Tidak!
Bukan malam ini saja. Ini sudah yang kelima kalinya.
“Sudah
kubilang jangan Pak Joko! Kenapa kau keras sekali?!”.
“Tidak
baik memilah-milih,” digubrisnya bentakan Dini.
“Pekerjaan
yang memaksaku,” tambahnya lagi.
“Maksudku,
apa tidak ada gincu alternatif?”
“Kau
sendiri yang mendengar Patris membacakan peraturannya, kan?”
“Iya,
tapi...”
“Tak
apa jika jemarinya tersisa dua, masih kuberi kesempatan untuk mengisap
jempolnya.” Dini mengeluh.
“Sebentar
lagi kereta menjemput, aku akan bersiap-siap ke prasmanan. Jangan tinggalkan
perapian sampai aku pulang, mengerti?”. Gincu merah merona di bibirnya semakin
menambah pesonanya, baru saja ia mengunyah jemari Gadis, bayi kedua pakde Dini
yang baru lahir.
“Hmm,”
katanya mengangguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar