![]() |
Siapa yang akan bilang “sudah cukup” kalau semua orang mengaku sama-sama sedang berjuang? (source: @piokharisma) |
Kira-kira sudah berapa lama si pemilik blog ini tidak
mampir dan merapikan debu-debu yang melekat di beranda? Ah ya, lebih dari 6
bulan. Ini rekor paling lama saya tidak menulis di blog, atau sekadar basa-basi
basi seperti biasanya. Tidak ada alasan remeh selain karena tanggal cantik,
saya putuskan untuk menulis lagi meski masih membiarkan perabot berserakan di
sela blog archive sampai tidak sadar
kalau widget visitor sudah usang dan
bertuliskan “error”. Waw. Sungguh pencapaian
nirfaedah yang paling tinggi. Tapi saya tahu, ketika membuka blog yang terkunci
rapat, bahkan sudah tidak ada pembaca, saya akan kembali lagi ke sini. Sepenuh apapun
isi kepala, sehebat apapun kabar di luar sana, atau sesulit apa merencanakan
masa depan, saya selalu menulis di rumah ini: di halaman digital yang diisi
oleh ingatan-ingatan setiap waktu.
Anggaplah tulisan ini sebagai bentuk pengingat
perjalanan yang sudah dilewati sepanjang tahun. Saya pernah bilang, bahwa hal
yang paling sulit adalah menerima. Tentang bagaimana kita diajak untuk berdamai
terhadap kabar-kabar yang menyesakkan atau justru bahagia. Nyatanya, semakin
menginjak usia, menerima saja belum cukup. Ada tagihan yang harus dibayar
setiap bulan, ada keinginan yang harus ditunda, ada kesiapan yang dipaksa, ada
embel-embel “kan sudah kerja”, ada mau-tidak-mau suka-tidak-suka harus bisa,
ada keluh yang tertahan, ada alasan-alasan yang harus diciptakan, ada riuh gemuruh
di dada yang harus didiamkan, ada juga tanggungjawab yang “kelihatannya” tidak
seberapa padahal entah bagaimana bisa melaluinya. Nyatanya, menjadi dewasa
bukan semudah usia bertambah. Jika hal yang paling sulit adalah menerima, maka
lainnya adalah kompromi dengan segala. Tentang bagaimana harus rela kalau
rencana yang didamba gagal di depan mata, atau menahan keluh meski sudah
mendapat kecukupan dan kemudahan, bahkan sekadar protes karena proses yang
berat dan perjalanan menuju bijaksana tidak bisa seenaknya diungkapkan. Ya karena
harus kompromi dengan segala. Hari ini ada rencana, besok juga, seterusnya
sampai “kalau yang ini gagal, masih ada yang lain.”
Saya tahu, semua orang mengalaminya. Semua orang
berencana: memutuskan apa yang baik untuknya. Tapi, pertanyaannya: Kalau kita
yang harus mereda suara, menenangkan keadaan, berupaya semua harus baik-baik
saja, maka siapa yang menepuk pundak kita untuk bilang “percayalah, kamu sudah
berusaha”?
Siapa yang akan bilang “sudah cukup” kalau semua orang
mengaku sama-sama sedang berjuang?
Siapa yang membentuk siklus semacam ini dalam kehidupan
manusia? Perihal bertahan, berjuang, dan menerima. Kenapa harus selalu ada
rencana dalam kepala, bahkan ketika tahu itu sia-sia?
Kenapa “seharusnya” atau “sebaiknya” mengikut serta atas
pilihan-pilhan kita?
Saya menerka-nerka.
Jakarta, 0202-2020
paraaaah ini menyuarakan isi pikiranku banget :')
BalasHapus