Hari ini, pada tanggal saat semua buruh
diliburkan termasuk saya, surat digital ini dituliskan.
Kau tahu kan bagaimana mekanisme sebuah
surat digital? Tidak mungkin setelah menulisnya, saya titipkan pada merpati
lalu diterbangkan ke awan-awan, tidak mungkin juga saya selipkan dalam botol
untuk dihanyutkan di laut dan disampaikan lewat neptunus.
Tentu ketika surat ini diterbitkan,
maka siapapun bisa menemukannya, siapapun bisa mengetahui apa yang hati saya
sedang bicarakan.
Untuk itu, saya ingin mengiba maaf: karena
malah berterus terang lewat surat digital; bukan di dalam kamar, menutup pintu,
melipat tangan, lalu berdoa; saya malah membiarkan orang lain membacanya.
Kau tahu kenapa saya ingin menulisnya
di sini? Supaya saya terus mengingat, untuk banyak hal yang sudah saya lalui
dan mengabaikannya.
Semua berjalan dengan baik. Kuliah,
menjalani proses skripsi, diwisuda, dapat kerja. Tidak ada yang menjadi
kendala, semuanya tepat waktu. Malah saya bertemu pengalaman baru. Berjabat
erat dengan orang baru. Menikmati hal baru. Bahkan kalau orang lain melihat,
rasanya saya melewatinya tanpa ada kesulitan meski hanya sedikit saja. Tapi karena
itulah surat ini ada. Saya ingin kau melihatnya.
Saya paling benci ini: berdamai dengan
diri sendiri. Bisakah kau ajar saya berdamai? Saya benci diri saya yang sering
mengeluhkan hari-hari, menggampangkan kemudahan, mengabaikan kebaikan, mencaci
kecukupan. Saya benci dikala saya terlambat menyadari sesuatu, merasa bersalah,
lalu lupa mengadukannya padamu.
Ada teman yang belum selesai
skripsinya, ada yang sudah berbulan-bulan belum mendapat panggilan kerja, ada
yang dilema antara kesehatan atau cita-cita, ada yang kesusahan dengan
lingkungan barunya, ada pula yang patah hati tapi mesti menjalani hari.
Sedangkan saya? Hanya menjalani saja, namun
berontaknya banyak.
Buruh berdemo satu kali dalam satu
tahun, tapi saya? Bahkan saya berdemo hampir setiap bangun tidur di pagi hari. Maka
di hari ini, ketika para buruh berdemo di hadapan yang memerintah, maka saya sangat
cukup untuk bilang terima kasih dihadapanmu. Ada kalanya saya tersenyum ketika
jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Senyum itu tidak kunjung hilang saat saya tiba
di sebuah rumah, membuka pagar, berteduh di bawahnya, dan melanjutkan malam. Dan
sebelum esok pagi tiba, saya ingin sekali mengucap terima kasih berulang kali,
karena hingga kini saya masih bisa mengulangi itu semua setiap hari.
Barangkali, kemudahan macam apalagi yang
akan kau beri? Saya bertanya-tanya.
Salam,
Onix Octarina.
Untuk, Yang Maha Kuasa: Tuhan.
jadi lupa mau ngomong apa kan.
BalasHapusGimana kalau via whatsApp aja? biar ingat mau ngomong apa. Sekalian aku kirim golok virtual.
HapusDikira mau disebutin juga bentuk berontaknya seperti apa jadi lebih jelas. Tapi terlepas dari itu, intinya harus bisa selalu bersyukur ya dari semua tahap di kehidupan yang udah terjadi ataupun yang akan datang.
BalasHapusok punya
BalasHapus