“Dunia
tidak hanya sebatas halaman rumah, jalanan macet, sepetak kubikel kantor yang
sempit. Dunia juga kaya rasa, jauh lebih bercitarasa jika dibandingkan dengan
sekotak nasi sayur bekal makan siang. Ada banyak cara untuk menjelajahinya
selagi masih bisa.” – Fahmi Anhar
Dari kiri: Nadia, Aswad, Bogel, Onix, Siti, Agas |
Menjadi ‘anak rumahan’ rupanya telah
lama merayap diam-diam dalam diri saya. Konsisten pada sepetak meja dan layar
laptop tampaknya menjadi alasan untuk enggan beranjak. Mengklaim kalau itu
adalah sebuah nyaman, saya pernah merasa cukup untuk tidak kemana-mana, karena
ada begitu banyak hal yang memberi batas pada langkah tanpa sengaja.
Dulu, saya bermimpi bisa memupuk
kebanggaan pada suatu pencapaian. Dulu, saat saya belum mengenal ruang di luar
rumah. Lantas sejak satu-dua-kali perjalanan yang mengajari saya untuk
mendengar alam lebih jernih dan menjajal rasa takut pada hal-hal tak terduga,
perlahan ironi monoton dalam keseharian saya berangsur hilang, walau belum
tuntas sepenuhnya.
Dulu, saya mengira kalau menenggak
tawa butuh waktu lama. Pernah saya mengira hal tersulit adalah keluar dari
suatu zona. Nyatanya dengan mencipta memori perjalanan bisa mencakup semuanya.
-**-
Aswad
yang iseng kami ajak main saat itu mengaku punya jadwal lain. Sekitar pukul 8
malam, ia malah menawarkan di chat room yang
saya dan Nadia sebut MPC terselubung “Jogja atau Wonosobo? Silakan dipilih”. Antusias?
Jelas! Wonosobo adalah wish list saya
tahun ini, entah Aswad sedang bercanda atau tidak, spontan saya balas “Wonosobo
gas”.
Kadang
sebuah perjalanan tidak perlu itinerary, entah
kemana tujuannya dan bagaimana bisa sampai di sana. Hanya butuh beberapa jam
untuk ‘mencari massa’ walaupun dengan sedikit drama. Dengan meeting point di kontrakan Bogel, kami
gegas meluncur ke Wonosobo kira-kira pukul 2 dini hari.
Jarus.
Itulah sebutan bagi pejalan yang tidak perlu pikir panjang untuk menyiapkan babebubibo perjalanan. Setelah kurang
lebih 3,5 jam melewati rute Sumowono-Temanggung, kami berenam tiba di gardu
pandang Dieng. Ya, setelah berbagai umpatan mahasiswa-mahasiwa semester 7 yang
sudah sedikit jam terbang ini akibat suhu 15 derajat. Rupanya menggigil karena
dingin tidak sebercanda kala bernyanyi Sembilan, Sepuluh, biarlah berlalu~~~
HAHA LOL.
Sejenak
Aswad, Agas, Bogel, dan Siti menunaikan shalat subuh di sana. Sementara saya, Nadia,
dan sekelumit kebodohan, tertawa menggigil sambil menyeruput secangkir popmie.
Jangan heran jika saya lebih menggunakan kata ‘seruput’ di sini, karena ketika
suhu tidak bisa diajak kompromi, maka semua adalah mungkin.
“Orang-orang
di sini kok bisa tahan banget ya,” cetus Nadia saat kami melahap popmie.
“Kalo
nggak dingin bukan Dieng namanya, mba.” Suara bapak paruh baya yang sedang
menyalakan tungku terdengar samar.
“Ya
kan udah biasa, Nad,” jawab saya sekenanya.
Namun,
sekatrok-katroknya saya dengan suhu yang kontras dari Semarang ini, lebih
katrok lagi saat saya menyaksikan fajar-dengan-warna-keemasannya yang ingin
menampakkan diri. Percaya atau tidak, saya ingin menangis melihatnya. Maaf katrok,
karena selama 20 tahun, saya menyadari kalau ada begitu banyak hal yang
ternyata sudah saya lewatkan. Hamburan cahayanya, perpaduan gunung yang
menghimpitnya, warna langitnya antara biru dan kelabu, lampu-lampu rumah
penduduk yang tersebar berantakan dari kejauhan, dingin menggigil yang menusuk,
adalah satu paket yang bisa saya nikmati karena baru saja keluar dari zona
nyaman.
“Ayo
selfie!” Ajakan mainstream untuk mengabadikan momen menjadi pelengkap di pagi
itu.
“Satu,
dua, ti...”
Ke
hadapan kami berenam dan sekian banyaknya wisatawan di gardu pandang, terima
kasih Dieng karena telah membuat saya jatuh hati dan ingin ke sana lagi.
-**-
Dengan
alasan ‘tidak keburu’ melihat Golden
Sunrise di Sikunir, kami baru beranjak sekitar pukul 6 pagi.
Akibat
ulah Agas yang tidak terkendali seperti pertumbuhan Eceng Gondok di Rawa
Pening-_- alhasil sarung tangan sebelah kanan saya sudah berpindah kepemilikan
ke mas-mas-di pinggir jembatan. Jangan tanya kenapa bisa zz
Menyusuri
jalan menuju Sikunir, lagi-lagi kami gagal menahan keluhan.
“Mulih,
mulih!”
Saya
yang tadinya kesal dengan suhu dingin tertawa mendengar Agas berdalih demikian.
Entah berapa banyak gerakan tambahan yang kami ciptakan untuk berhadapan dengan
lingkungan.
“Eh
aku tadi sama Akbar malah balas-balasan kentut,” gumam Nadia dengan wajah
polosnya.
Sontak
kami tertawa.
“Iya
tau, tadi dia bilang, aku angkat dulu ya mau kentut,” tambahnya.
“Hahaha.
Iya kan dingin, Nadia sampe hapal suaranya lagi,” jelas Akbar.
Untuk
waktu yang sebentar, kami menepi ke pinggir jalan menyepakati sesuatu. Baru
saja berhenti, Bogel a.k.a Akbar menginstruksikan untuk melihat ke belakang.
“Liat
tuh bapaknya nyetir pake handuk,” ujar Bogel usil.
“Tadi
aku kira handuknya buat di kepala, ternyata di tangan hahaha,” tambahnya.
“HAHAHA,”
tawa kami meledak bercampur gigil.
Melihat
banyaknya orang-orang yang turun, mungkin mereka menerka ‘kenapa baru jam
segini naik ke Sikunir’. Seperti bisa membaca pikiran, seorang bapak menanyakan
hal tersebut.
“Mau
liat Sunpride, pak,” jawab Agas spontan. Si bapak berangsur pergi, tidak lagi
membalas sahutannya.
Kami
hanya nyengir, lantas Siti bergumam, “Ayo ah, nenek kakek aja kuat.”
Diantara
kami, ia yang paling bersemangat menapaki anak tangga. Berbeda dengan saya yang
kerap kali tertinggal di belakang.
“Nafasku
pendek,” alibi saya saat dicemooh haha.
Setibanya
di atas, semua momen yang diabadikan menjadi kewajiban tersendiri bagi juru
foto, Aswad dan Bogel. Mulai dari siluet, lansekap, selfie, sampai video-video
tak berfaedah bisa diciptakan dengan baik.
Dari
ketinggian, saya bisa merasakan kedamaian yang tidak ada dalam setumpuk tugas,
sederet deadline, dan sepanjang koridor kos-kampus. Tidak pernah ada. Saya bisa
melihat rumah penduduk lokal, danau, gunung, terasering ada dalam satu
lansekap, ditambah dengan keramahan khas alamnya.
“Lari
ya ke sana, nanti aku rekam,” Bogel mengawali.
“Ih
kan, nggak ada yang lari,” protes Siti karena tidak ada yang mengikutinya.
“Iya
beneran divideoin ini,” Aswad mempertegas.
“Satu,
dua...” pandu Bogel memberi aba-aba.
Baru
sekitar 2 meter berlari, Nadia berhenti dan menoleh “Heh pembodohan kan ini,
nggak direkam kan? Aku nggak mau ikutan ah udah,” gerutu Nadia karena tidak
percaya.
“Zz
beneran direkam loh ini Nad, ya udah kamu nggak usah ikut. Ayo ulang lagi,”
Mendengar
Bogel mulai mengomel, saya jadi teringat dengan logatnya yang khas saat
mengatakan “Iya di sana ada Stoberi.”
S-T-O-B-E-R-I.
HAHAHA!
Sama
halnya dengan Nadia yang sebelumnya bergumam, “Kayak Raksaksa itu lho.”
R-A-K-S-A-K-S-A.
HAHAHA!
Belum lagi saat Aswad bertingkah konyol layaknya Koala, atau Nadia dan Bogel bersahut-sahutan menirukan suara monyet, dan Agas yang merasa mirip Kuda (aku doang yang normal haha).
Tak peduli seberapa terlihat bodohnya kami, karena yang saya tahu bahagia bukan dicari, tapi diciptakan. Nyatanya kami juga punya sekelumit problematika, tapi tetap bisa menciptakan tawa.
Selepasnya dari Sikunir dan merehatkan
diri, kami gegas menuju Menjer. Butuh waktu sekitar 30 menit dari lokasi
sebelumnya. Dengan alibi kelelahan, kami berlima terlelap bebas beratapkan langit, beralas rumput dan kain.
Kenapa berlima? Karena Siti udah nggak dianggap. HAHA.
Merebahkan diri di pinggir telaga
adalah hal pertama kali yang saya lakukan. Dari sekian banyak kesempatan untuk
bisa tidur di atas kasur kosan yang nyaman, saya memilih untuk berada di sana. Seperti
lagu favorit Bogel, saya memilih untuk keluar dari zona nyaman. Daripada pagi
ke pagi, ku terjebak di dalam ambisi, mending sembilan, sepuluh, biarlah
berlalu~~
Karena
percayalah, dunia tidak hanya sebatas halaman rumah, jalanan macet, atau
sepetak kubikel kampus yang sempit. Ada banyak cara untuk menjelajahinya
selagi masih bisa.
Salam hangat,
dari
yang baru pertama kali ke dataran tinggi Dieng, dan kemudian jatuh hati.
OS,
OS,
Hahaha oala baru liat sunpride ya mba nya
BalasHapusYoh ke pantai, liat sunlight
BalasHapusPemandangan di Dieng memang tiada duanya...dulu jaman masih SMA ini menjadi Favourit banget,,,,keren mbak....
BalasHapusAbis ini langsung ke Jogja mba nyamperin wkwk :D
HapusAjak aku mbokan
BalasHapusYoh din, aku melu ae 🐥🐥
HapusSejuknya... sampe lupaterakhir jalan2..
BalasHapusKeren memang pemandangan di Dieng dan ninggalin banyak kesan seru disana.
BalasHapusLucu ya kalau dengar bicara penduduk yang ngga fasih bahasa Inggris ... hahaha 😂, ngucapinya jadi keseleo lidah