Sabtu, 30 Agustus 2014

Untaian Rindu dari Tanah Biru





Dari Eropa, mata birunya terpatri
Telapak tangan memikul dagu serentak menengadah
Gadis mongoloid itu sesekali menyeruput teh hijau,
Menenun awan di cakrawala, ia melirik.

Ikan serapu, mutiara hijau, kerang putih.
Dasar laut yang biru terpampang jelas
Memancar rindu yang amat sangat.
Raja Ampat, konon kabarnya.

Bersama kepak Cendrawasih, sanubari bersenandung.
Masih saja, bayangan cepat berkelebat.
Tak setetes rasa iripun mampu membuatnya karam,
terlebih terhadap kebudayaan orang
Karena Eropa tak punya Ngaben,
Keramahan Khas Bali yang berdenting pelan.

Sejenak gadis lugu berlaga,
riuh suara hati berlarian begitu saja
Sebentar-sebentar berganti ingatan.

Dari tanah kelahiran Sisingamangaraja, kemudian bernostalgia.
Tor-tor menghentakkan setiap kaki mungilnya di Toba
Waktu itu, Inang-inang tua tegak berdiri
Menari tiada taranya.  
“Ulos ini untukmu.”
Begitu katanya.

Tak lama itu, ia ingat lagi
Saat nelayan bersampan tersenyum
Wajah berseri berpendar kuat.
Melangkah sedikit saja ke ujung sumatera
Ada Rimba disana, suku kubu lebih akrabnya.
Pikirannya meraba, dibuai aroma Kajoe Aro yang membumbung di angkasa.
Mungkin sengaja ia mengintip buku dunia
Sambil mengira apa saja yang tertera disana,
Tatkala Unesco menorehkan daftar warisan
Batik. Itulah dia sapaan budaya lisan nonbedawi.

Oh sungguh, ia rindu mendekap Indonesia.
Ingatannya menari melagukan Rasa Sayange,
Tanpa kata diantara peluh penat.
Pernah sekali, waktu petang seorang mengingatkan,
Beta sekolah tinggi-tinggi, mau tunjukkan ke seluruh negri, ada Indonesia yang luasnya tak terkira persis budayanya.”

Gadis ini tak heran,
Bilamana ia singgah di Borneo, ada bahasa Nusantara yang menghantarkannya
Mengikat erat Dayak dan Batak tanpa sengaja.

Seperti sajak rayuan pulau kelapa,
Dari Weh di barat sana, singgah di Pulau bernama Sulawesi,
Hanyut dalam pesona Tari Pakarena,
Sampai pada akhirnya...
Kaki menyentuh ujung dunia, melebihi Atlantis pesonanya,
yang kini disapa Papua.
Semua disatukan hangat, dipeluk ibu pertiwi.

Tersadar akan pesona si cantik Puspa Bangsa,
Sang gadis terbuyar dari lamunan sederhana.
Dari sudut kota metropolis Ratu Elizabeth,
ia menyampaikan alunan rindu
Akan kearifan budaya juga keindahan warna
yang tentu menentramkan kalbu,
Menghanyutkan jiwa.



Kamis, 28 Agustus 2014

Ingin Pulang


Saya ingat, belakangan ini banyak keluarga dekat bertanya: "kapan berangkat"

Dan ya! Spontan saya menjawab: "oh..masih lama". Besok, kemudian lusa, satu minggu, dua minggu. Bahkan masih saja ada menanyakan hal yang sama. Saya masih merasa keberangkatan itu belum didepan mata.

Iya, saya menganggap hal itu biasa. Hari pasti berlalu, kan? Kecambah yang kemarin ditanam pasti bertambah usia, kan? Itu yang saya pikir. Tapi ternyata ada yang salah. Bukan waktu yang berlalu begitu cepat, bukan rasa ingin pergi yang selalu mendesak, tapi ada rindu yang datang disaat yang salah.  Saya rindu untuk pulang, saya rindu berkumpul dengan orang-orang yang sebelumnya saya anggap menyebalkan, saya rindu menikmati masakan seorang wanita yang selalu mengomeli saya, saya rindu malam-malam yang menyenangkan: saat dimana tawa bisa meledak seketika bahkan berulang-ulang, saya rindu mendekap senyum mereka, saya rindu semua sudut rumah, saya rindu rasa aman dan nyaman saat saya terlelap dalam gelap dan rasa lelah, saya rindu sosok yang selalu mengerti apa yang saya butuhkan. Apa perlu saya beritahu semua rasa rindu yang berlebihan ini? 

Pergi untuk kembali. Iya, saya tahu itu. Tapi untuk berapa lama? satu jam? dua hari? Berminggu-minggu? Atau sampai rasa rindu ini kadaluarsa?
Saya pikir ini hanya omong kosong! Keluhan para pendatang yang meramaikan sosial media, saya pikir ini adalah hal yang mudah untuk dilewati. Tapi ternyata... ah entahlah.

Doa kecil ini hanya bisa saya gantungkan diatas langit-langit, agar terus terlihat dan tak lupa untuk saya ucapkan, siang dan malam. 
Bahkan saya selalu ingin menyempatkan diri untuk bertemu senja, menyampaikan rindu dan kata-kata kepada mereka bahwa :

Saya ingin pulang.





Sabtu, 26 Juli 2014

Di Balik Labirin



 "Aku akan ada esok dan seterusnya"


Untukmu  辜美霞 ,

Ada kejora yang menghantarkan aku.

Kamu tahu kemana?

Aku berharap ke ujung pelangi,

Ternyata tidak. 

Bukan hanya bintang pagi itu, tapi jalan-jalan setapak yang membawa kaki melangkah.

Aku berusaha meraup jejak-jejak kecil supaya bisa tiba disana.

Kamu tahu dimana?

Di balik labirin .

Sederhana memang, tapi disanalah aku dan kamu dipertemukan.

Untuk menjalin pertemanan sederhana.

Iya awalnya hanya itu.

Entahlah, aku ingin kejora diatas sana terus mengikuti hati.

Supaya saat ada yang pergi, selalu ada alasan untuk kembali.

Supaya ia tidak hanya ada disaat pagi.

Kamu tahu kenapa?

Karena aku ingin kita menjadi senja.

Tak apa jika nanti ditelan langit, namun senja tetap hadir esok dan seterusnya.

Ia juga tak pernah ingkar janji dan akan kembali esok hari.

Tak seperti pelangi yang tak tahu kapan akan datang lagi.

Ini hanya angan. Aku tidak tahu ia terus berawan atau bisa digenggam.

Aku juga berharap aku dan kamu seperti malam. Walau ada mendung, tapi tak kelihatan.

Tak seperti siang, terkadang cerah dan menipu.

Saat pudar, sukar sekali untuk kembali bersinar.

Aku tidak bisa merayakan hari lahirmu untuk kesekian kali.

Tapi kamu tahu?

Aku disini mendoakanmu, agar selalu baik-baik saja.

Tak perlu yang sering dikatakan banyak orang.

Sederhana. Keadaanmu yang paling penting.

Maaf untuk kecewa yang pernah kamu dapatkan dariku.

Maaf untuk kata yang belum sempat aku sampaikan. Bahkan rindu.

Selamat ulang tahun Nathasya Miranda.

Teruslah menjadi Maple, yang selalu indah walau ia tak sempurna.

                                                                                                                        Tertanda,
                                                                                                                        Bunga yang manis.
                                                                                                                       




Sabtu, 12 Juli 2014

Alone Like a Bluebell




Alone like a bluebell, waiting for the bluebird to come, and against me with the warmth of its love, forever more” –Rizky Amallia

Setangkai bluebells yang menunduk malu ternyata menjadi latar jendela berembun dikamarku. Padahal musim untuk para bunga lonceng ini bermekaran sudah tiba, tapi yang aku lihat ia hanya sendirian, menikmati suasana kota yang ramai dipenuhi oleh sekawanan manusia yang sedang mengadakan festival tahunan. Entahlah, tidak bisa dipastikan apakah ia benar-benar menikmatinya atau sedang menunggu kedatangan bluebells-bluebells yang lain.   

Sementara itu disurat kabar diberitakan tentang seorang pendaki gunung yang konon tersesat setelah melihat manusia kerdil di ujung lembah atau seorang manusia yang masih bertahan hidup dengan penyakit lamanya-kanker paru-paru-. Tak ada yang menarik. Bahkan dimusim ini begitu banyaknya objek yang bisa dilihat, tapi bagi pria berkumis tipis ini,  berdiam diri di dalam kamar adalah pilihan terbaik.

Sambil menatap nanar keluar jendela, ia menyeruput segelas kopi pahit ditemani sejuknya embun pagi. Berulang-ulang bayangan seorang gadis melintas dipikirannya. Sesekali lelaki yang biasa disapa Mr.Potato ini melirik bingkai foto berhias kerang putih yang terpampang di atas meja. Dirinya dan malaikat yang manis. Ada pesona senja yang cantik disana, dengan rangkaian bunga tulip berbentuk angka 18.

“Oh,  jadi laki-laki yang sudah tiga tahun terakhir hilang, ternyata berlibur ke city of Windmill ?”. Ternyata ada seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan apa yang sedang dilakukannya. Tapi jujur saja, ia sudah tahu kedatangannya kemari.  

“Kapan kau tiba disini? Tadi malam? Tapi aku tidak lihat seorang pun di apartmentmu.”
Lagi-lagi ia mengusik kediamanku!

Pertanyaan basa-basinya tak digubris sama sekali. Tatapan pria itu kosong, sementara teriknya siang hari mulai memasuki ruangan melalui celah ventilasi. Ternyata wanita itu masih saja tak berubah, selalu mengintrogasi hal-hal tak penting.

“Wow, apa aku ketinggalan sesuatu? Sejak kapan kau punya ini?” katanya sambil menunjuk pohon sakura kecil di sudut kamar.

“Hmm...kau baru saja dari Jepang? Mengapa tak pernah mengabariku?” Mr.Potato membiarkan wanita itu berceloteh panjang lebar, seolah-olah tidak ada lawan bicara. Kemudian ia mengambil sepucuk kertas dari pohon sakura kecil itu. Tingkahnya benar-benar merusak suasana.

Teruntuk bluebells,
Aku tidak tahu apa yang sedang kau tunggu, mungkin seorang teman yang ingin memetik kemudian merawatmu dengan penuh cinta. Aku hanya berharap kesendirian yang kau rasakan berakhir secepatnya.
Seperti aku yang dulu pernah merasakan kesepian tak berujung, hidup seperti nyawa yang segan untuk mati. Tapi kemudian seseorang yang penuh arti hadir secara cuma-cuma dalam hidupku, lalu seperti daun Ek yang menyisir ke lautan,  ia hilang dan tak pernah kembali.”

“Tidak untuk yang itu! Jangan sentuh apapun yang ada dikamarku!” Spontan lelaki berusia 20 tahunan itu berteriak karena sempat membaca harapan yang selalu disimpan rapi disetiap ujung pohon sakura.

Pria itu menatapnya tajam, seperti menyimpan masa lalu.
“Jadi siapa dia?” Wanita itu balas dengan tatapan yang sama sinisnya.  

“Kau tidak perlu tahu soal itu, Anne!” Kemudian ia berlalu, kembali menatap ke arah luar jendela.

“Kemarin kasus pembunuhan George telah terungkap, dan pelakunya adalah Stefanus, bukankah itu rekan lamamu? Berhati-hatilah karena kabarnya kau adalah target berikutnya.” Anne berusaha mengalihkan.

“Bukankah itu berita baik? Aku juga sudah muak hidup setengah mati dengan kanker ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu.” Tangan kirinya diselipkan ke dalam saku, berusaha bersikap tenang.
“Tapi...aku tidak mau itu terjadi.” Wanita itu menambahkan.
“Maksudmu?”
“Aku ingin menjadi bluebells yang lain.” katanya lagi.
Pria berbaju hijau pupus itu diam, berusaha mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Mungkin ini mengejutkan, tapi jujur, selama kau pergi, aku merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Aku berharap kau mengerti.”
Apa yang diingankannya?!
 “Aku hanya tidak mau terlambat lagi.” Kalimat yang dilontarkan Anne semakin tidak masuk akal, pria itu masih saja tidak paham. Entahlah, hal yang tidak jelas berkecambuk dalam hatinya.
Keduanya diam, tak seorang pun berani memulai pembicaraan. Keheningan memenuhi ke seluruh penjuru ruangan yang dibalut karpet merah dan gorden yang senada.

Tak lama itu Anne menyodorkan kotak yang dibungkus dengan kain berwarna merah marun, persis dengan warna kesukaan lelaki itu. Tapi tetap saja, Mr Potato memilih untuk bungkam, ia menggenggam bingkai foto yang sedari tadi dilihatnya.

“Baiklah, jika kau tidak mau bicara. Secepatnya aku akan pergi dari sini. Besok Chand akan melamarku, dan kami akan ke Frankland untuk pernikahan. Selamat berakhir pekan.” Volume suaranya merendah, tidak seperti saat pertama ia berbicara di awal pertemuan. Kemudian tersirat kesedihan yang amat sangat, air matanya menetes menyentuh pijakan.
Wanita itu beranjak dari tempat ia berdiri, bergegas meninggalkan apartment itu dan tak lupa menghapus semua kenangan tentang yang baru saja terjadi.

Mr Potato masih saja diam, ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Anne, tangan kanannya kemudian merogoh kotak kecil yang diletakkan wanita itu di atas meja.

“Selamat ulang tahun, Hans. Selamat tanggal 18  untuk yang kesekian kalinya, aku akan merindukanmu.” Begitu ia membukanya, suara lembut Anne terdengar jelas ditelinganya. Ia teringat sesuatu. Tanpa disadari, pria bermata coklat itu berlari ke luar kamar, ia mengikuti kata hatinya.

Sosok gadis itu ternyata masih dalam jangkauan mata, ia berjalan tanpa gairah, seperti baru saja melepas seseorang yang berarti dalam hidupnya. Entahlah, rasanya seperti dicabik-cabik oleh belenggu, sakit sekali.

Lelaki itu terus saja berlari, hingga akhirnya meneriakkan sebuah nama.
“Anne! Tunggu!”

Anne terus berjalan tanpa arah, ia bahkan tak menyadari Mr Potato mengejarnya.

Hans memanggilnya untuk yang kedua kali. “Anne, aku mohon.”

Kemudian wanita itu berbalik arah menoleh ke belakang dan mendapati lelaki itu berkeringat setelah berlari cukup lama. Ia masih diam, tidak memberi komentar apapun.

Hans menatapnya dalam dan menemukan mata yang sama, yang dulu selalu membuatnya tenang. 
“Your eyes are the last thing I wanna see.” katanya memberikan jawaban.


***







Senin, 30 Juni 2014

When the World has Its Colours



Jadi pada -malam-malam dimana semua manusia di rumah sudah terlelap, melepas kantuk yang meraja, saya masih saja ada disini. Di depan layar laptop, menuliskan sesuatu mengenai warna. Entahlah, disaat semua orang memilih untuk memejamkan mata dan rehat sejenak, saya bahkan ingin mengumbar-umbar apa yang baru saja terjadi atau bagaimana kedepannya.

Ada enam warna berbeda disini. Merah, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. 
-Ayah, sosok penuh arti dalam hidup saya, yang memberi kekuatan disaat hal tak terduga sewaktu-waktu terjadi, yang mendekap saya penuh cinta jika melihat ada kesedihan dari mata. Dia-lah yang kini kerap memanggil saya 'putri kecil'. 
julukan manis yang nantinya akan selalu dirindukan. 


-Ibu. Walau terkadang, seringkali memberi pengertian dengan cara yang salah, tapi bagi saya dia-lah seorang malaikat penyejuk hati. Ibarat makanan, akan hambar jika tidak diberi garam. Sosok wanita yang sesungguhnya kuat, memperjuangkan apa yang terbaik untuk keluarga, memberi kehangatan pada anak-anaknya, ya! dia-lah ibu saya yang luarbiasa! 

-Abang. Hmmm
Manusia yang sebenarnya menyebalkan, keras kepala, egois, bla dan bla.
Sungguh! kerap kali saya kecewa terhadapnya. Tidak bisa tegas dalam mengambil keputusan, terkadang semena-mena dengan keadaan. Miris, bukan?
Tapi, yang benar saja! Saya, tidak ingin kehilangan dia! sosok yang sesungguhnya menyatukan keluarga dengan kehangatan, tempat berteduh jika panas dan hujan menghampiri adik-adiknya.
Tidakkah kau mengerti? bahwa ada warna hijau sebelum aku. Tidakkah kau tau bahwa aku, kami sungguh mencintaimu? Itu caraku untuk bisa mengenalmu lebih jauh, tidakkah kau sadari itu? Mungkin, nanti, disaat aku tidak lagi ada didekatmu, kau adalah sosok yang paling aku cari. 

-Evelin. 
Adik saya yang paling membosankan. Saya memberi pernyataan seperti itu, jelas karena alasan.
Dialah sosok yang -paling-keras-kepala, tidak mau kalah, selalu menganggap dirinya benar. huh.
Terkadang jika hati dan mulut tidak bisa diajak kompromi, saya kerap kali menyuruhnya untuk diam, sama persis dengan suara yang dilontarkannya. 
Tapi, sungguh! saya menyayanginya lebih dari yang dia tau! 

-Dina.hmm
Adik yang sebenarnya lebih mengerti keadaan dibanding yang lain, diluar dari semua hal negatif dalam dirinya, saya percaya bahwa nantinya dia-lah yang akan memberi pengertian diantara kami, mendengarkan keluh kesah satu sama lain. Sibungsu yang sebentar lagi beranjak dewasa. 
tapi, ketahuilah sayang, kakak pasti akan merindukanmu. nanti. 

Mereka. Iya mereka semua. adalah 5 warna yang berbeda.
Jika hanya ada biru didalamnya, maka tidak akan ada pelangi.
Kita. adalah warna-warna yang berbeda, namun akan indah jika disatukan.

Dari sisi kamar, saya menuliskan sebuah kehidupan yang dinaungi satu atap beralaskan kasih.
Bapa, kiranya Kau pertemukan kami lagi satu-persatu didekatMu, menjadi keluarga yang utuh dan penuh cinta:)


Regards,
Blue Princess. 





Senin, 26 Mei 2014

If the time passed away


Jadi sejauh ini, masih ada yang aku khawatirkan.
Bukan tentang tujuan hidup, jodoh,  atau masa depan.
Bukan itu semua. Karena aku juga tau, untuk hal-hal yang terjadi, sudah ada yang mengatur : Tuhan.

Pertemanan. Terdengar klasik memang, tapi itu yang selama ini menjadi teka-teki dan sebenarnya sudah ada jawaban. Untuk sekian banyak orang, mereka malas memperdebatkan. Tapi tidak bagiku. 

Aku ragu untuk semua pertemanan yang sudah pernah ter-rangkai, kemudian dengan tidak sengaja menjadi sebuah cerita lalu diikat dengan tali yang mempereratnya.  Bahkan sampai saat ini, aku masih tidak yakin.
Time passed away, and I just can't get you off my mind. 
I keep on searching but I can't find you.

Terlalu banyak klise yang aku dengar dari mulut-mulut tak terkunci: "I always remember you."
Nyatanya?
Seminggu setelah tak ada lagi perjumpaan : "Heei...ada waktu kosong kan?kita kumpul bareng ya."
Sebulan setelah itu : "Aaa udah lama nggak cerita, ketemuan yuuk."
Setahun kemudian : "Halo... apa kabar? long time no see."

Lalu bagaimana 20tahun mendatang? Jelas aku ragu.
Dua insan yang pernah Tuhan pertemukan, kemudian karena "salahnya" waktu, mereka tak lagi saling mengenal baik, seperti dulu. Masing-masing sudah menjadi hal asing dalam hidupnya, sudah lupa dengan cerita, canda tawa, tangis haru, bahkan semua hal indah yang -kabarnya- akan menjadi kenangan. 
Entahlah, aku masih tidak paham. 
"But, sorry if I'm too shy to ask about you, I'm too proud to lose..
Will I ever see you smiling at me? no one knows."










Kamis, 15 Mei 2014

Alone Like a Bluebell (2)








Alone like a bluebell, waiting for the bluebird to come, and against me with the warmth of its love, forever more” -RA

Setangkai bluebells yang menunduk malu ternyata menjadi latar jendela berembun dikamarku. Padahal musim untuk para bunga lonceng ini bermekaran sudah tiba, tapi yang aku lihat ia hanya sendirian, menikmati suasana kota yang ramai dipenuhi oleh sekawanan manusia yang sedang mengadakan festival tahunan. Entahlah, tidak bisa dipastikan apakah ia benar-benar menikmatinya atau sedang menunggu kedatangan bluebells-bluebells yang lain.    

Sementara itu disurat kabar diberitakan tentang seorang manusia yang masih bertahan hidup dengan penyakit lamanya-kanker paru-paru-. Bertahan? Omong kosong! Percuma berjuang jika hasilnya nihil! Tak ada yang menarik. Bahkan dimusim ini begitu banyaknya objek yang bisa dilihat, tapi bagiku merokok adalah hal yang paling me-legenda.

“Kenapa tidak ada masalah semenarik bunga tulip yang aku lihat di Monet’s-Garden waktu itu ya?” Sambil menatap nanar keluar jendela, tak segan bibir ini menyeruput segelas kopi pahit ditemani dengan tiga bungkus rokok kretek.  

“Oh,  jadi laki-laki yang sudah tiga tahun terakhir hilang, ternyata berlibur ke Frankland?”. Ternyata ada seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan apa yang sedang aku lakukan. Tapi jujur saja, aku sudah tahu kedatangannya kemari. Pertanyaan basa-basinya tak aku gubris sama sekali. Tatapanku kosong, sementara empat batang rokok sudah habis hingga ujungnya.  

“Kapan kau tiba disini? Tadi malam? Tapi aku tidak lihat seorang pun di apartmentmu.” Lagi-lagi ia mengusik kediamanku. Heh!Dasar tikus! Gerak-geriknya membuat aku tak nyaman, bukan mulutnya saja yang tak berhenti berceloteh, tapi tangannya pun ikut mengintrogasi benda-benda antik milikku.

“Wow, apa aku ketinggalan sesuatu? Sejak kapan kau punya ini?” katanya sambil menunjuk pohon sakura kecil disudut kamar.

“Hmm...kau baru saja dari Jepang? Mengapa tak pernah mengabariku?” Aku membiarkan wanita itu berceloteh panjang lebar, seolah-olah tidak ada lawan bicara. Kemudian ia mengambil sepucuk kertas dari pohon sakura kecil itu. Tingkahnya membuat aku geram, tapi berusaha mengendalikan emosi yang menggebu, karena sebenarnya aku paham, ia hanya mengumpan.

Teruntuk bluebells,
Aku tidak tahu apa yang sedang kau tunggu, mungkin seorang teman yang ingin memetik kemudian merawatmu dengan penuh cinta. Aku hanya berharap kesendirian yang kau rasakan berakhir secepatnya.
Ya, dulu aku pernah merasakan kesepian yang tak ada ujung, hidup seperti nyawa yang segan untuk mati. Dulu temanku hanya penyakit yang lebih buas dari singa betina, siang malam aku bersamanya menikmati hari-hari penantian. Tapi kemudian seseorang yang penuh arti hadir secara cuma-cuma dalam hidupku, lalu seperti daun Ek yang menyisir ke lautan,  ia hilang dan tak pernah kembali.”

“Tidak untuk yang itu, nona! Jangan sentuh apapun yang ada dikamarku!” Spontan aku berteriak karena ia sempat membaca harapan yang selalu aku simpan rapi disetiap ujung pohon sakura itu.  

Aku menatapnya tajam, ia seperti menjaga diri, takut kalau-kalau emosiku meledak seketika. Sesaat ia hanya diam, tapi kemudian berkomentar.

“Jadi siapa dia?” Ia menatapku sinis.

“Kau tidak perlu tahu soal itu, Anne. Hidupku sudah ditakdirkan untuk sendiri hingga keganasan penyakit yang dari dulu meronta-ronta ini berakhir.” kataku pasrah.

“Kemarin kasus pembunuhan George telah terungkap, dan pelakunya adalah Stefanus, bukankah itu rekan lamamu? Berhati-hatilah karena kabarnya kaulah target berikutnya.” Ia berusaha mengalihkan.

“Bukankah itu berita baik? Aku juga sudah muak hidup setengah mati dengan kanker ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu.”
“Tapi...aku tidak mau itu terjadi.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin menjadi bluebells yang lain.”
Aku terdiam, berusaha mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Mungkin ini mengejutkan, tapi jujur, selama kau pergi, aku merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Aku berharap kau mengerti.”
Apa yang diingankannya?!
 “Aku hanya tidak mau terlambat lagi.”
Aku menatapnya dalam dan menemukan mata yang sama, yang dulu selalu membuat aku tenang.  
“Your eyes are the last thing I wanna see.” kataku memberikan jawaban.






Jumat, 09 Mei 2014

Bunga Anyelir dan Perempuan Senja



Keraguan senja untuk memasuki masanya tampak dikala itu, ia tidak berani memancarkan sinar oranyenya dimuka  sebuah rumah berdinding krem, bersembunyi dibalik pohon berkayu yang tinggi. Ia kehilangan nyali.  Sesekali senja yang cantik ini mengetuk pintu lalu tak ada jawaban, ia takut, kemudian mengintip melalui celah jendela, ingin tahu keributan apa yang sedang terjadi di dalam.

Ibu. Itulah yang saat ini menjadi penyebab senja segan memasuki rumah kami.  Apa yang sudah terjadi? Entahlah, aku juga tak tahu pasti, yang jelas saat aku pulang malam itu, suasana api yang baru saja padam  sangat terasa. Jelas berbeda dari senja-senja biasanya, yang selalu terselip cerita, yang membawa kami satu-persatu larut dalam kehangatan, bahkan canda tawa. Inilah yang sering disebut masalah.

Aku merasa ini bukan persoalan daun Ek yang sesekali jatuh tidak gugur langsung ke jalan setapak, terbang jauh menyisir-nyisir udara, kadang-kadang terbang sangat tinggi, kadang-kadang nyaris sekali menyentuh daratan. Tampaknya ini seperti hujan yang datang bersamaan dengan rekannya, petir, kemudian menyambar-nyambar, dan menumbangkan pohon-pohon yang lemah tanpa pondasi.

Bukan waktu yang menjawab. Ia hanya memperingatkan seluruh manusia untuk berjaga-jaga, kalau-kalau masih ada diantara mereka yang masih membekukan hati, tak memberi ruang sedikit saja untuk mendamaikan keadaan.

Kemudian malamnya, aku mulai membiarkan pikiran ini diam, tidak kelayapan untuk hal yang saat ini bukan menjadi tujuan utama. Lama aku berpikir, mata yang hampir lelah menatap langit-langit kamar menangkap sinar redup dari arah tenggara tempat tidurku. Ternyata laptop yang tergeletak diatas meja masih terbuka lebar, dengan bunga anyelir yang menghiasi latar desktop. Aku terperangah, baru menyadari memori tentang keperkasaan bunga itu, ia mampu menginspirasi rakyat Portugal untuk mengedepankan revolusi yang berlangsung damai, tanpa banyak penumpasan darah,  sehingga membuat kudeta terbebas dari kekerasan. Peristiwa ini secara efektif mengubah rezim Portugis dan menghasilkan perubahan besar pada sendi-sendi sosial, ekonomi, dan politik. Ini jelas karena kelembutannya yang memberikan perubahan besar dan menciptakan keadaan yang lebih baik.

Keesokan paginya kudapati mata sudah melihat pagi, menelan sejuknya embun-embun yang setia menemani. Aku masih berdiam diri, melihat ibu yang sedari tadi melihat kearah yang sama terus-menerus, ia melamunkan sesuatu, matanya sembab seperti habis menangis semalaman. Aku sedih melihat keadaan ini masih sama, hingga akhirnya kurangkul ibu penuh kelembutan, seperti Anyelir yang tak pernah bosan menyejukkan jiwa yang baru saja terbakar. Ibu menangis, ia menceritakan apa yang sudah terjadi kemarin, jelas mewakili hatinya yang lesu.

“Semua akan baik-baik saja, ma. Tenanglah dan berdoa. Tuhan tidak pernah sia-sia dengan rencanaNya.”


Aku masih memeluknya dalam hangat, membisikkan sesuatu yang memberikan ia kekuatan. Ibu tersenyum, ia yakin semuanya pasti akan indah pada akhirnya, karena jika tidak indah, maka itu bukan akhirnya. Hingga senja kembali datang, kali ini ia tidak takut lagi menampakkan diri. Karena tahu senyuman manis yang membawa ia kembali pulang, ke rumahku, ke hati kami masing-masing. Aku tinggalkan pintu dan menutupnya sampai malam menjemput. 
Diberdayakan oleh Blogger.