bisa digenggam.

Aku juga berharap aku dan kamu seperti malam. Walau ada mendung, tapi tak kelihatan.

Tak seperti siang, terkadang cerah dan menipu.

Saat pudar, sukar sekali untuk kembali bersinar.

Aku tidak bisa merayakan hari lahirmu untuk kesekian kali.

Tapi kamu tahu?

Aku disini mendoakanmu, agar selalu baik-baik saja.

Tak perlu yang sering dikatakan banyak orang.

Sederhana. Keadaanmu yang paling penting.

Maaf untuk kecewa yang pernah kamu dapatkan dariku.

Maaf untuk kata yang belum sempat aku sampaikan. Bahkan rindu.

Selamat ulang tahun Nathasya Miranda.

Teruslah menjadi Maple, yang selalu indah walau ia tak sempurna.

                                                                                                                        Tertanda,
                                                                                                                        Bunga yang manis.
                                                                                                                       




Sabtu, 12 Juli 2014

Alone Like a Bluebell




Alone like a bluebell, waiting for the bluebird to come, and against me with the warmth of its love, forever more” –Rizky Amallia

Setangkai bluebells yang menunduk malu ternyata menjadi latar jendela berembun dikamarku. Padahal musim untuk para bunga lonceng ini bermekaran sudah tiba, tapi yang aku lihat ia hanya sendirian, menikmati suasana kota yang ramai dipenuhi oleh sekawanan manusia yang sedang mengadakan festival tahunan. Entahlah, tidak bisa dipastikan apakah ia benar-benar menikmatinya atau sedang menunggu kedatangan bluebells-bluebells yang lain.   

Sementara itu disurat kabar diberitakan tentang seorang pendaki gunung yang konon tersesat setelah melihat manusia kerdil di ujung lembah atau seorang manusia yang masih bertahan hidup dengan penyakit lamanya-kanker paru-paru-. Tak ada yang menarik. Bahkan dimusim ini begitu banyaknya objek yang bisa dilihat, tapi bagi pria berkumis tipis ini,  berdiam diri di dalam kamar adalah pilihan terbaik.

Sambil menatap nanar keluar jendela, ia menyeruput segelas kopi pahit ditemani sejuknya embun pagi. Berulang-ulang bayangan seorang gadis melintas dipikirannya. Sesekali lelaki yang biasa disapa Mr.Potato ini melirik bingkai foto berhias kerang putih yang terpampang di atas meja. Dirinya dan malaikat yang manis. Ada pesona senja yang cantik disana, dengan rangkaian bunga tulip berbentuk angka 18.

“Oh,  jadi laki-laki yang sudah tiga tahun terakhir hilang, ternyata berlibur ke city of Windmill ?”. Ternyata ada seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan apa yang sedang dilakukannya. Tapi jujur saja, ia sudah tahu kedatangannya kemari.  

“Kapan kau tiba disini? Tadi malam? Tapi aku tidak lihat seorang pun di apartmentmu.”
Lagi-lagi ia mengusik kediamanku!

Pertanyaan basa-basinya tak digubris sama sekali. Tatapan pria itu kosong, sementara teriknya siang hari mulai memasuki ruangan melalui celah ventilasi. Ternyata wanita itu masih saja tak berubah, selalu mengintrogasi hal-hal tak penting.

“Wow, apa aku ketinggalan sesuatu? Sejak kapan kau punya ini?” katanya sambil menunjuk pohon sakura kecil di sudut kamar.

“Hmm...kau baru saja dari Jepang? Mengapa tak pernah mengabariku?” Mr.Potato membiarkan wanita itu berceloteh panjang lebar, seolah-olah tidak ada lawan bicara. Kemudian ia mengambil sepucuk kertas dari pohon sakura kecil itu. Tingkahnya benar-benar merusak suasana.

Teruntuk bluebells,
Aku tidak tahu apa yang sedang kau tunggu, mungkin seorang teman yang ingin memetik kemudian merawatmu dengan penuh cinta. Aku hanya berharap kesendirian yang kau rasakan berakhir secepatnya.
Seperti aku yang dulu pernah merasakan kesepian tak berujung, hidup seperti nyawa yang segan untuk mati. Tapi kemudian seseorang yang penuh arti hadir secara cuma-cuma dalam hidupku, lalu seperti daun Ek yang menyisir ke lautan,  ia hilang dan tak pernah kembali.”

“Tidak untuk yang itu! Jangan sentuh apapun yang ada dikamarku!” Spontan lelaki berusia 20 tahunan itu berteriak karena sempat membaca harapan yang selalu disimpan rapi disetiap ujung pohon sakura.

Pria itu menatapnya tajam, seperti menyimpan masa lalu.
“Jadi siapa dia?” Wanita itu balas dengan tatapan yang sama sinisnya.  

“Kau tidak perlu tahu soal itu, Anne!” Kemudian ia berlalu, kembali menatap ke arah luar jendela.

“Kemarin kasus pembunuhan George telah terungkap, dan pelakunya adalah Stefanus, bukankah itu rekan lamamu? Berhati-hatilah karena kabarnya kau adalah target berikutnya.” Anne berusaha mengalihkan.

“Bukankah itu berita baik? Aku juga sudah muak hidup setengah mati dengan kanker ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu.” Tangan kirinya diselipkan ke dalam saku, berusaha bersikap tenang.
“Tapi...aku tidak mau itu terjadi.” Wanita itu menambahkan.
“Maksudmu?”
“Aku ingin menjadi bluebells yang lain.” katanya lagi.
Pria berbaju hijau pupus itu diam, berusaha mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Mungkin ini mengejutkan, tapi jujur, selama kau pergi, aku merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Aku berharap kau mengerti.”
Apa yang diingankannya?!
 “Aku hanya tidak mau terlambat lagi.” Kalimat yang dilontarkan Anne semakin tidak masuk akal, pria itu masih saja tidak paham. Entahlah, hal yang tidak jelas berkecambuk dalam hatinya.
Keduanya diam, tak seorang pun berani memulai pembicaraan. Keheningan memenuhi ke seluruh penjuru ruangan yang dibalut karpet merah dan gorden yang senada.

Tak lama itu Anne menyodorkan kotak yang dibungkus dengan kain berwarna merah marun, persis dengan warna kesukaan lelaki itu. Tapi tetap saja, Mr Potato memilih untuk bungkam, ia menggenggam bingkai foto yang sedari tadi dilihatnya.

“Baiklah, jika kau tidak mau bicara. Secepatnya aku akan pergi dari sini. Besok Chand akan melamarku, dan kami akan ke Frankland untuk pernikahan. Selamat berakhir pekan.” Volume suaranya merendah, tidak seperti saat pertama ia berbicara di awal pertemuan. Kemudian tersirat kesedihan yang amat sangat, air matanya menetes menyentuh pijakan.
Wanita itu beranjak dari tempat ia berdiri, bergegas meninggalkan apartment itu dan tak lupa menghapus semua kenangan tentang yang baru saja terjadi.

Mr Potato masih saja diam, ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Anne, tangan kanannya kemudian merogoh kotak kecil yang diletakkan wanita itu di atas meja.

“Selamat ulang tahun, Hans. Selamat tanggal 18  untuk yang kesekian kalinya, aku akan merindukanmu.” Begitu ia membukanya, suara lembut Anne terdengar jelas ditelinganya. Ia teringat sesuatu. Tanpa disadari, pria bermata coklat itu berlari ke luar kamar, ia mengikuti kata hatinya.

Sosok gadis itu ternyata masih dalam jangkauan mata, ia berjalan tanpa gairah, seperti baru saja melepas seseorang yang berarti dalam hidupnya. Entahlah, rasanya seperti dicabik-cabik oleh belenggu, sakit sekali.

Lelaki itu terus saja berlari, hingga akhirnya meneriakkan sebuah nama.
“Anne! Tunggu!”

Anne terus berjalan tanpa arah, ia bahkan tak menyadari Mr Potato mengejarnya.

Hans memanggilnya untuk yang kedua kali. “Anne, aku mohon.”

Kemudian wanita itu berbalik arah menoleh ke belakang dan mendapati lelaki itu berkeringat setelah berlari cukup lama. Ia masih diam, tidak memberi komentar apapun.

Hans menatapnya dalam dan menemukan mata yang sama, yang dulu selalu membuatnya tenang. 
“Your eyes are the last thing I wanna see.” katanya memberikan jawaban.


***







Diberdayakan oleh Blogger.