“Tau kenapa namanya disebut Danau Rawa Pening?
Sebelumnya memang seperti rawa yang airnya bening, tapi karena eceng gondok,
rawa ini jadi bikin semua orang pening.” Seorang profesor dari Ilmu Lingkungan
membuat seisi ruangan pecah dengan gelak tawa karena kalimat pembukanya pagi
ini.
Danau yang terletak di Kabupaten Semarang ini tidak
pernah kehabisan topik untuk dibahas ulang. Seperti dongeng sebelum tidur,
ia selalu menarik untuk diceritakan setiap malam. Parasnya yang elok selalu bikin siapa saja ingin mendatangi, pun
saya yang tak pernah bosan memandangnya dari berbagai sisi.
“Lil, pertama kali aku ke Rawa Pening itu pas
survei ke Tuntang, jadi kita naik perahu. Baru tau di kabupaten ini ada yang
cantik begitu.” Menceritakannya ke Lillah saat kami ke Eling Bening tempo hari rasanya
seperti lagu Raisa saja, ku terjebak di ruang nostalgia~
Saya ingat betul, lansekap gunung juga kabut
putih yang samar-samar kala itu menjadi alasan kenapa saya jatuh hati pada Rawa Pening pertama kali. Diikuti dengan semilir angin yang menyisir ke
setiap celah eceng gondok membuat saya terlena, takut kalau nanti malah terikat
dan tidak berhenti menganggumi. Berawal dari survei tugas, saya malah ketagihan untuk ke sini lagi, untuk melihatnya lagi.
Saya ingat betul, momen itu yang membawa saya
kembali lagi untuk melihat Rawa Pening dari sisi lain, dari perspektif kedua
untuk meyakinkan apakah indahnya masih sama. Nyatanya, Eling Bening menjadi
pilihan tepat bagaimana saya terpatri lagi pada pesona Rawa Pening. Dari
ketinggian, saya bersama Lillah menikmati keindahan yang tidak hanya berlatar
belakang gunung, tapi juga awan yang berarak di langit, jalan arteri dengan hiruk pikuk kendaraan yang
melintasinya, lahan sawah tersebar acak yang mendiami di sekelilingnya, atau
rumah penduduk yang tersebar berantakan di dekatnya.
“Nggak bohong Lil, aku deg-deg-an nih, semacam
jatuh hati pada pandangan pertama hahaha.” Celetuk saya saat itu membuat Lillah
berkomentar “Wah kacau, Rawa Pening bisa bikin Onix meleleh.”
Seperti magnet yang menghidupi, saya tidak bosan
menanti keelokannya hingga menjelang malam, hingga saya menyadari bahwa Rawa
Pening akan tetap sama, pun dalam gelap dan kejauhan.
Bahkan seorang teman pernah mengatakan kalau kami berpose di depan lukisan. Hahaha!
Bahkan seorang teman pernah mengatakan kalau kami berpose di depan lukisan. Hahaha!
Entah
dianggap sebagai sindiran atau peringatan, bagi saya kalimat itu bisa dijadikan
meme di instagram. Lucu, tapi pedas
kayak irisan rawit dalam semangkok indomie kornet.
Kekhawatiran akan
keberlanjutan Rawa Pening menjadi topik yang dibahas kali ini. Akibat gulma
eceng gondok, pendangkalan atau sedimentasi yang terjadi menjadi ancaman
serius. Bahkan, danau ini tercatat sebagai salah satu dari 15 danau prioritas
dalam pengelolaannya di Indonesia. Miris, bukan?
Bagaimana jadinya
jika Rawa Pening tidak bisa lagi dinikmati keindahannya? Bagaimana kalau saya
sudah tidak punya alasan lagi untuk ke sana? Bagaimana jika cerita saya
terhenti sampai di sini saja?
Rawa Pening yang
tidak seluas Danau Toba ini terletak di 4 wilayah kecamatan, yaitu Ambarawa,
Tuntang, Bawen dan Banyubiru. Berada di perbatasan antara Salatiga dan
Ambarawa, ia menjadi destinasi favorit bagi para pelancong. Sekitar 80% eceng gondok memenuhi permukaannya. Jika hal itu terus terjadi, maka peranannya sebagai
reseravoir alami untuk PLTA, sumber baku air minum, irigasi, perikanan, dan
pariwisata tidak bisa lagi berfungsi seperti sebelumnya.
Tentu banyak yang peduli, tentu yang pernah
mengabadikan tidak ingin kehilangan. Padahal jika penanganan terhadap
pertumbuhan eceng gondok terkendali, akan ada berbagai dampak positif yang
dirasakan masyarakat. Tidak hanya saya, tapi juga kita.
“Keberadaan
UMKM Berbasis Rumah kerajinan tangan berbahan baku eceng gondok berpotensi
untuk menambah pendapatan rumah tangga, juga mengembalikan kerusakan ekosistem
di Rawa Pening. Dengan mengedepankan kearifan lokal, kerajinan tangan itu bisa
menjadi ciri khas Kabupaten Semarang jika serius untuk dikembangkan.” Kalimat
itu menjadi penutup di penghujung materi yang saya sampaikan di hari yang sudah makin sore ini.
Penuturan ibu
Ar, seorang penjual kerajinan sekaligus pengepul eceng gondok di tepi jalan
raya mengatakan, jika mendapat order
maka beliau segera memesan pada tetangganya dan menjemurnya. Setelah itu menyetor
eceng gondok dalam kondisi kering atau sudah dibentuk jalinan yang dijual dalam
satuan meter. Ada juga yang sudah dalam kerajinan tangan, seperti furnitur,
keranjang, vas, dan lain-lain.
Saya mulai
menyadari satu hal, kalau pesona Rawa Pening bukan terletak pada keindahannya
saja, tapi bagaimana kebermanfaatannya bagi banyak orang. Tentang bagaimana ia
bisa mendukung perekonomian, mempertahankan lingkungan agar tetap terjaga,
membangun kerja sama, mempererat silaturahmi, juga menjaga komitmen bersama.
Saya, dan
seisi ruangan itu mungkin hanya menjadi tombak ide dan diskusi saja. Karena untuk
merajut masa depan Rawa Pening butuh uluran setiap tangan yang sedia terlibat. Demi
Rawa Pening yang tetap damai, juga menghidupi orang-orang di sekitarnya. Rawa
Pening butuh kita semua, dan alasan-alasan kenapa banyak orang ingin melihatnya
lagi agar tetap menjadi cerita.
Regards,
OS
Sumber foto: dokumentasi pribadi
Dulu saya sering ke sini mbak, setelah ada yang cerita pernah dilihatin ular naga bermahkota saya jadi takut. Walaupun sempat bikin saya ngeri, tapi menurut saya itu hoax karena gak ada cerita-cerita yang aneh-aneh tentang rawa pening lagi...Tfs mbak... :)
BalasHapus