Minggu, 17 September 2017

Deaf Art Community: Ruang Aspirasi Bagi Dunia Tanpa Suara

Ada Apa dengan Demokrasi Saat Ini?
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidupnya masing-masing. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan (Wikipedia). Didasarkan pada konsep dari dua akar katanya sendiri – demo dan cracy, demos artinya warga atau warganegara, dan cracy (dari kata Latin kratos) adalah kekuasaan/kedaulatan untuk mengatur atau memberlakukan (aturan-aturan).
Demokrasi di Indonesia saat ini sedang beradaptasi dengan ‘ekologi’ zaman. Optimisme bahwa janji demokrasi tidak pernah lepas dari mimpinya mengejar kebebasan dan keadilan adalah bagian dari harapan orang-orang yang melakukan kerja agar demokrasi itu bekerja untuk warga. Problem sistemik pertama di jantung demokrasi adalah masyarakat tidak cukup terlibat karena selalu berada di “pinggiran”. Masyarakat enggan terlibat dalam politik atau bahkan tidak terlibat karena tidak mempunyai sumber daya yang dibutuhkan. Masalah utama dalam demokrasi tidak bisa dipecahkan tanpa keberadaan warga. Demokrasi harus merespon lingkungan sekitar yang terus-menerus berubah di satu pihak, dan terhadap kesulitan yang tampaknya tak pernah berakhir di pihak lain. Pada kenyataannya problem-problem demokrasi akan muncul terus-menerus karena berakar pada kondisi manusia.

Demokrasi Adalah Tentang Transformasi, Bukan Sekadar Transaksi
Pekerjaan yang dilakukan warga bersama warga lainnya, pada intinya adalah pekerjaan untuk menciptakan hal-hal dasar untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dalam buku Ekologi Demokrasi diterbitkan oleh PARA Syndicate secara online, kerja bersama ‘orang-orang hebat’ dalam memecahkan masalah lokal di lingkungan dan komunitas berarti simpul energi baru demokrasi menghidupkan tindakan warga. Politik retorika ‘elite’ harus ditarik membumi menjadi politik kerja ‘warga’ dengan pelibatan kepedulian setiap orang. Benarkah?
Ketika tiba saatnya merealisasikan mimpi untuk negeri, visi-visi besar dan seluruh gagasan pembaruan yang mencakup segala hal tampaknya tidaklah sekredibel proyek-proyek kecil di mana masyarakat mengambil tanggungjawab, memutuskan apa yang harus dilakukan, dan melakukan sendiri banyak pekerjaan. Pesan sederhana namun menggugat. 

Seni jadi Media Aspirasi dan Advokasi Tuna Rungu
Naluri demokrasi ada jika kita merasa utuh hanya melalui kerja sama yang berdampak bagi sekitar kita. Kata Margaret Mead, jangan pernah meragukan bahwa sekelompok kecil warga yang berkomitmen dapat mengubah dunia. 
Kita memiliki naluri demokrasi karena kita memilikinaluri keutuhan; kita merasa utuh hanya melaluihubungan timbal balik,-Mary Parker Follet
Kelompok kaum tanpa suara membangun komitmen untuk punya naluri demokrasi melalui seni. Semua orang berhak untuk saling berinteraksi, berkomunikasi, dan mendapat informasi. Seni dapat mengangkat derajat teman-teman tuli yang selama ini sering mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang (pendidikan, lapangan kerja, transportasi umum, dll) yang berimbas pada tertutup dan hilangnya kesempatan untuk beraktualisasi dan menunjukkan peran dalam masyarakat.
DAC menjadi wadah tuna rungu membangun semangat demokrasi
Source:di sini
Deaf Art Community (DAC), sebuah komunitas seni tuli dengan semangat inklusi. DAC dibentuk sebagai suatu wadah untuk berkumpul dan berinteraksi dengan menggunakan metode bahasa isyarat, sehingga ‘dunia tanpa suara’ kerja bersama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu hilangnya batas komunikasi. Ketika sarana komunikasi universal tidak dapat diakses secara setara oleh mereka, beragam cara dilakukan dalam DAC. Ini menjadi komunitas yang bisa menjadi tempat bagi tuli untuk saling belajar, berkreasi, berkarya dengan semangat demokrasi.
Jika sebelumnya para tuna rungu seolah terpinggirkan, maka dengan adanya seni yang menjadi media aspirasi, DAC mampu menumbuhkan kepercayaan diri bahwa kita mampu memberikan manfaat dalam menyelesaikan permasalahan.

Berprestasi di Tengah Keterbatasan: Karya Demokrasi Adalah Kerja
DAC berdiri pada tanggal 28 Desember 2004 oleh Galuh Sukmara Soejanto atas dasar prakarsa dari Komunitas Tuna Rungu Yogyakarta yang pada waktu itu tergabung dalam komunitas Matahariku Social Voluntery. Dengan sebuah rumah singgah di Jalan Langenarjan Lor no.16 A, Panembahan, Kraton, Yogyakarta, teman-teman tuli yang menjadi anggota semangat menjalani aktivitas harian seperti sekolah, kuliah, bahkan yang sudah bekerja.
DAC Berkarya
Source: di sini
Keterbatasan layanan di ruang publik menjadi dasar untuk mengadvokasi hak-hak orang tuli melalui DAC. Pada tahun 2006, DAC fokus pada beragam jenis kegiatan kesenian, yaitu teater, tari, musik, menyanyi dengan bahasa isyarat, pantomin, puisi Bahasa Isyarat, dan hip hop, serta beladiri Capoeira. Bisa berlatih tari tanpa mendengarkan musik, bisa bermain musik dengan keberadaan suara yang dirasakan, bukankah mereka telah bekerja keras untuk berkarya? 

Aku Ingin Menjadi Kupu-Kupu
Anggota DAC tuli mencapai sekitar 30 orang dan hearing people sekitar 20 orang hingga tahun 2014. Sebuah kebersamaan yang memberikan ruang terhadap kepedulian isu disabilitas dan berkomitmen untuk menghormati budaya tuli. Deaf Art Community juga memberikan informasi pendidikan, beasiswa ke luar negeri dan banyak lagi kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan mimpi dari anak-anak difabel. 
Semua orang, bahkan yang memiliki keterbatasan fisik pun memiliki kesempatan yang sama. Karena “Aku ingin menjadi kupu-kupu” yang akan terbang setelah melewati masa panjang saat menjadi ulat dan kepompong.

Tangan yang Lebih Kuat, Tangan Kita
Kita adalah orang-orang yang sudah lama menunggu. Setelah 72 tahun merdeka, kita begitu banyak menunggu untuk menumbuhkan kesadaran untuk kerja bersama membangun Indonesia.
Deaf Art Community menjadi wadah melepaskan belenggu ‘dunia tanpa suara’ dengan kebebasannya untuk membangun masa depan mereka sendiri. DAC berusaha merajut partisipasi orang tuli untuk terlibat bekerja ‘mulai dari yang kecil’ untuk belajar dalam semangat demokrasi.
Seni menjadi tempat mereka memahami permasalahan, mengasah kemampuan, menjadi kreatif, hingga fokus terhadap perannya masing-masing. Seni menjadi ruang aspirasi, mendapat keadilan dan kesetaraan, dan usaha mereka untuk terlibat membangun Indonesia.
Kelak semua kaum tuli di dunia berada di atas awan layaknya sebuah pesawat yang sedang mengudara. Semua orang akan melihat mereka bisa mendapatkan perhatian positif dari masyarakat dan mendapat perlakuan sama dengan yang lain. Karena tangan yang lebih kuat untuk melakukan perubahan, untuk mewujudkan Indonesia yang berorientasi pada masa depan positif adalah tangan kita sendiri.

Sumber:
Buku Ekologi Demokrasi
Seni Jadi Media Aspirasi dan Advokasi Orang Tuli, dalam Majalah Balairung Edisi 53 tahun 2017.
http://madaramadhanyy.blogspot.co.id
http://citralekha.com/dac/
http://youthyakarta.com/

Artikel ini dimenangkan sebagai juara 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.