Kamis, 15 Mei 2014

Alone Like a Bluebell (2)








Alone like a bluebell, waiting for the bluebird to come, and against me with the warmth of its love, forever more” -RA

Setangkai bluebells yang menunduk malu ternyata menjadi latar jendela berembun dikamarku. Padahal musim untuk para bunga lonceng ini bermekaran sudah tiba, tapi yang aku lihat ia hanya sendirian, menikmati suasana kota yang ramai dipenuhi oleh sekawanan manusia yang sedang mengadakan festival tahunan. Entahlah, tidak bisa dipastikan apakah ia benar-benar menikmatinya atau sedang menunggu kedatangan bluebells-bluebells yang lain.    

Sementara itu disurat kabar diberitakan tentang seorang manusia yang masih bertahan hidup dengan penyakit lamanya-kanker paru-paru-. Bertahan? Omong kosong! Percuma berjuang jika hasilnya nihil! Tak ada yang menarik. Bahkan dimusim ini begitu banyaknya objek yang bisa dilihat, tapi bagiku merokok adalah hal yang paling me-legenda.

“Kenapa tidak ada masalah semenarik bunga tulip yang aku lihat di Monet’s-Garden waktu itu ya?” Sambil menatap nanar keluar jendela, tak segan bibir ini menyeruput segelas kopi pahit ditemani dengan tiga bungkus rokok kretek.  

“Oh,  jadi laki-laki yang sudah tiga tahun terakhir hilang, ternyata berlibur ke Frankland?”. Ternyata ada seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan apa yang sedang aku lakukan. Tapi jujur saja, aku sudah tahu kedatangannya kemari. Pertanyaan basa-basinya tak aku gubris sama sekali. Tatapanku kosong, sementara empat batang rokok sudah habis hingga ujungnya.  

“Kapan kau tiba disini? Tadi malam? Tapi aku tidak lihat seorang pun di apartmentmu.” Lagi-lagi ia mengusik kediamanku. Heh!Dasar tikus! Gerak-geriknya membuat aku tak nyaman, bukan mulutnya saja yang tak berhenti berceloteh, tapi tangannya pun ikut mengintrogasi benda-benda antik milikku.

“Wow, apa aku ketinggalan sesuatu? Sejak kapan kau punya ini?” katanya sambil menunjuk pohon sakura kecil disudut kamar.

“Hmm...kau baru saja dari Jepang? Mengapa tak pernah mengabariku?” Aku membiarkan wanita itu berceloteh panjang lebar, seolah-olah tidak ada lawan bicara. Kemudian ia mengambil sepucuk kertas dari pohon sakura kecil itu. Tingkahnya membuat aku geram, tapi berusaha mengendalikan emosi yang menggebu, karena sebenarnya aku paham, ia hanya mengumpan.

Teruntuk bluebells,
Aku tidak tahu apa yang sedang kau tunggu, mungkin seorang teman yang ingin memetik kemudian merawatmu dengan penuh cinta. Aku hanya berharap kesendirian yang kau rasakan berakhir secepatnya.
Ya, dulu aku pernah merasakan kesepian yang tak ada ujung, hidup seperti nyawa yang segan untuk mati. Dulu temanku hanya penyakit yang lebih buas dari singa betina, siang malam aku bersamanya menikmati hari-hari penantian. Tapi kemudian seseorang yang penuh arti hadir secara cuma-cuma dalam hidupku, lalu seperti daun Ek yang menyisir ke lautan,  ia hilang dan tak pernah kembali.”

“Tidak untuk yang itu, nona! Jangan sentuh apapun yang ada dikamarku!” Spontan aku berteriak karena ia sempat membaca harapan yang selalu aku simpan rapi disetiap ujung pohon sakura itu.  

Aku menatapnya tajam, ia seperti menjaga diri, takut kalau-kalau emosiku meledak seketika. Sesaat ia hanya diam, tapi kemudian berkomentar.

“Jadi siapa dia?” Ia menatapku sinis.

“Kau tidak perlu tahu soal itu, Anne. Hidupku sudah ditakdirkan untuk sendiri hingga keganasan penyakit yang dari dulu meronta-ronta ini berakhir.” kataku pasrah.

“Kemarin kasus pembunuhan George telah terungkap, dan pelakunya adalah Stefanus, bukankah itu rekan lamamu? Berhati-hatilah karena kabarnya kaulah target berikutnya.” Ia berusaha mengalihkan.

“Bukankah itu berita baik? Aku juga sudah muak hidup setengah mati dengan kanker ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu.”
“Tapi...aku tidak mau itu terjadi.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin menjadi bluebells yang lain.”
Aku terdiam, berusaha mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Mungkin ini mengejutkan, tapi jujur, selama kau pergi, aku merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Aku berharap kau mengerti.”
Apa yang diingankannya?!
 “Aku hanya tidak mau terlambat lagi.”
Aku menatapnya dalam dan menemukan mata yang sama, yang dulu selalu membuat aku tenang.  
“Your eyes are the last thing I wanna see.” kataku memberikan jawaban.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.