Rabu, 18 Februari 2015

Cerita Jingga




“Perairan sebelah mana lagi kali ini?”. Si Jingga sudah tahu kebiasaannya yang selalu pergi malam dan kembali segelap ia pergi.  Pertanyaan ini hanya sekedar basa-basi.
“Bun”, jawabnya singkat.
“Hmm. Siapa lagi?”
“Apa perlu ku jelaskan, Jingga?”
“Oh, tak perlu. Aku sudah tahu.”
 “Pramoedya bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk...”
“Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh...” Si Jingga memotong kalimatnya yang belum sempat diselesaikan.
“Ya, baguslah kalau kau mengerti.”
“Aku sudah menyiapkan bekal untuk perjalanan, cukup untuk 2 hari.”
“Terima kasih, sayang.”

Sudah hampir 20 tahun menjalani pernikahan, hingga sekarang sepasang manusia ini tak juga dikaruniai seorang anak, bahkan cucu. Jingga sadar, dia bukan satu-satunya wanita yang menjadi istrinya, masih ada wanita-wanita lain yang lebih beruntung. 

“Kalau kau bertemu Biru, sampaikan salamku untuknya.” tambah Jingga.
“Kau tak usah khawatir, ia pasti menerima salam dari ibunya dengan sangat manis.” Dibelainya rambut istrinya yang masih hitam dan halus itu. Parasnya yang elok dan masih awet muda itu masih sangat jelas terlihat.
“Hmm.”  Ekspresi datar terpampang jelas di wajah Jingga yang bebas keriput dan noda hitam yang kusam.

Biru. Anak tiri Jingga, ia adopsi dari pernikahan suaminya dengan Nila, putri dari Dewa Neptune.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.