Kamis, 26 Maret 2015

♫ 100 Suns to Mars

100 Suns to Mars

Saya hanya butuh 99 Matahari lagi menuju kesana, karena sebelumnya saya sudah punya satu yang bisa mencukupi.

Well, belum selesai menjalani dua semester di fakultas Teknik, raga saya sudah entah melanglangbuana kemana saja, sangking padat dan...ah sudahlah, jangan coba merayu saya untuk melanjutkannya. 

Sekitar 1 Matahari dan material-materialnya ada di saku jaket saya sebelah kanan, entah berapa material yang jatuh karena keteledoran. Ah, lupakan. Saya hanya ingin kesana. 

Bintang? Bukan. Bukan dia tujuan utama saya. Lebih tepatnya di sayap kiri bumi. Mars. Betapa ada elemen yang nantinya akan membuat saya awet muda jika 99 matahari sudah terkumpulkan penuh. Iya, kalau nanti, maksud saya secepatnya. Saya tidak sendiri, ada jenuh dan lelah yang berkepanjangan menemani saya untuk menempuh jalur dan medan yang berat. Kau bisa menyimpan rahasia, bukan? Saya hanya ingin melihat mereka mengabu bersama 99 matahari di Mars, kemudian cadangan energi lain akan membawa saya pulang.



Semarang, di sudut meja -02.07-


Selasa, 17 Maret 2015

Bukan Momentum Biasa





 “Karena pikiran lebih tajam dari senjata”.  Opini yang agak menikam logika saya ini terlontar dari Qabila, salah satu tim reporter yang sempat saya wawancarai pada hari oprec sebuah Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Teknik Undip berlangsung. Mahasiswi jurusan Teknik Arsitektur ini menyetujui sebuah anggapan bahwa tulisan dapat mengubah dunia. Selain Momentum, masih ada lembaga lain di Universitas terbesar di Jawa Tengah ini yang mewadahi dunia tulis-menulis. Lalu apa yang membedakannya dengan biro yang lain?  “detail, dalam, dan cepat”  begitu kata Jasman Ismandakir (2012) selaku Pimpinan Umum Momentum. “Teknik itu fakultas terbesar di Undip, jadi kalau info aktual, pasti kita lebih cepat dapat. Semisal ada master plan di dekanat, kita duluan yang tau.” Ungkapan tersebut juga di dukung oleh kalimat andalan biro ini “ cerdas, objektif, terpercaya”. Kenapa? Karena para mahasiswa teknik bisa mendapatkan informasi dan berita aktual lewat Momentum secara cepat.  Walaupun masih dalam usia dini, Lembaga ini bisa dengan cepat menyesuaikan diri jika terjadi human error atau terjadi kesalahan teknis dalam mempublikasikan berita. “Bisa dengan lobby secara personal atau negosiasi dengan lembaga yang bersangkutan” Qabila (2013) pun memperjelas pernyataan bahwa Momentum belum pernah di cap tidak baik di fakultas.
Berbicara tentang keunggulan, pimpinan umum lembaga ini tidak sungkan membeberkan “hak” yang di dapatkan oleh masing-masing anggota. Sebuah kartu yang menandakan bahwa setiap anggota diperbolehkan dan mendapat izin resmi meliput berita apapun dalam suatu konteks acara. Sungguh menikam bukan? Ketika saya mendengar pernyataan ini, sebuah pikiran terlintas begitu saja “bukan Momentum biasa”. Pikiran memang lebih tajam dari senjata.






Rabu, 04 Maret 2015

FFRabu- Air Mata



“Satu liter sudah cukup, nak.”
Lita mengangguk mengerti. Tanpa sepatah kata, ia menuju kamar, meninggalkan ibunya seorang diri di ruang tamu yang sedang sibuk mengemas air dalam botol.
“Ibu akan mengganti rotannya dengan yang lebih ringan. Jadi jangan khawatir, sayang.” Wanita tua berkonde itu setengah berteriak, memberi isyarat bahwa ia tak tega dengan keadaan anak semata wayangnya.
“Hmm, benarkah?” Sendu dari suaranya terdengar sangat jelas.
“Iya, tenanglah. Obat merah sudah ibu siapkan diatas meja belajarmu.”
Lita merindukan ayahnya. Merindukan masa lalu, saat dimana ia tak harus menjual air mata, tak harus banting tulang, menghidupi keluarga yang hanya tinggal ibunya saja.

-End-
Tantangan menulis #FFRabu MFF : 100 kata





Tuan atau Nona?



Kepada jenuh yang pernah terus –menerus hinggap di kepala saya lalu hilang entah kemana,
            Terimakasih waktu itu kau sengaja menghampiri pikiran kemudian hati saya tanpa berpikir panjang, karenamu saya jadi tak pernah segan untuk bersyukur, tak pernah lupa bahwa saya masih layak untuk bermimpi. Kau ingat seminggu lalu? Saat saya tak ingin pulang ke dunia perkuliahan? Oh tunggu, bahkan waktu itu saya mengeluh karena keberangkatan yang melelahkan.  Baiklah, ijinkan ingatan ini melanglangbuana. Saya masih tidak menyangka bisa bertemu denganmu, dan lihatlah sekarang, kita sudah tak lagi melebur. Hebat, bukan? Padahal kala itu saya tak ingin menulis lagi, menuangkan apa yang saya pikirkan dan apa yang saya lihat, bahkan saya tidak lagi merasa harus membangkitkan mimpi. Padahal waktu itu saya ingin yang begini saja, menikmati apa yang ada dan tidak pernah berniat melihat angkasa, bahkan membayangkan keajaiban-keajaiban di luar sana. Kau tahu kenapa? Karena seorang sahabat mengingatkan saya, bahwa ada saat dimana kita harus belajar menghargai kesempatan. 

Saya tidak tahu harus memanggilmu seperti apa, tuan ataukah nona?
Apapun itu, tapi sudah saatnya kau kembali pulang, merengkuh rumah lama atau mungkin mencari singgahan baru. Maaf, bukan tak mau saya memberimu tumpangan, tapi biar saja orang lain juga bisa merasakanmu. Karena kau adalah bukti bahwa seseorang pernah belajar.

Salam,


-bunga yang manis-


Diberdayakan oleh Blogger.