Saya
ingat, belakangan ini banyak keluarga dekat bertanya: "kapan berangkat"
Dan
ya! Spontan saya menjawab: "oh..masih lama". Besok, kemudian lusa,
satu minggu, dua minggu. Bahkan masih saja ada menanyakan hal yang sama. Saya
masih merasa keberangkatan itu belum didepan mata.
Iya,
saya menganggap hal itu biasa. Hari pasti berlalu, kan? Kecambah yang kemarin
ditanam pasti bertambah usia, kan? Itu yang saya pikir. Tapi ternyata ada yang
salah. Bukan waktu yang berlalu begitu cepat, bukan rasa ingin pergi yang
selalu mendesak, tapi ada rindu yang datang disaat yang salah. Saya rindu
untuk pulang, saya rindu berkumpul dengan orang-orang yang sebelumnya saya
anggap menyebalkan, saya rindu menikmati masakan seorang wanita yang selalu
mengomeli saya, saya rindu malam-malam yang menyenangkan: saat dimana tawa bisa
meledak seketika bahkan berulang-ulang, saya rindu mendekap senyum mereka, saya
rindu semua sudut rumah, saya rindu rasa aman dan nyaman saat saya terlelap
dalam gelap dan rasa lelah, saya rindu sosok yang selalu mengerti apa yang saya
butuhkan. Apa perlu saya beritahu semua rasa rindu yang berlebihan ini?
Pergi
untuk kembali. Iya, saya tahu itu. Tapi untuk berapa lama? satu jam? dua hari?
Berminggu-minggu? Atau sampai rasa rindu ini kadaluarsa?
Saya
pikir ini hanya omong kosong! Keluhan para pendatang yang meramaikan sosial media,
saya pikir ini adalah hal yang mudah untuk dilewati. Tapi ternyata... ah
entahlah.
Doa
kecil ini hanya bisa saya gantungkan diatas langit-langit, agar terus
terlihat dan tak lupa untuk saya ucapkan, siang dan malam.
Bahkan
saya selalu ingin menyempatkan diri untuk bertemu senja, menyampaikan rindu dan
kata-kata kepada mereka bahwa :
Saya
ingin pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar