![]() |
Saya suka senja, barangkali kamu suka pagi. Kita beda? Tak apa, karena setiap punya pilihannya masing-masing tentang apa yang ia suka Source image: Akbar |
23:27
Iya. Saya menulis ini di jam 23:27, yang
satu jam sebelumnya baru saja selesai menelepon Ibu di rumah.
“Mam tau nggak sih, di sini orang-orang bangunin sahur
udah kek ngajak ribut. Hahaha,” saya memulainya dengan kalimat sederhana. Saya tahu
setelah ini yang kami bicarakan akan lebih berat, maka saya awali saja dengan
yang lucu menggemaskan namun ingin lempar obor dari kamar, kalau bisa. Kalau tidak
bisa? Ya lanjut tidur, lah.
“Halah kalau kau tidur di rumah juga banyak yang
keliling bangunin sahur, kek nggak pernah aja.” Ibu menjawab begini biar
menghibur sekadarnya, saya tahu itu.
“Hee beda tau. Di sini anarkis. Kek mau suporteran sepak
bola.” Tentu saya tidak mau kalah.
“Ah, ikut aja sekalian biar rame.”
“Ok.”
Jika Ibu menghubungi saya dari seberang
telepon, ia hanya ingin tahu tentang bagaimana harimu, apakah pekerjaanmu
menyenangkan, pulang jam berapa tadi, kapan perjalanan dinas, mengapa tidak mau
jadi cpns, dan seterusnya-seterusnya. Karena yang paling menarik adalah soal pulang
jam berapa, maka itu saja yang saya jawab paling panjang.
“Jam 3 dong, kan puasa.” Tentu kalimat
ini saya ucapkan dengan nada penuh kesombongan.
“Ih, orang yang puasa kau yang ambil
hikmahnya ckck,” jawab Ibu datar.
“Hahaha, thanks to teman-teman yang
puasa lah, mam.”
“Jadi kalau udah pulang, habis itu ngapain?”
Ibu bertanya lagi.
“Tidur.”
“Apalah kerja anak-anakku ini, si abang
kerjanya makan, kau tidur. Sibuk tidur terus. Weekend tidur, pulang kerja
tidur. Halah.” Ibu mulai naik pitam. Tapi saya biasa saja tentunya, karena Ibu
sudah sangat tahu apa yang menyenangkan bagi saya dan apa yang tidak.
“Hahahaha, biasalah. Passion, mam.”
Balas saya mengejek.
“Kerjain yang lain kek.” Ibu saya ini
paling anti jika melihat orang hanya ongkang-ongkang kaki, tidur, dan tidak
berbuat apa-apa, lalu saya tanya dengan serius, “Mam, emang nggak suka tidur?”
“Nggaklah, buat apa,”
“Terus sukanya ngapain?”
“Hmm apa ya? Nggak tau.”
“Masa mama nggak tau sukanya apa. Aku
sukanya tidur, kalau bosan ada opsi lain, bisa nulis. Abang sukanya makan,
punya cadangannya lagi, main game. Adek suka make-up. Bapak juga suka tidur,
kalau ada buku pas lagi makan, dibaca. Masa mama nggak ada?”
“Nah emang nggak tau sukanya apa,” Ibu saya
mulai menjawab ini dengan serius.
Saya bertanya lagi, memberikan pilihan “Kemarin
waktu bikin tanaman di sana suka, nggak?”
“Nggak.”
“Lah, ngapain dikerjain?”
Ibu saya diam.
“Ah masa nggak punya hobi sih? Suka masak
kan, mam?”
“Nggak juga.”
“Lah? Tapi kok enak.”
“Nah aneh. Kan masakan enak karena udah
biasa masak, belum tentu karena suka,” Ibu mulai ketus.
“Jadi sukanya apa?”
“Ya mana tau.”
Setiap kali Ibu saya jawab ‘tidak tahu’
saya jadi berpikir, apa yang selama 20 tahun ini saya kerjakan, sampai saya
tidak tahu apa yang Ibu saya suka ketika melakukannya. Jangan-jangan ini adalah kali
pertama seseorang bertanya padanya tentang apa yang ia suka. Saya tertegun.
Saya tanya lagi, masih dengan nada
bercanda, “Mam, coba deh cari tau kesukaanmu apa. Menjahitkah, menyulam,
berkebun, apa ajalah. Tapi jangan nyanyi ya, nggak bisa.”
“Kampret, hahahaha.”
“Hahaha, nggak usah dipaksa kalau nggak
bisa nyanyi mah.” Kami tertawa bersama.
“Emang kalau udah tau sukanya ngapain,
terus kenapa?”
“Mam, aku kalau lagi bête, lagi sedih
atau capek, aku tidur. Pas bangun udah lupa semuanya. Fresh lagi. Abang juga
gitu. Kemarin dia jemput aku pulang kerja, sepanjang jalan ngomel-ngomel. Beh. Kacau.
Tapi karena dia suka makan, setelah aku ajak makan, dia happy. Kan aku jadinya
nggak kena omel. Jadi kalau kita udah tau diri sendiri, kita bisa ngerti harus
ngapain, nggak perlu minta bantuan sama orang atau uring-uringan,” jawab saya
serius.
“Oh gitu.”
“Iya. Kalau mau bikin orang lain di
sekitar kita happy, kita juga harus happy dulu.”
“Hmm bener juga sih ya.” Kalau
percakapan ini tatap muka, saya tahu kalau Ibu sedang mengangguk setuju.
“Jadi, sekarang hobimu apa, mam?”
“Tidur ajalah hahahaha.”
“Hadeh.”
Selama saya berusaha melihat diri
sendiri, saya baru tahu bahwa orang yang paling dekat dengan saya bahkan belum
mengetahui tentang dirinya. Lalu saya menyadari, Ibu sudah bahagia jika saya
dan anak-anak Ibu yang lain juga bahagia. Bahkan jika dirinya sendiri tidak
merasa cukup dengan apa yang sedang ia lakukan, ia juga bahagia, karena itu
untuk saya. Untuk kami yang bahkan tidak tahu apa yang membuatnya bisa
tersenyum.
“Ya udah, kalau gitu aku tunggu
seminggu ya, mam. Cari tau hobimu apa. Pokoknya minggu depan aku tanya harus
udah ada jawabannya.”
“Caranya gimana sih?”
“Cobain semua hal. Nanti kalau ada yang
pas, berarti suka. Lakukan terus, nanti jadi hobi. Gitu, mam.”
“Iya deh iya. Mama udah ngantuk ini,”
“Dicoba ya? Bener ya?”
“Iya.”
“Oke, mam. Nite,”
“Nite, kak.”
“Yaa.”
“Malam.”
“Hah nite sama malam sama aja, mam. Ah udah
matiin lah.”
“Yaa.”
-Tuuuut-
Semoga setiap orang di luar sana mampu
mengenali dirinya sendiri, bisa membedakan apa yang menyenangkan baginya dan
apa yang tidak, apa yang ia butuhkan, kapan merasa cukup, pilihan mana yang
membuatnya bisa bahagia, cara apa yang ia suka, dan bagaimana ia tidak menjadi
orang lain. Karena mengenali diri sendiri bukan tergantung dengan usia.
Jakarta, 00:23.
Iya. Saya selesai menuliskan ini pukul
00:23, ditutup dengan topik yang agak berat. Wha, sejak kapan saya bisa
menasehati Ibu sendiri?
SELAMAT SAHUR 2 JAM LAGI!
SEBENTAR LAGI LAGU-LAGU YANG BERDENDANG
MERDU ITU AKAN MENGISI MIMPIKU.
Asik ya bisa ngobrol sama ibu kayak ngobrol sama sahabat sendiri. Wkwk
BalasHapusok punya
BalasHapus