“Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum,
lalu saat tanah Papua lahir Tuhan sedang apa ya? Barangkali saat nonton film rating
9 di Netflix sambil makan popcorn
alias mood sedang sangat baik”
Merekam ulang perjalanan di
Jayapura
Saya
selalu menerka seperti apa tanah Papua, yang kata orang-orang elok menawan, juga
eksotis rupawan. Ternyata di bulan Oktober 2019 saya diizinkan melihatnya. Di
malam pukul 23.45 dari terminal keberangkatan Soekarno Hatta, saya dan
rekan-rekan kerja melangsungkan perjalanan dinas ke Kota Jayapura, Papua. Rasanya
seperti menjemput kado saat ulang tahun di usia balita. Sumringah tak terlepas sejak
saya meninggalkan Jakarta sambil menantikan sunrise
pertama di atas awan. Ya walau pada akhirnya sudah bisa ditebak, rasa kantuk bagi
saya adalah lebih besar daripada apapun hahaha. Jadi saya mengalah saja, tidak
apa-apa jika harus melewatkan sinar matahari yang muncul menerangi penumpang melalui
celah-celah jendela. Toh nanti akan ada pemandangan alam yang bisa dinikmati
lebih banyak lagi.
Logat
khas orang Papua asli adalah yang pertama kali bisa saya rasakan setelah
mendarat dengan cantik di Bandara Sentani. Udara sejuk di pagi hari adalah yang
kedua. Yang ketiga, peringatan untuk tidak kemana-mana jika waktu sudah di atas
jam 8 malam, karena katanya akan ada orang mabuk di tengah jalan dan
membahayakan. Ya itu adalah salah satu cerita dari Bapak supir di sepanjang perjalanan
menuju penginapan. Selama melewati jalan yang mirip dengan Kelok Sembilan, saya
memandangi bukit-bukit hijau dan pepohonan yang terbentang merata, bahkan sapi
di tanah berumput ikut melengkapinya.
Kenapa
jadi lebih mirip Harvest Moon Back to Nature ya?
Tidak
hanya itu, kami juga menyempatkan diri menuju puncak Jayapura City sehabis
beberes di hotel. Kalau saya diminta memberikan deskripsi, pesonanya kira-kira seperti
perpaduan dari atas Puncak Sikunir Dieng dan Bur Telege Takengon. Tinggi dan
menawan. Benar kata kebanyakan orang, Papua itu elok rupawan. Laut luas dan bukit-bukit
hijau yang menghimpit permukiman di Kota Jayapura memecahkan dugaan saya: kalau
Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, lalu saat tanah Papua lahir
Tuhan sedang apa ya? Barangkali saat nonton film rating 9 di Netflix sambil
makan popcorn alias mood sedang
sangat baik.
Pemandangan dari hotel menghadap ke Teluk Yos Sudarso sumber: dokumentasi pribadi |
Pemandangan dari puncak Jayapura City sumber: dokumentasi pribadi |
Suatu hari nanti untuk perjalanan
ke Taman Nasional Teluk Cendrawasih
Suatu
hari nanti, saya ingin ke tanah Papua lagi, mengenal lebih luas tempat-tempat
yang belum pernah dipijaki. Seperti yang paling memikat hati sejauh ini: Taman Nasional Teluk Cendrawasih.
Jika
saat itu saya dapat menikmati pesona bukit-bukit hijau yang membentang di Kota Jayapura,
maka suatu hari nanti saya ingin melakukan perjalanan ke Taman Nasional Teluk
Cendrawasih. Bukan hanya hutan hijau yang bisa saya temukan di sana, tapi kekayaan
alam yang penuh keeksotisan. Faktanya, Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) dengan
keanekaragaman hayati yang unik menyajikan perwakilan 1ekosistem terumbu karang dan ikan hiu paus, 2pantai mangrove, 3hutan tropika dan daratan Pulau
Papua yang indah.
1ekosistem terumbu karang dan ikan hiu paus
Taman
nasional yang meliputi Pulau Mioswaar, Pulau Nusrowi, Pulau Roon, Pulau
Rumberpon dan Pulau Yoop merupakan lokasi yang memiliki spesies ikonik “Gurano
Bintang”. Walaupun saya tidak bisa berenang bebas di tengah laut lepas,
keinginan untuk melihat cantiknya Gurano Bintang si ikan hiu paus masih dipupuk
hingga kini. Keindahan perairan di TNCC juga kaya akan berbagai jenis ikan dan
hewan laut, dilengkapi terumbu karang yang luas dengan kualitas terbaik di
dunia. Terdapat lebih dari 500 jenis spesies terumbu karang dengan Pulau Purup
dan Selat Numamurang sebagai tempat terbanyak ditemukannya keanekaragaman
hayati. Saya janji, tidak akan memaksakan kondisi jika suatu hari nanti tidak
bisa mengunjungi terumbu karang yang warna-warni, karena saya tahu kalau tempat
ini adalah rumah bagi banyak populasi.
2pantai mangrove
Taman
Nasional Teluk Cendrawasih membentang dari timur Semenanjung Kwatisore sampai
utara Pulau Rumberpon dengan panjang garis pantai sekitar 500 kilometer. Di sana
dapat ditemukan hutan/vegetasi mangrove di pesisir pantai. Terbayang di benak
saya saat Shizuka berkunjung ke Hawaii di musim panas. Di daerah pantainya juga
terdapat berbagai jenis penyu yang akan menambah keutuhan nuansa tropis kawasan
ini.
3hutan tropika dan daratan pulau
Tidak
berhenti di situ saja, keanekaragaman ekosistem di Taman Nasional Teluk
Cenderawasih yang berada di 5 wilayah dan 2 provinsi yaitu Papua dan Papua
Barat menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna. Ada yang dilindungi, dan
ada yang tidak. Di kawasan ini kita bisa melihat bahwa Papua adalah destinasi
wisata hijau karena terdapat lebih dari 50 jenis vegetasi daratan pulau mulai
dari hutan pantai sampai vegetasi hutan pegunungan daratan pulau (ketinggian
467 mdpl).
Hutan Tropika dan daratan Pulau di TNTC
sumber: wondamakab.go.id
|
Seperti
Raline Shah yang tidak sengaja bertemu dengan ikan hiu paus pertama kali, saya
juga ingin ke sana, menyapa mereka dari atas kapal: “hai salam kenal”. Semoga
waktu yang baik akan berpihak ya!
Bijak Bestari untuk Taman
Nasional Teluk Cendrawasih
Keutuhan
ekosistem di kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat. Banyak yang
menjadikannya rumah. Tidak hanya flora dan fauna, tapi juga masyarakat lokal yang
hidup di sekitarnya, memanfaatkan sumberdaya alam untuk keberlangsungan hidup
mereka. Bahkan TNTC memiliki fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan, menunjang pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya, serta untuk dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan dan pendidikan, juga menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (sumber: situs resmi Kab
Wondama).
Menjadi
bijak demi menjaga keutuhan ekosistem TNTC dilakukan karena ada beberapa ancaman
yang mungkin terjadi, seperti: 1kehilangan
tutupan pohon, 2kerusakan terumbu karang akibat pendangkalan, 3air
laut tercemar karena sampah plastik, 4terjadi polusi di perairan
akibat tumpahan minyak kapal, bahkan 5kehidupan biota air bisa terganggu
karena eksploitasi penambangan emas. Saya tidak bilang kalau semua itu
adalah ulah-ulah manusia, tapi mungkin bisa terjadi karena aktivitas di kawasan
taman nasional dan sekitarnya sangat rentan terhadap keutuhan ekosistem. Entah kapan
saya dan kita semua akan punya kesempatan ke sana, mungkin besok atau 20 tahun
lagi, tapi keindahannya saat ini tidak akan bisa kita nikmati jika tidak
menjadi bijak dari sekarang. Kita bisa ikut terlibat jika mau. Seperti halnya
yang dilakukan Eco Nusa Foundation, organisasi non-profit yang bertujuan
mengangkat pengelolaan sumber daya alam berkeadilan dan berkelanjutan di
Indonesia dengan memberi penguatan terhadap inisiatif-inisiatif lokal.
Eco Nusa Foundation fokus pada komunikasi
antara pemangku kepentingan di Indonesia Timur (Tanah Papua dan Maluku). Perlindungan
lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam dilakukan melalui 10 program. Bahkan
EcoNusa menyoroti kesadaran masyarakat menjaga lingkungan sebagai sudut yang
penting. Di satu aspek, “Letter from the Ocean” pernah diikutkan untuk gerakan kelautan
yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di sisi lain, EcoNusa juga turut melindungi
hutan untuk penghidupan berkelanjutan dan iklim global melalui gerakan #BeradatJagaHutan.
Ohya!
Saya dan kamu bisa turut melakukan aksi serupa, yaitu bergabung sebagai
sukarelawan atau magang di EcoNusa dengan cara berkirim pesan lewat website
mereka. Menarik ya?
Bagi
saya, Taman Nasional Teluk Cendrawasih adalah gambaran dari wajah Papua. Di
sana adalah rumah bagi banyak spesies, flora dan fauna, juga masyarakat lokal.
Kekayaan alamnya terbentang dari pulau satu ke pulau yang lain, ada perairan
pun daratan, ada hutan juga lautan, ikan sampai burung elang bisa ditemukan.
Kita,
jadilah bijak bestari dan manfaat untuk sekitar, supaya keutuhan ekosistem di
sana selalu terjaga untuk Papua napasnya Nusantara, karena Papua itu Indonesia.
Artikel
ini diikutkan dalam lomba Wonderful Papua
#BeradatJagaHutan
#PapuaBerdaya #PapuaDestinasiHijau #EcoNusaXBPN #BlogCompetitionSeries
Sumber
pendukung:
Eco Nusa
Eco Nusa
WRI
Indonesia
WWF
Indonesia
Green Peace Indonesia
Green Peace Indonesia
Balai
Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih
Kementerian
Kelautan dan Perikanan
Situs
resmi Kab Wondama (www.wondamakab.go.id)
"Selama melewati jalan yang mirip dengan Kelok Sembilan, saya memandangi bukit-bukit hijau dan pepohonan yang terbentang merata, bahkan sapi di tanah berumput ikut melengkapinya."
BalasHapusaaakkk jadi bikin rindu tanah papua! :"""
Sampe sekarang belum pernah jalan-jalan ke Papua. Padahal ada saudara di sana.
BalasHapusT_T