Keraguan senja untuk
memasuki masanya tampak dikala itu, ia tidak berani memancarkan sinar oranyenya
dimuka sebuah rumah berdinding krem,
bersembunyi dibalik pohon berkayu yang tinggi. Ia kehilangan nyali. Sesekali senja yang cantik ini mengetuk pintu
lalu tak ada jawaban, ia takut, kemudian mengintip melalui celah jendela, ingin
tahu keributan apa yang sedang terjadi di dalam.
Ibu. Itulah yang saat
ini menjadi penyebab senja segan memasuki rumah kami. Apa
yang sudah terjadi? Entahlah, aku juga tak tahu pasti,
yang jelas saat aku pulang malam itu,
suasana api yang
baru saja padam sangat terasa. Jelas
berbeda dari senja-senja biasanya, yang selalu terselip cerita, yang membawa
kami satu-persatu larut dalam kehangatan, bahkan canda tawa. Inilah yang sering disebut masalah.
Aku merasa ini bukan
persoalan daun Ek yang sesekali jatuh tidak gugur langsung ke jalan setapak,
terbang jauh menyisir-nyisir udara, kadang-kadang terbang sangat tinggi,
kadang-kadang nyaris sekali menyentuh daratan. Tampaknya ini seperti hujan yang
datang bersamaan dengan rekannya, petir, kemudian menyambar-nyambar, dan
menumbangkan pohon-pohon yang lemah tanpa pondasi.
Bukan
waktu yang menjawab. Ia hanya memperingatkan seluruh manusia untuk
berjaga-jaga, kalau-kalau masih ada diantara mereka yang masih membekukan hati,
tak memberi ruang sedikit saja untuk mendamaikan keadaan.
Kemudian malamnya, aku mulai membiarkan pikiran ini diam,
tidak kelayapan untuk hal yang saat ini bukan
menjadi tujuan utama. Lama aku berpikir, mata yang hampir lelah menatap
langit-langit kamar menangkap sinar redup dari arah tenggara tempat tidurku.
Ternyata laptop yang tergeletak diatas meja masih terbuka lebar, dengan bunga
anyelir yang menghiasi latar desktop. Aku
terperangah, baru menyadari memori tentang keperkasaan bunga itu, ia mampu
menginspirasi rakyat Portugal untuk mengedepankan revolusi yang berlangsung
damai, tanpa banyak penumpasan darah, sehingga membuat kudeta terbebas dari
kekerasan. Peristiwa ini secara efektif mengubah
rezim Portugis dan menghasilkan perubahan besar pada sendi-sendi sosial,
ekonomi, dan politik. Ini jelas karena kelembutannya yang memberikan perubahan
besar dan menciptakan keadaan yang lebih baik.
Keesokan paginya kudapati mata sudah melihat pagi, menelan
sejuknya embun-embun yang setia menemani. Aku masih berdiam diri, melihat ibu
yang sedari tadi melihat kearah yang sama terus-menerus, ia melamunkan sesuatu,
matanya sembab seperti habis menangis semalaman. Aku sedih melihat keadaan ini
masih sama, hingga akhirnya kurangkul ibu penuh kelembutan, seperti Anyelir
yang tak pernah bosan menyejukkan jiwa yang baru saja terbakar. Ibu menangis,
ia menceritakan apa yang sudah terjadi kemarin, jelas mewakili hatinya yang
lesu.
“Semua akan baik-baik saja, ma. Tenanglah dan berdoa. Tuhan
tidak pernah sia-sia dengan rencanaNya.”
Aku
masih memeluknya dalam hangat, membisikkan sesuatu yang memberikan ia kekuatan.
Ibu tersenyum, ia yakin semuanya pasti akan
indah pada akhirnya, karena jika tidak indah, maka
itu bukan akhirnya. Hingga senja kembali datang, kali ini ia tidak takut lagi
menampakkan diri. Karena tahu senyuman manis yang membawa ia kembali pulang, ke
rumahku, ke hati kami masing-masing. Aku tinggalkan pintu dan menutupnya sampai
malam menjemput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar