Dahulu kala jauh sebelum ada
teknologi, sebelum bioskop belum popular di kalangan masyarakat, dan berkabar
antar satu dengan yang lain masih melalui merpati, seseorang yang memiliki hak
penuh atas langit dan bumi berkata, “Kamu akan bergembira karena sukacita yang mulia
dan yang tidak terkatakan.”
Setelah itu, tahun 1876 Alexander
Graham Bell menemukan telepon. Manusia merayakannya.
Sekitar hampir 4 dasawarsa kemudian,
pada tahun 1914-1918 perang dunia I terjadi. Lebih dari 9 juta orang gugur.
Manusia berkabung.
Ia berkata lagi, “Ada waktu untuk
menangis, ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk
menari.”
Sampai hari ini, setelah teknologi ditemukan;
peradaban manusia berkembang; gawai menjadi kebutuhan; pun COVID-19 menyerang,
kalimatNya tidak pernah kedaluwarsa. Kabar bahagia dan dukacita selalu hidup
berdampingan. Bahkan saya bingung bagaimana caranya merespon kondisi sekarang,
kabar baik dan buruk berseliweran dalam satu waktu.
Memang begitu banyak perubahan yang
terjadi sejak Koronavirus hadir di bumi, tapi tetap saja ada banyak hal yang
bisa dipelajari:
Di satu sisi, ribuan nyawa menjadi
korban, tidak peduli apakah dia orang hebat atau bukan, keluarganya tetap
kehilangan. Di sisi lain, semua orang berupaya hidup sehat dan bersih.
Di satu sisi dukacita menyelimuti
seisi muka bumi, tapi siapa yang tidak lega ketika tahu bahwa polusi udara di 7
kota besar menurun akibat pandemi ini?
Di satu sisi banyak yang bersedih
karena ibadah umrah ditunda sepanjang tahun, kebaktian hari minggu tidak lagi
di gereja, shalat jumat sudah lebih dari 3 kali harus dirumahkan. Tapi akibat
adanya pembatasan mobilitas di Jakarta, sampah jadi berkurang 620 ton per hari; konsumsi listrik menurun sebanyak 30%, perubahan
kualitas udara berubah dari unhealthy
menjadi moderate; bahkan indeks
kemacetan di jam sibuk turun drastis di angka 14%. Lagi dalam fakta lain, PHK
terhadap ribuan karyawan terancam dan kondisi ekonomi menjadi rentan, tapi
sikap kepedulian terhadap kemanusiaan bermunculan.
Saya bingung harus bahagia atau turut
berduka. Harus berkabung atau merayakannya. Saat sedang sibuk-sibuknya bekerja,
mengumpulkan semua anggota keluarga untuk bertegur sapa lewat video call
whatsapp adalah sebuah prestasi. Kini seminggu bisa 2 kali diskusi bersama tanpa
bingung harus menentukan akan bertatap muka di layar jam berapa.
Kabar-kabar memang ditakdirkan untuk
hidup berdampingan. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa, ada
waktu untuk meratap, dan ada waktu untuk menari.
Seperti juga yang terjadi di tengah
situasi ini, saya sampai memutar ulang semua lagu-lagu karya Glenn Fredly
karena Indonesia sedang berduka, sang legendaris telah berpulang ke pangkuan si
Pencipta. Saya ingat betul, dulu saat pekerjaan tidak bisa ditoleransi, lagu
yang berkali-kali menemani adalah terserah.
“Terserah kali ini, sungguh aku
takkan peduli, ku tak sanggup lagi, mulai kini semua terserah”
![]() |
Sumber: instagram/@kuyou.id |
Saya bisa putar lagu Glenn sampai
se-album saking karya-karyanya menghidupi banyak aspek. Saya tidak pernah bertemu
beliau secara langsung, tidak pernah hadir dalam konsernya, juga tidak saling
kenal. Tapi sedih dan patah hati tidak dapat disangkal. Ini adalah sebuah kabar
duka di tengah pandemi. Saya ingin bercanda seperti biasa, tapi hati segan
karena ikut kehilangan. Meski hal yang paling sulit dari mengetahui kabar duka
ini adalah dengan menerimanya, tapi yang saya yakini adalah karya-karya Glenn tidak
akan tergerus waktu. Usia terhenti, tapi ia abadi.
Semoga tulisan ini akan menjadi
pengingat bahwa kabar-kabar yang hidup berdampingan bisa terjadi secara bersamaan dalam
satu waktu. Saya tidak akan menyalahkan tahun 2020 yang seenaknya mencatat
sejarah, karena seseorang yang memiliki hak penuh atas langit dan bumi ini
pernah bilang, Ia akan menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut
luka-luka mereka.
Untuk semua generasi yang hidup
dengan lagu-lagu Glenn yang juga kehilangan, I’m so very sorry for your loss, I’m
going to miss him too, he will be missed by so many.
You’re in our prayers, buddy. Rest in Love, dear Glenn Fredly.
Selamat jalan, selamat bertemu dengan si Pemilik penuh atas langit dan bumi.
Selamat jalan, selamat bertemu dengan si Pemilik penuh atas langit dan bumi.
Anw, kalian udah berapa kali bolos
shalat jumat? Belum murtad kan?
Sungguh dark jokes L
sumber pendukung: ruangguru//kompas//kumparan
Bagai kesedihan yang tersirat dari tulisan ini, benar-benar hakiki relung saya membacanya
BalasHapusUntuk Glenn Fredly semoga beliau hidup tenang disana. Untuk bencana yang menimpa di tahun ini, semoga lekas membaik, untuk segala penyakit yang membebani umat seluruh manusia semoga lekas diangkat, dan untuk kita semua yang terus berusaha dalam keadaan baik-baik saja semoga selalu tabah dan ikhlas amin
Pasti anak 90-an ini. Tau lagu-lagunya Glenn, wkwkwkwk
BalasHapusItulah dunia. Selalu ada sisi gelap dan terang, baik dan buruk, jelek dan cantik. Keduanya punya cara dan gaya sendiri untuk hadir dan tidak bisa sesuai dengan keinginan manusia.
BalasHapusMasing-masing akan saling mempengaruhi. Gelap akan mempengaruhi terang dan begitu juga sebaliknya.
Cuma, kalau pertanyaannya, harus berbahagia atau harus bersedih, manusia punya opsi. Dia bisa memilih apakah mau merasa bahagia atau harus terus mencucurkan airmata bersedih.
Masing-masing manusia dipersilakan memilih.
Berbahagia atau bersedih memang tidak bisa 100% diatur hati seseorang, tetapi seorang manusia bisa mengkondisikan itu dengan mengarahkan pikirannya ke hal=hal positif yang membuat hatinya bahagai atau hal buruk yang membuat hatinya sedih.
Kita bisa memilih dan saya berusaha untuk berbahagia dibandingkan harus bersedih. Dengan berbahagia saya bisa melanjutkan hidup, tetapi dengan bersedih, kehidupan saya serasa terhenti
Iya nggak sih?
Salam kenal dari Blogger Bogor