Senin, 25 September 2017

Tidak Hanya Sebatas Halaman Rumah

“Dunia tidak hanya sebatas halaman rumah, jalanan macet, sepetak kubikel kantor yang sempit. Dunia juga kaya rasa, jauh lebih bercitarasa jika dibandingkan dengan sekotak nasi sayur bekal makan siang. Ada banyak cara untuk menjelajahinya selagi masih bisa.” – Fahmi Anhar


Dari kiri: Nadia, Aswad, Bogel, Onix, Siti, Agas

Menjadi ‘anak rumahan’ rupanya telah lama merayap diam-diam dalam diri saya. Konsisten pada sepetak meja dan layar laptop tampaknya menjadi alasan untuk enggan beranjak. Mengklaim kalau itu adalah sebuah nyaman, saya pernah merasa cukup untuk tidak kemana-mana, karena ada begitu banyak hal yang memberi batas pada langkah tanpa sengaja.

Dulu, saya bermimpi bisa memupuk kebanggaan pada suatu pencapaian. Dulu, saat saya belum mengenal ruang di luar rumah. Lantas sejak satu-dua-kali perjalanan yang mengajari saya untuk mendengar alam lebih jernih dan menjajal rasa takut pada hal-hal tak terduga, perlahan ironi monoton dalam keseharian saya berangsur hilang, walau belum tuntas sepenuhnya.
Dulu, saya mengira kalau menenggak tawa butuh waktu lama. Pernah saya mengira hal tersulit adalah keluar dari suatu zona. Nyatanya dengan mencipta memori perjalanan bisa mencakup semuanya.
-**-
Aswad yang iseng kami ajak main saat itu mengaku punya jadwal lain. Sekitar pukul 8 malam, ia malah menawarkan di chat room yang saya dan Nadia sebut MPC terselubung “Jogja atau Wonosobo? Silakan dipilih”. Antusias? Jelas! Wonosobo adalah wish list saya tahun ini, entah Aswad sedang bercanda atau tidak, spontan saya balas “Wonosobo gas”.

Kadang sebuah perjalanan tidak perlu itinerary, entah kemana tujuannya dan bagaimana bisa sampai di sana. Hanya butuh beberapa jam untuk ‘mencari massa’ walaupun dengan sedikit drama. Dengan meeting point di kontrakan Bogel, kami gegas meluncur ke Wonosobo kira-kira pukul 2 dini hari. 

Jarus. Itulah sebutan bagi pejalan yang tidak perlu pikir panjang untuk menyiapkan babebubibo perjalanan. Setelah kurang lebih 3,5 jam melewati rute Sumowono-Temanggung, kami berenam tiba di gardu pandang Dieng. Ya, setelah berbagai umpatan mahasiswa-mahasiwa semester 7 yang sudah sedikit jam terbang ini akibat suhu 15 derajat. Rupanya menggigil karena dingin tidak sebercanda kala bernyanyi Sembilan, Sepuluh, biarlah berlalu~~~ HAHA LOL.

Sejenak Aswad, Agas, Bogel, dan Siti menunaikan shalat subuh di sana. Sementara saya, Nadia, dan sekelumit ­kebodohan, tertawa menggigil sambil menyeruput secangkir popmie. Jangan heran jika saya lebih menggunakan kata ‘seruput’ di sini, karena ketika suhu tidak bisa diajak kompromi, maka semua adalah mungkin.
“Orang-orang di sini kok bisa tahan banget ya,” cetus Nadia saat kami melahap popmie.
“Kalo nggak dingin bukan Dieng namanya, mba.” Suara bapak paruh baya yang sedang menyalakan tungku terdengar samar.
“Ya kan udah biasa, Nad,” jawab saya sekenanya.

Namun, sekatrok-katroknya saya dengan suhu yang kontras dari Semarang ini, lebih katrok lagi saat saya menyaksikan fajar-dengan-warna-keemasannya yang ingin menampakkan diri. Percaya atau tidak, saya ingin menangis melihatnya. Maaf katrok, karena selama 20 tahun, saya menyadari kalau ada begitu banyak hal yang ternyata sudah saya lewatkan. Hamburan cahayanya, perpaduan gunung yang menghimpitnya, warna langitnya antara biru dan kelabu, lampu-lampu rumah penduduk yang tersebar berantakan dari kejauhan, dingin menggigil yang menusuk, adalah satu paket yang bisa saya nikmati karena baru saja keluar dari zona nyaman.


“Ayo selfie!” Ajakan mainstream untuk mengabadikan momen menjadi pelengkap di pagi itu.
“Satu, dua, ti...”


Ke hadapan kami berenam dan sekian banyaknya wisatawan di gardu pandang, terima kasih Dieng karena telah membuat saya jatuh hati dan ingin ke sana lagi.
-**-
Dengan alasan ‘tidak keburu’ melihat Golden Sunrise di Sikunir, kami baru beranjak sekitar pukul 6 pagi.
Akibat ulah Agas yang tidak terkendali seperti pertumbuhan Eceng Gondok di Rawa Pening-_- alhasil sarung tangan sebelah kanan saya sudah berpindah kepemilikan ke mas-mas-di pinggir jembatan. Jangan tanya kenapa bisa zz
Menyusuri jalan menuju Sikunir, lagi-lagi kami gagal menahan keluhan.
“Mulih, mulih!”
Saya yang tadinya kesal dengan suhu dingin tertawa mendengar Agas berdalih demikian. Entah berapa banyak gerakan tambahan yang kami ciptakan untuk berhadapan dengan lingkungan.  
“Eh aku tadi sama Akbar malah balas-balasan kentut,” gumam Nadia dengan wajah polosnya.
Sontak kami tertawa.
“Iya tau, tadi dia bilang, aku angkat dulu ya mau kentut,” tambahnya.
“Hahaha. Iya kan dingin, Nadia sampe hapal suaranya lagi,” jelas Akbar.

Untuk waktu yang sebentar, kami menepi ke pinggir jalan menyepakati sesuatu. Baru saja berhenti, Bogel a.k.a Akbar menginstruksikan untuk melihat ke belakang.
“Liat tuh bapaknya nyetir pake handuk,” ujar Bogel usil.
“Tadi aku kira handuknya buat di kepala, ternyata di tangan hahaha,” tambahnya.
“HAHAHA,” tawa kami meledak bercampur gigil.

Melihat banyaknya orang-orang yang turun, mungkin mereka menerka ‘kenapa baru jam segini naik ke Sikunir’. Seperti bisa membaca pikiran, seorang bapak menanyakan hal tersebut.
“Mau liat Sunpride, pak,” jawab Agas spontan. Si bapak berangsur pergi, tidak lagi membalas sahutannya.
Kami hanya nyengir, lantas Siti bergumam, “Ayo ah, nenek kakek aja kuat.”
Diantara kami, ia yang paling bersemangat menapaki anak tangga. Berbeda dengan saya yang kerap kali tertinggal di belakang.
“Nafasku pendek,” alibi saya saat dicemooh haha. 

Setibanya di atas, semua momen yang diabadikan menjadi kewajiban tersendiri bagi juru foto, Aswad dan Bogel. Mulai dari siluet, lansekap, selfie, sampai video-video tak berfaedah bisa diciptakan dengan baik. 






Dari ketinggian, saya bisa merasakan kedamaian yang tidak ada dalam setumpuk tugas, sederet deadline, dan sepanjang koridor kos-kampus. Tidak pernah ada. Saya bisa melihat rumah penduduk lokal, danau, gunung, terasering ada dalam satu lansekap, ditambah dengan keramahan khas alamnya.





“Lari ya ke sana, nanti aku rekam,” Bogel mengawali.
“Ih kan, nggak ada yang lari,” protes Siti karena tidak ada yang mengikutinya.
“Iya beneran divideoin ini,” Aswad mempertegas.
“Satu, dua...” pandu Bogel memberi aba-aba.

Baru sekitar 2 meter berlari, Nadia berhenti dan menoleh “Heh pembodohan kan ini, nggak direkam kan? Aku nggak mau ikutan ah udah,” gerutu Nadia karena tidak percaya.
“Zz beneran direkam loh ini Nad, ya udah kamu nggak usah ikut. Ayo ulang lagi,”
Mendengar Bogel mulai mengomel, saya jadi teringat dengan logatnya yang khas saat mengatakan “Iya di sana ada Stoberi.”
S-T-O-B-E-R-I. HAHAHA!
Sama halnya dengan Nadia yang sebelumnya bergumam, “Kayak Raksaksa itu lho.”
R-A-K-S-A-K-S-A. HAHAHA!
Belum lagi saat Aswad bertingkah konyol layaknya Koala, atau Nadia dan Bogel bersahut-sahutan menirukan suara monyet, dan Agas yang merasa mirip Kuda (aku doang yang normal haha).


Tak peduli seberapa terlihat bodohnya kami, karena yang saya tahu bahagia bukan dicari, tapi diciptakan. Nyatanya kami juga punya sekelumit problematika, tapi tetap bisa menciptakan tawa.





Selepasnya dari Sikunir dan merehatkan diri, kami gegas menuju Menjer. Butuh waktu sekitar 30 menit dari lokasi sebelumnya. Dengan alibi kelelahan, kami berlima terlelap bebas beratapkan langit, beralas rumput dan kain.
Kenapa berlima? Karena Siti udah nggak dianggap. HAHA.   





Merebahkan diri di pinggir telaga adalah hal pertama kali yang saya lakukan. Dari sekian banyak kesempatan untuk bisa tidur di atas kasur kosan yang nyaman, saya memilih untuk berada di sana. Seperti lagu favorit Bogel, saya memilih untuk keluar dari zona nyaman. Daripada pagi ke pagi, ku terjebak di dalam ambisi, mending sembilan, sepuluh, biarlah berlalu~~
Karena percayalah, dunia tidak hanya sebatas halaman rumah, jalanan macet, atau sepetak kubikel kampus yang sempit. Ada banyak cara untuk menjelajahinya selagi masih bisa.



Salam hangat,
dari yang baru pertama kali ke dataran tinggi Dieng, dan kemudian jatuh hati.
OS,


-Semarang-

Thanks to Aswad dan Bogel untuk dokumentasi yang bikin semuanya terlihat nyata. Terima kasih sudah menjadikan perjalanan ini terjadi eaaaa~~

8 komentar:

  1. Hahaha oala baru liat sunpride ya mba nya

    BalasHapus
  2. Yoh ke pantai, liat sunlight

    BalasHapus
  3. Pemandangan di Dieng memang tiada duanya...dulu jaman masih SMA ini menjadi Favourit banget,,,,keren mbak....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Abis ini langsung ke Jogja mba nyamperin wkwk :D

      Hapus
  4. Sejuknya... sampe lupaterakhir jalan2..

    BalasHapus
  5. Keren memang pemandangan di Dieng dan ninggalin banyak kesan seru disana.

    Lucu ya kalau dengar bicara penduduk yang ngga fasih bahasa Inggris ... hahaha 😂, ngucapinya jadi keseleo lidah

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.