Ada
Apa dengan Demokrasi Saat Ini?
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan
di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan
yang dapat mengubah hidupnya masing-masing. Demokrasi mengizinkan warga negara
berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan (Wikipedia).
Didasarkan pada konsep dari dua akar katanya sendiri – demo dan cracy, demos artinya warga atau warganegara,
dan cracy (dari kata Latin kratos) adalah
kekuasaan/kedaulatan untuk mengatur atau memberlakukan (aturan-aturan).
Demokrasi di Indonesia saat ini
sedang beradaptasi dengan ‘ekologi’ zaman. Optimisme bahwa janji demokrasi
tidak pernah lepas dari mimpinya mengejar kebebasan dan keadilan adalah bagian
dari harapan orang-orang yang melakukan kerja agar demokrasi itu bekerja untuk
warga. Problem sistemik pertama di jantung demokrasi adalah masyarakat tidak
cukup terlibat karena selalu berada di “pinggiran”. Masyarakat enggan terlibat
dalam politik atau bahkan tidak terlibat karena tidak mempunyai sumber daya
yang dibutuhkan. Masalah utama dalam demokrasi tidak bisa dipecahkan tanpa
keberadaan warga. Demokrasi harus merespon lingkungan sekitar yang terus-menerus
berubah di satu pihak, dan terhadap kesulitan yang tampaknya tak pernah
berakhir di pihak lain. Pada kenyataannya problem-problem demokrasi akan muncul
terus-menerus karena berakar pada kondisi manusia.
Demokrasi
Adalah Tentang Transformasi, Bukan Sekadar Transaksi
Pekerjaan yang dilakukan warga
bersama warga lainnya, pada intinya adalah pekerjaan untuk menciptakan hal-hal dasar
untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dalam buku Ekologi Demokrasi diterbitkan oleh PARA Syndicate secara online, kerja bersama ‘orang-orang hebat’ dalam
memecahkan masalah lokal di lingkungan dan komunitas berarti simpul energi baru
demokrasi menghidupkan tindakan warga. Politik retorika ‘elite’ harus ditarik
membumi menjadi politik kerja ‘warga’ dengan pelibatan kepedulian setiap orang.
Benarkah?
Ketika tiba saatnya merealisasikan
mimpi untuk negeri, visi-visi besar dan seluruh gagasan pembaruan yang mencakup
segala hal tampaknya tidaklah sekredibel proyek-proyek kecil di mana masyarakat
mengambil tanggungjawab, memutuskan apa yang harus dilakukan, dan melakukan
sendiri banyak pekerjaan. Pesan sederhana namun menggugat.
Seni
jadi Media Aspirasi dan Advokasi Tuna Rungu
Naluri demokrasi ada jika kita merasa
utuh hanya melalui kerja sama yang berdampak bagi sekitar kita. Kata Margaret
Mead, jangan pernah meragukan bahwa sekelompok kecil warga yang berkomitmen
dapat mengubah dunia.
Kita memiliki naluri demokrasi karena kita memilikinaluri keutuhan; kita merasa utuh hanya melaluihubungan timbal balik,-Mary Parker Follet
Kelompok kaum tanpa suara membangun komitmen untuk punya
naluri demokrasi melalui seni. Semua orang berhak untuk saling berinteraksi,
berkomunikasi, dan mendapat informasi. Seni dapat mengangkat derajat
teman-teman tuli yang selama ini sering mengalami diskriminasi dalam berbagai
bidang (pendidikan, lapangan kerja, transportasi umum, dll) yang berimbas pada
tertutup dan hilangnya kesempatan untuk beraktualisasi dan menunjukkan
peran dalam masyarakat.
DAC menjadi wadah tuna rungu membangun semangat demokrasi Source:di sini |
Deaf Art Community (DAC), sebuah
komunitas seni tuli dengan semangat inklusi. DAC dibentuk sebagai suatu wadah
untuk berkumpul dan berinteraksi dengan menggunakan metode bahasa isyarat,
sehingga ‘dunia tanpa suara’ kerja bersama untuk mencapai tujuan
bersama, yaitu hilangnya batas komunikasi. Ketika sarana komunikasi universal
tidak dapat diakses secara setara oleh mereka, beragam cara dilakukan dalam
DAC. Ini menjadi komunitas yang bisa menjadi tempat bagi tuli untuk saling
belajar, berkreasi, berkarya dengan semangat demokrasi.
Jika sebelumnya para tuna rungu seolah
terpinggirkan, maka dengan adanya seni yang menjadi media aspirasi, DAC mampu menumbuhkan
kepercayaan diri bahwa kita mampu memberikan manfaat dalam menyelesaikan
permasalahan.
Berprestasi di Tengah Keterbatasan: Karya Demokrasi Adalah Kerja
DAC berdiri pada tanggal 28 Desember
2004 oleh Galuh Sukmara Soejanto atas dasar prakarsa dari Komunitas Tuna Rungu
Yogyakarta yang pada waktu itu tergabung dalam komunitas Matahariku Social
Voluntery. Dengan sebuah rumah singgah di Jalan Langenarjan Lor no.16 A,
Panembahan, Kraton, Yogyakarta, teman-teman tuli yang menjadi anggota semangat
menjalani aktivitas harian seperti sekolah, kuliah, bahkan yang sudah bekerja.
DAC Berkarya Source: di sini |
Keterbatasan layanan di ruang publik
menjadi dasar untuk mengadvokasi hak-hak orang tuli melalui DAC. Pada tahun
2006, DAC fokus pada beragam jenis kegiatan kesenian, yaitu teater, tari,
musik, menyanyi dengan bahasa isyarat, pantomin, puisi Bahasa Isyarat, dan hip
hop, serta beladiri
Capoeira.
Bisa berlatih tari tanpa mendengarkan musik, bisa bermain musik dengan keberadaan
suara yang dirasakan, bukankah mereka telah bekerja keras untuk berkarya?
Aku
Ingin Menjadi Kupu-Kupu
Anggota DAC tuli mencapai sekitar 30
orang dan hearing people sekitar 20
orang hingga tahun 2014. Sebuah kebersamaan yang memberikan ruang terhadap kepedulian
isu disabilitas dan berkomitmen untuk menghormati budaya tuli. Deaf Art
Community juga
memberikan informasi pendidikan, beasiswa ke luar negeri dan banyak lagi
kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan mimpi dari anak-anak difabel.
Semua orang, bahkan yang
memiliki keterbatasan fisik pun memiliki kesempatan yang sama. Karena “Aku
ingin menjadi kupu-kupu” yang akan terbang setelah melewati masa panjang saat menjadi ulat dan kepompong.
Tangan
yang Lebih Kuat, Tangan Kita
Kita adalah orang-orang yang sudah
lama menunggu. Setelah 72 tahun merdeka, kita begitu banyak menunggu untuk menumbuhkan
kesadaran untuk kerja
bersama membangun Indonesia.
Deaf
Art Community menjadi wadah melepaskan belenggu ‘dunia tanpa suara’ dengan kebebasannya
untuk membangun masa depan mereka sendiri. DAC berusaha merajut partisipasi orang
tuli untuk terlibat bekerja ‘mulai dari yang kecil’ untuk belajar dalam
semangat demokrasi.
Seni
menjadi tempat mereka memahami permasalahan, mengasah kemampuan, menjadi kreatif, hingga fokus
terhadap perannya masing-masing. Seni menjadi ruang aspirasi, mendapat
keadilan dan kesetaraan, dan usaha mereka untuk terlibat membangun Indonesia.
Kelak
semua kaum tuli di dunia berada di atas awan layaknya sebuah pesawat yang
sedang mengudara. Semua orang akan melihat mereka bisa mendapatkan perhatian
positif dari masyarakat dan mendapat perlakuan sama dengan yang lain. Karena
tangan yang lebih kuat untuk melakukan perubahan, untuk mewujudkan Indonesia
yang berorientasi pada masa depan positif adalah tangan kita sendiri.
Artikel ini diikutkan dalam lomba "Setelah 72 Tahun Merdeka: Bekerja Bersama Membangun Indonesia dalam Semangat Demokrasi Warga"
Sumber:
Buku Ekologi Demokrasi
Seni
Jadi Media Aspirasi dan Advokasi Orang Tuli, dalam Majalah Balairung Edisi 53
tahun 2017.
http://madaramadhanyy.blogspot.co.id
http://citralekha.com/dac/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar