Jumat, 09 Mei 2014

Bunga Anyelir dan Perempuan Senja



Keraguan senja untuk memasuki masanya tampak dikala itu, ia tidak berani memancarkan sinar oranyenya dimuka  sebuah rumah berdinding krem, bersembunyi dibalik pohon berkayu yang tinggi. Ia kehilangan nyali.  Sesekali senja yang cantik ini mengetuk pintu lalu tak ada jawaban, ia takut, kemudian mengintip melalui celah jendela, ingin tahu keributan apa yang sedang terjadi di dalam.

Ibu. Itulah yang saat ini menjadi penyebab senja segan memasuki rumah kami.  Apa yang sudah terjadi? Entahlah, aku juga tak tahu pasti, yang jelas saat aku pulang malam itu, suasana api yang baru saja padam  sangat terasa. Jelas berbeda dari senja-senja biasanya, yang selalu terselip cerita, yang membawa kami satu-persatu larut dalam kehangatan, bahkan canda tawa. Inilah yang sering disebut masalah.

Aku merasa ini bukan persoalan daun Ek yang sesekali jatuh tidak gugur langsung ke jalan setapak, terbang jauh menyisir-nyisir udara, kadang-kadang terbang sangat tinggi, kadang-kadang nyaris sekali menyentuh daratan. Tampaknya ini seperti hujan yang datang bersamaan dengan rekannya, petir, kemudian menyambar-nyambar, dan menumbangkan pohon-pohon yang lemah tanpa pondasi.

Bukan waktu yang menjawab. Ia hanya memperingatkan seluruh manusia untuk berjaga-jaga, kalau-kalau masih ada diantara mereka yang masih membekukan hati, tak memberi ruang sedikit saja untuk mendamaikan keadaan.

Kemudian malamnya, aku mulai membiarkan pikiran ini diam, tidak kelayapan untuk hal yang saat ini bukan menjadi tujuan utama. Lama aku berpikir, mata yang hampir lelah menatap langit-langit kamar menangkap sinar redup dari arah tenggara tempat tidurku. Ternyata laptop yang tergeletak diatas meja masih terbuka lebar, dengan bunga anyelir yang menghiasi latar desktop. Aku terperangah, baru menyadari memori tentang keperkasaan bunga itu, ia mampu menginspirasi rakyat Portugal untuk mengedepankan revolusi yang berlangsung damai, tanpa banyak penumpasan darah,  sehingga membuat kudeta terbebas dari kekerasan. Peristiwa ini secara efektif mengubah rezim Portugis dan menghasilkan perubahan besar pada sendi-sendi sosial, ekonomi, dan politik. Ini jelas karena kelembutannya yang memberikan perubahan besar dan menciptakan keadaan yang lebih baik.

Keesokan paginya kudapati mata sudah melihat pagi, menelan sejuknya embun-embun yang setia menemani. Aku masih berdiam diri, melihat ibu yang sedari tadi melihat kearah yang sama terus-menerus, ia melamunkan sesuatu, matanya sembab seperti habis menangis semalaman. Aku sedih melihat keadaan ini masih sama, hingga akhirnya kurangkul ibu penuh kelembutan, seperti Anyelir yang tak pernah bosan menyejukkan jiwa yang baru saja terbakar. Ibu menangis, ia menceritakan apa yang sudah terjadi kemarin, jelas mewakili hatinya yang lesu.

“Semua akan baik-baik saja, ma. Tenanglah dan berdoa. Tuhan tidak pernah sia-sia dengan rencanaNya.”


Aku masih memeluknya dalam hangat, membisikkan sesuatu yang memberikan ia kekuatan. Ibu tersenyum, ia yakin semuanya pasti akan indah pada akhirnya, karena jika tidak indah, maka itu bukan akhirnya. Hingga senja kembali datang, kali ini ia tidak takut lagi menampakkan diri. Karena tahu senyuman manis yang membawa ia kembali pulang, ke rumahku, ke hati kami masing-masing. Aku tinggalkan pintu dan menutupnya sampai malam menjemput. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.