“Alone like a bluebell,
waiting for the bluebird to come, and against me with the warmth of its love, forever more” -RA
Setangkai bluebells yang menunduk malu ternyata menjadi
latar jendela berembun dikamarku. Padahal musim untuk para bunga lonceng ini
bermekaran sudah tiba, tapi yang aku lihat ia hanya sendirian, menikmati
suasana kota yang ramai dipenuhi oleh sekawanan manusia yang sedang mengadakan
festival tahunan. Entahlah, tidak bisa dipastikan apakah ia benar-benar
menikmatinya atau sedang menunggu kedatangan bluebells-bluebells yang
lain.
Sementara itu disurat
kabar diberitakan tentang seorang manusia yang masih bertahan hidup dengan
penyakit lamanya-kanker paru-paru-. Bertahan?
Omong kosong! Percuma berjuang jika hasilnya nihil! Tak ada yang menarik. Bahkan
dimusim ini begitu banyaknya objek yang bisa dilihat, tapi bagiku merokok adalah
hal yang paling me-legenda.
“Kenapa tidak ada
masalah semenarik bunga tulip yang aku lihat di Monet’s-Garden waktu itu ya?” Sambil
menatap nanar keluar jendela, tak segan bibir ini menyeruput segelas kopi pahit
ditemani dengan tiga bungkus rokok kretek.
“Oh, jadi laki-laki yang sudah tiga tahun terakhir
hilang, ternyata berlibur ke Frankland?”. Ternyata ada seorang wanita yang
sedari tadi memperhatikan apa yang sedang aku lakukan. Tapi jujur saja, aku
sudah tahu kedatangannya kemari. Pertanyaan basa-basinya tak aku gubris sama
sekali. Tatapanku kosong, sementara empat batang rokok sudah habis hingga
ujungnya.
“Kapan kau tiba
disini? Tadi malam? Tapi aku tidak lihat seorang pun di apartmentmu.” Lagi-lagi
ia mengusik kediamanku. Heh!Dasar tikus! Gerak-geriknya
membuat aku tak nyaman, bukan mulutnya saja yang tak berhenti berceloteh, tapi
tangannya pun ikut mengintrogasi benda-benda antik milikku.
“Wow, apa aku
ketinggalan sesuatu? Sejak kapan kau punya ini?” katanya sambil menunjuk pohon
sakura kecil disudut kamar.
“Hmm...kau baru
saja dari Jepang? Mengapa tak pernah mengabariku?” Aku membiarkan wanita itu
berceloteh panjang lebar, seolah-olah tidak ada lawan bicara. Kemudian ia
mengambil sepucuk kertas dari pohon sakura kecil itu. Tingkahnya membuat aku
geram, tapi berusaha mengendalikan emosi yang menggebu, karena sebenarnya aku
paham, ia hanya mengumpan.
“Teruntuk bluebells,
Aku tidak tahu apa yang sedang kau tunggu, mungkin
seorang teman yang ingin memetik kemudian merawatmu dengan penuh cinta. Aku
hanya berharap kesendirian yang kau rasakan berakhir secepatnya.
Ya, dulu aku pernah merasakan kesepian yang tak ada ujung,
hidup seperti nyawa yang segan untuk mati. Dulu temanku hanya penyakit yang
lebih buas dari singa betina, siang malam aku bersamanya menikmati hari-hari
penantian. Tapi kemudian seseorang yang penuh arti hadir secara cuma-cuma dalam
hidupku, lalu seperti daun Ek yang menyisir ke lautan, ia hilang dan tak pernah kembali.”
“Tidak untuk yang
itu, nona! Jangan sentuh apapun yang ada dikamarku!” Spontan aku berteriak
karena ia sempat membaca harapan yang selalu aku simpan rapi disetiap ujung
pohon sakura itu.
Aku menatapnya
tajam, ia seperti menjaga diri, takut kalau-kalau emosiku meledak seketika.
Sesaat ia hanya diam, tapi kemudian berkomentar.
“Jadi siapa dia?”
Ia menatapku sinis.
“Kau tidak perlu
tahu soal itu, Anne. Hidupku sudah ditakdirkan untuk sendiri hingga keganasan
penyakit yang dari dulu meronta-ronta ini berakhir.” kataku pasrah.
“Kemarin kasus
pembunuhan George telah terungkap, dan pelakunya adalah Stefanus, bukankah itu
rekan lamamu? Berhati-hatilah karena kabarnya kaulah target berikutnya.” Ia berusaha
mengalihkan.
“Bukankah itu berita
baik? Aku juga sudah muak hidup setengah mati dengan kanker ini, tak ada yang
bisa aku lakukan selain menunggu.”
“Tapi...aku tidak
mau itu terjadi.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin menjadi
bluebells yang lain.”
Aku terdiam,
berusaha mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Mungkin ini
mengejutkan, tapi jujur, selama kau pergi, aku merasakan kehilangan yang sangat
mendalam. Aku berharap kau mengerti.”
Apa yang diingankannya?!
“Aku hanya tidak mau terlambat lagi.”
Aku menatapnya
dalam dan menemukan mata yang sama, yang dulu selalu membuat aku tenang.
“Your eyes are the
last thing I wanna see.” kataku memberikan jawaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar