“We are born without fear, but as we grow old, we
learn to worry. We learn to be scared of the unknown. Because the less you
fear, the more you live” -Ernest Prakasa
Untuk
mereka yang jenuh pada rutinitas;
Untuk
mereka yang sibuk dibalik kubikel perkuliahan;
Untuk
mereka yang penasaran, padahal ingin mewujudkan, tetapi terlalu mempertimbangkan;
Untuk
mereka yang masih betah pada zona nyaman;
Untuk
mereka yang sering kali memberi batas;
Untuk
mereka yang hanya melihat Indonesia dari postingan traveller di instagram;
Dan untuk
mereka yang takut pada rasa takut itu sendiri;
Bergegaslah.
Lihatlah Indonesia.
Beranjaklah,
agar kau tahu makna sebuah perjalanan.
Jika saja saya tahu
bahwa Lawu menyimpan banyak misteri tersembunyi, mungkin tidak akan ada
perjalanan ini. Tidak akan ada kesempatan untuk melihat Edelweiss, atau makan
di Warung Pecel Mbok Yem (berdasarkan penuturan kaum pendaki, adalah warung tertinggi di Indonesia), atau
kesempatan untuk mengalahkan rasa takut. Tidak mungkin ada.
Katanya, gunung ini merupakan peristirahatan terakhir
raja Majapahit penghabisan yakni Prabu Brawijaya V. Konon
tidak satupun ditemukan jasad sang prabu. Percaya atau tidak, dia disinyalir menghilang bersama abdi dalemnya yakni
Kyai Jalak yang katanya merupakan penghuni Lawu dan menjelma menjadi burung
Jalak berwarna gading.
(Tidak mungkin saya menulis ini karena pernah melihat Jalak itu secara langsung,
sementara membiarkan naluri berpapasan pada rasa takut, bahkan berpijak hingga
lama. Legenda hanya berdasarkan referensi yang saya baca di sini).
Tidak salah untuk sekadar tahu, kan?
--**--
--**--
Pendakian oleh 16 mahasiwa pas-pasan yang terdiri dari anak rantau minim
jiwa petualang dan sedikit diantaranya ragu untuk ikut karena baru pertama kali
(baca:saya) ini, berawal dari weekend
panjang yang sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Kami berkumpul di salah satu hunian kost untuk siap-siap memulai perjalanan dalam rentang waktu 20.00-22.00.
“Berat
muatan carrier sesuai sama umur ya”
“Pas lah, bang
haha.”
“Iya, Dit.
Sinilah itu, biar kami yang susun!”
“Kok
ringan ku liat carrier mu”
“Masih
bisa aku koprol ini wkwk”
Padahal semua sudah beres, tapi tampaknya hujan sejenak membekali
perjalanan kami dengan petrichor,
aroma khas hujan pengundang sendu. Percakapan singkat di warung makan (baca:burjo)
saat menunggu hujan inilah yang semakin memperingatkan saya dengan perlahan
untuk membatalkan rencana.
“Biasanya itu di Pasar Dieng, tapi
nggak menutup kemungkinan ada di sepanjang jalur.”
“Serius dulu.”
“Loh, iya. Aku udah ke sana. Katanya sih lempar aja uang recehmu.”
Saya hanya diam, tertegun lama. Ingin sekali memaki diri “Nix, kenapa nggak cari tau dulu sebelum
mengiyakan !” batin saya dalam
hati, meminta kebetulan yang disengaja dari Tuhan. Tapi masalahnya, cerita
ini akan tetap ada.
Saya iseng mencari tahu soal Pasar Dieng pasca pendakian, katanya pasar ini
tak terlihat dengan mata biasa namun terdengar keramaian. Hanya orang-orang
tertentu yang bisa mendengarnya. Jika kamu mendengar suara 'arep tuku apa
mas/mbak?' (mau beli apa mas/mbak), sebaiknya kamu membuang uangmu berapa pun
nilainya, lalu petiklah daun seperti sedang berbelanja. Jika ini tak dilakukan,
konon kamu bakal menghadapi masalah di Lawu.
Kalau diingat-ingat, ini
perjalanan terekstrem yang pernah saya lewati. Mengulang cerita saja, saya
masih merinding. Cuma pengin ketawa aja! HAHA.
Memakan waktu sekitar 5 jam, perjalanan sebentar ini dilengkapi dengan
ban bocor di tengah jalan, salah arah, sampai rombongan terpisah jalur.
Saat itu jam masih menunjukkan pukul 08.00,“Di sini aja aku cukup kok,
nggak perlu naik!” umpatan dalam benak begitu pertama kali menginjakkan kaki di basecamp, menyadari bahwa tempat itu
ternyata cukup tinggi.
Lansekap dari basecamp |
Tidak terbayang bagaimana di atas nanti, bagaimana sepasang kaki
mengeluh minta pulang, atau bagaimana jika cerita soal Pasar Dieng itu benar.
Sungguh! Ingin rasanya kembali ke hari dimana saya ditawari untuk mendaki. Saya
merasa dibodohi waktu.
Gunung
yang terletak di antara perbatasan dua provinsi, Jawa Tengah dan Jawa Timur ini
mempunyai banyak jalur pendakian. Berhubung via Candi Cetho masih tergolong
jalur baru, salah satu dari kami menawarkan untuk melewati jalur yang ternyata
tersulit dan terpanjang. Terbayar dengan obyek wisata eksotis Candi Cetho dan
sabana yang terpampang luas, sih hehe.
Hamparan sabana |
Perkebunan via Cetho |
Di awali
dengan doa, cerita yang hanya sebentar ini dimulai. Saya ada di urutan depan,
katanya supaya tidak ketinggalan. Saya hanya diam, mengatur ritme napas yang
tidak karuan. Sama sekali tidak berani mencuatkan “Capek” atau “Udah nggak
kuat” di sepanjang perjalanan.
“Ya Tuhan,
apakah ini pilihan dariMu,” celetuk dari belakang memecah fokus. Sebelum tiba
di Pos I tertera tulisan “kembali ke basecamp”
ke jalur sebelah kanan. Ternyata Bang Sangap! Semua tertawa. Haha!
Lain lagi di
pos 3, beberapa bergegas menyiapkan makan siang dan sibuk menyediakan logistik untuk
memasak: kompor, nesting, gas, dan bahan makanan. Ada juga yang rehat sejenak,
melepas lelah karena muatan carrier yang
menyita tenaga, sementara saya memilih untuk menampung mata air yang muncrat ke
permukaan. “Nix, ayok ke sana lagi. Air minumnya masih kurang buat nanti.” Bang
WS ketagihan! Haha! Sudah jelas basah-basahan, tapi masih mau mengambil risiko
kedinginan. “Ayok, bang!” seru saya dengan semangat sambil menyikap botol-botol
untuk menampung air. Saya tertawa lama melihatnya kesulitan menghindari
muncratan air yang melimpah kemana-mana.
Di pos 3 |
“Kata masnya
tadi, menjelang sore biasanya hujan, mau pasang tenda dimana?” Saat itu sekitar
jam 3, masih ada waktu bergegas ke pos berikutnya. “Beberapa dari kita duluan
berangkat cari spot buat tenda, yang lain menyusul.” Bang Adi mulai mengatur
strategi, kami rombongan terakhir bersiap-siap melanjutkan.
-**-
Trek makin
di luar logika, ternyata lintasan sebelumnya tidak seberapa, sampai pada
akhirnya saya dan yang lain menemukan titik lelah. Sementara hari semakin
larut, namun 3 diantaranya masih tertinggal di belakang, tidak ada kesepakatan
yang sama: apakah lanjut menemukan tenda yang sudah dipasang atau berhenti untuk
menunggu. “Aku liat bayangan di sekeliling kita, perasaanku udah bilang bukan, tapi
aku nggak yakin buat lanjut ke atas.” Yunita mengulang kalimat ini beberapa
kali ketika sudah tiba di basecamp, bahkan
sampai saat ini.
“Ultramaann!!!
Ini Ranger Biruu!!!” Bang Asronj melafalkannya berulang-ulang, tak ada jawaban,
hingga gelap yang mengantarkan mereka
pada rombongan. Sesekali kami berhenti, mengisi tenaga dengan perbekalan roti
diolesi susu coklat, sangat cukup untuk ada di tempat seperti ini. Tidak jarang
saya merasa pusing menapaki jalur menuju tenda, ingin sekali membungkus kedua
tangan yang sarungnya justru lebih dingin. Angin di sabana berseliweran
menggigil, terkadang menderu, terkadang rumput-rumput seakan saling berbisik tentang
siapa saja tamu yang datang.
Tenda di sabana |
Tenda dipasang
di hamparan sabana, kira-kira masih 1 jam menuju pos 5. Sleeping bag tipis tidak cukup menjadi penghangat selama beberapa
jam. Saya terbangun dan mendapati Bang Roy, Bang Sas, Kak Eci, dan Kak Ir masih
berbincang dalam tenda, menghangatkan diri di depan api kompor. “Kedinginan,
Nix?” Kak Eci mengawali, lalu saya mengiyakan.
“Dibuatkan
bubur aja ya, dek. Jadi hangat kok.”
“Nah, dek.
Ini aja sleeping bag ku.”
“Gitu ya, oke!
Tadi dipinjam nggak mau ngasih.”
“Hahaha”
Perbincangan
itu masih terdengar, selebihnya hanya sayup-sayup. Di balik sleeping bag yang hangat, alam
mengizinkan mata tertutup bersama kelelahan panjang, menanti fajar untuk
kembali melanjutkan perjalanan.
--***---
Sunrise Lawu |
Kibaran
saka merah putih masih jauh, puncak Lawu ada di balik bukit-bukit yang kokoh. Cuaca
sepanjang jalur dari pos 5 hingga puncak atau sebaliknya sama sekali tidak bisa
diterka, bisa berubah drastis dalam satu embusan napas.
Di Pasar Dieng sudah pagi. Aman! Pikir saya dalam hati.
“Masih
jauh ya warung pecelnya?”
“Tuh, udah
keliatan.”
“Ya Tuhan,
ubahkanlah batu ini menjadi roti”
Lagi-lagi
Bang Sangap! Haha!
Pasar Dieng |
Bebatuan di Pasar Dieng |
“Pesan teh anget sama nasi pecel, mbok.” Dan untuk pertama kalinya, saya mencicipi menu ini di atas ketinggian, hanya di Warung Mbok Yem! Masih saja saya teringat saat satu-persatu punya cara sendiri untuk menghangatkan, untuk sejenak melupa lelah saat itu.
“Sas, cobalah ceritakan kenapa kasus Jessica K W itu nggak kelar-kelar?”
“Jadi Jessica ...”
“Oh gitu, emang Hukum Pidana mu berapa nilainya?”
“Kebetulan perbaikan aku, bang haha”
“Zzz”
Percakapan sederhana demikian:
“Cobalah bang, darimana rupanya asalmu?”
“Asal dari Mamak, Usul dari Bapak”
“HAHA!”
Trek ke puncak |
Dulu saya
hanya heran, mengapa banyak orang ingin mendaki, menahan dingin menusuk tulang
semalam suntuk, menapaki lintasan dengan garis yang tegas dan curam. Kenapa
mereka mau menyaksikan gelap yang kosong sepanjang malam, atau membiarkan
embusan napas terengah-engah? Apalagi tidak sedikit pendakian yang berisiko; kaki
cidera, hipotermia, ketakutan, kedinginan! Kenapa mau?!
Di atas titik tertinggi Lawu, saya merasa begitu kecil. Susah payah
perjalanan 8-10 jam seketika hanya bermakna seperti debu sekilas saja.
Perjalanan menyadarkan bahwa masalah-masalah yang selama ini saya keluhkan
ternyata teramat sepele di hadapan alam. Tentang menghargai apa yang kau punya,
tentang usahamu sepanjang perjalanan, atau bagaimana upaya beradaptasi dengan keadaan. Di depan saya,
lansekap hijau yang
berpadu dengan garis langit biru horizontal benar-benar menenangkan, awan hanya
sepenggal saja di depan mata, dekat sekali.
Langit biru di puncak |
Baris belakang : Bang Adi, Bang Roy, Kak Dijom, Bang Sangap, Bang Asronj, Kak Irma, Adit, Kak Lita. Baris depan : Bang Sas, Kak Sigit, Kak Eci, Kak Wira, Yunita, Onix, Bang WS, Bang Jefri |
Terima kasih untuk perjalanan sebentar ini, untuk hal-hal sederhana yang
mengantarkan saya pada tawa, atau pelajaran untuk mudah peka. Terima kasih
untuk hangat yang ternyata tidak melulu fokus pada objek, tapi bisa juga
subjek: tentang bersama siapa kamu berbagi cerita.
Mengenal alam bagi saya mungkin bisa dengan mendaki Lawu, tapi mengenal
kalian sepertinya harus dilanjutkan dengan perjalanan lain HAHA! See you next
trip, gaes ! Walau sudah sangat bisa diterka, perjalanan kedua dengan 15 orang
yang sama tidak akan mudah mengaturnya. Tapi, terima kasih !
Full team |
Lawu akan
terus menjadi nama yang ditakuti, namun tidak pernah kehabisan waktu untuk
diijajaki, tidak akan berhenti menjadi cerita bagi banyak orang.
10 September 2016,
Gunung Lawu
nice dek, tunggu versi lainnya
BalasHapussemangat menanti trip kita berikutnya..:D
hahha, gud job dek ;)
Hapusnamaku nixxx.... :'
BalasHapusEdeh, kirain mau komen apaan-_- zz ngga sengaja kak hahaha
Hapus"Lawu akan terus menjadi nama yang ditakuti"
BalasHapusmemangnya Lawu menakutkan Mbak, bukankah indah dan ingin kembali ke sana?
thank
Coba baca aja Mas yang udah saya tulis di atas, Lawu itu angker soalnya hehe
HapusNah iya, maka dari itu, Lawu tidak pernah kehabisan waktu untuk diijajaki, dan tidak akan berhenti menjadi cerita bagi banyak orang :)