Minggu, 02 Februari 2020

Jika hal yang paling sulit adalah menerima, maka lainnya adalah kompromi dengan segala

0202-2020. Hari ini tanggal cantik ya? Kira-kira ada berapa kabar bahagia yang menguap ke udara? Termasuk Isyana, kita tahu kalau hari ini betapa rekah tak terkira pasangan-pasangan kekasih meresmikan hari jadinya. Semoga sampai akhir cerita, bahagianya masih sama, seperti hari ini di minggu yang mendung namun semesta mendukung.
Siapa yang akan bilang “sudah cukup” kalau semua orang mengaku sama-sama sedang berjuang?
(source: @piokharisma)
Kira-kira sudah berapa lama si pemilik blog ini tidak mampir dan merapikan debu-debu yang melekat di beranda? Ah ya, lebih dari 6 bulan. Ini rekor paling lama saya tidak menulis di blog, atau sekadar basa-basi basi seperti biasanya. Tidak ada alasan remeh selain karena tanggal cantik, saya putuskan untuk menulis lagi meski masih membiarkan perabot berserakan di sela blog archive sampai tidak sadar kalau widget visitor sudah usang dan bertuliskan “error”.  Waw. Sungguh pencapaian nirfaedah yang paling tinggi. Tapi saya tahu, ketika membuka blog yang terkunci rapat, bahkan sudah tidak ada pembaca, saya akan kembali lagi ke sini. Sepenuh apapun isi kepala, sehebat apapun kabar di luar sana, atau sesulit apa merencanakan masa depan, saya selalu menulis di rumah ini: di halaman digital yang diisi oleh ingatan-ingatan setiap waktu.

Anggaplah tulisan ini sebagai bentuk pengingat perjalanan yang sudah dilewati sepanjang tahun. Saya pernah bilang, bahwa hal yang paling sulit adalah menerima. Tentang bagaimana kita diajak untuk berdamai terhadap kabar-kabar yang menyesakkan atau justru bahagia. Nyatanya, semakin menginjak usia, menerima saja belum cukup. Ada tagihan yang harus dibayar setiap bulan, ada keinginan yang harus ditunda, ada kesiapan yang dipaksa, ada embel-embel “kan sudah kerja”, ada mau-tidak-mau suka-tidak-suka harus bisa, ada keluh yang tertahan, ada alasan-alasan yang harus diciptakan, ada riuh gemuruh di dada yang harus didiamkan, ada juga tanggungjawab yang “kelihatannya” tidak seberapa padahal entah bagaimana bisa melaluinya. Nyatanya, menjadi dewasa bukan semudah usia bertambah. Jika hal yang paling sulit adalah menerima, maka lainnya adalah kompromi dengan segala. Tentang bagaimana harus rela kalau rencana yang didamba gagal di depan mata, atau menahan keluh meski sudah mendapat kecukupan dan kemudahan, bahkan sekadar protes karena proses yang berat dan perjalanan menuju bijaksana tidak bisa seenaknya diungkapkan. Ya karena harus kompromi dengan segala. Hari ini ada rencana, besok juga, seterusnya sampai “kalau yang ini gagal, masih ada yang lain.”

Saya tahu, semua orang mengalaminya. Semua orang berencana: memutuskan apa yang baik untuknya. Tapi, pertanyaannya: Kalau kita yang harus mereda suara, menenangkan keadaan, berupaya semua harus baik-baik saja, maka siapa yang menepuk pundak kita untuk bilang “percayalah, kamu sudah berusaha”?

Siapa yang akan bilang “sudah cukup” kalau semua orang mengaku sama-sama sedang berjuang?

Siapa yang membentuk siklus semacam ini dalam kehidupan manusia? Perihal bertahan, berjuang, dan menerima. Kenapa harus selalu ada rencana dalam kepala, bahkan ketika tahu itu sia-sia?

Kenapa “seharusnya” atau “sebaiknya” mengikut serta atas pilihan-pilhan kita?

Saya menerka-nerka.



Jakarta, 0202-2020


1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.