Rabu, 20 Juli 2016

BOOK REVIEW "Dicari Tentara NICA Untuk Dikirim ke Neraka !"

Judul Buku        
Kereta Pagi Jam 5
Penulis              
Hamsad Rangkuti
ISBN                 
979-407-522-1
Penerbit            
PT. Balai Pustaka
Editor                
Maria Widi
Desain cover     
B.L Bambang Prasodjo
Desain isi          
Joni Tesmanto
Tahun Terbit     
1993
Tebal               
95 hlm


Kata Dee, "Kritik itu seni dan skill. Di level semacam itu, nggak cukup bilang suka/nggak suka, yang terjadi adalah edukasi."


Seorang sastrawan Indonesia yang terkenal dengan tulisannya "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu" ini telah banyak melahirkan sejumlah cerita pendek yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti "Sampah Bulan Desember" yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dan "Sukri Membawa Pisau Belati" yang diterjemahkan ke bahasa Jerman.
Berbeda dengan novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah (1981) yang mengulas dunia para pengemis dan gembel yang hidup di perempatan lampu merah, kali ini Hamsad Rangkuti justru menghadirkan tulisan tentang masa penjajahan.

"Tuhan tidak merubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya sendiri" adalah kutipan yang tepat untuk mengawali cerita seorang Mardan yang berani dengan orang Belanda. Kisah Mardan yang dituliskan Hamsad Rangkuti berawal dari serdadu yang memergoki anak itu saat menempelkan pelakat bertuliskan “DICARI TENTARA NICA UNTUK DIKIRIM KE NERAKA !”di dinding papan warung Pak Nongah.  Kota Tanjung Balai adalah kota pantai, saat itu pasang sedang naik dan air sungai meluap, Mardan yang penuh dengan rasa takut berusaha berkelit melepaskan diri dari belenggu sekutu, ia melompat ke dalam air. Baru saja bebas dari seorang kompeni, Mardan hampir saja ditembus berpuluh-puluh peluru oleh serdadu saat melaju dengan perahu yang tertambat di rawa-rawa Nipah. Tentu Mardan melakukannya demi sebuah alasan yang jelas. Membela ibu pertiwi, tanahnya sendiri.

Sejak almarhum ayahnya tewas akibat tembakan saat terlibat menjalankan misi, ia hidup bersama kelompok pasukan gerilya yang dipimpin oleh seorang Sersan muda, Muis namanya. Markas gerilya itu berada di perkampungan nelayan yang kini telah tercium musuh, patroli Belanda telah mengetahui keberadaan mereka. Pasukan gerilya harus mampu berpindah-pindah, melakukan gerakan cepat dan tangkas secara serentak. Laut lepas membentang di mulut muara, Mardan belum juga datang saat semua pasukan telah berangkat menuju tempat yang dirahasiakan, Sersan Muis menunggunya. Pemuda itu yang menyelamatkan Mardan saat sedang menjalankan aksi sabotase, Ibu Mardan telah tiada sejak ia masih kecil, Sersan itu telah menganggapnya sebagai anak sendiri.

Acap kali Mardan menggunakan mancis pemberian ayahnya untuk menyulutkan api, ia merasa selalu dekat dengan sang ayah. Apalagi waktu menghindari serangan serdadu-serdadu KNIL saat Mardan dan Sersan Muis melaju dengan perahu. Ombak besar bergulung, serentetan peluru yang terdengar menambah ketegangan bagi pembaca. Sersan Muis tertembak ! Perahu tertambat di dalam hutan bakau yang gelap, hingga akhirnya mereka menemukan gubuk kecil beratap daun rumbia di lahan bekas pertanian yang baru saja ditinggalkan. Dengan mengumpulkan segala keberanian yang Mardan miliki, peluru pada Sersan Muis berhasil dikeluarkan.
 
Seperti sudah ada yang mengatur, ketiga anak Pak Anggah menemukan Mardan dan Sersan Muis di dalam gubuk. Sementara Naimah dan Salman membantu menyediakan makanan bagi mereka, Zainal dengan kemahirannya mengemudikan perahu menuju rumah dan memberitahu ayahnya tentang hal tersebut. Meskipun Sersan Muis terlihat dalam keadaan aman, namun suhu badannya meninggi setelah tiba di rumah Pak Anggah.

Mardan lalu diutus untuk mencari anggota laskar lainnya yang lebih dahulu mengungsi di lereng bukit untuk melaporkan keadaan Sersan Muis kepada mereka, sekaligus menjemput seorang mantri kesehatan yang juga bagian dari pasukan. Mardan bersama Zainal menuju tempat yang dimaksud, perkampungan nelayan perkumpulan telur penyu. Mereka bermalam di rumah salah seorang nelayan dan melanjutkan keesokannya untuk mencari maskar laskar rakyat itu.
Beberapa hari pasukan tersebut tidak berada dalam komando Sersan Muis, banyak hal yang telah terjadi, termasuk rencana peledakan iring-iringan tangki minyak BPM yang akan tiba di Kisaran. Sebelum tangki itu memasuki Tanjung Balai, rencana harus sudah terlaksana. Catatan sabotase yang pernah dilakukan menjadi alasan mengapa regu itu yang harus menyusun strategi. Pesan penting untuk Sersan Muis ini gagal disampaikan ketika Zainal dan Mardan tiba di perkampungan, patroli pantai telah datang menyusur sungai dan membawa Pak Anggah untuk diinterogasi perihal laskar-laskar rakyat yang mungkin bersembunyi di kampung itu. Sementara Sersan Muis dilarikan ke Tanjung Balai untuk dirawat oleh seorang dokter yang memihak republik. Dengan alasan ingin menyampaikan pesan rahasia ke Sersan Muis, akhirnya Mardan diperbolehkan Keluarga Pak Anggah untuk mencarinya. Mardan bertemu dengan Pak Nongah di kiosnya dan menceritakan semua hal yang telah terjadi.

Siapa yang mengira kalau Mardan ternyata tidak mencari Sersan Muis, ia justru memutuskan untuk naik kereta pagi jam 5 menuju Tanjung Balai. Kereta itu adalah kereta sayur dengan pedagang ikan sebagai penumpangnya. Di Stasiun Airjoman tampak tiga pemuda membawa sesuatu dalam tas dan berjalan menyusuri sel. Percakapan ketiganya meyakinkan Mardan bahwa mereka adalah orang-orang yang diutus untuk melakukan misi rahasia, lantas ia mengikuti mereka. Benar saja, sabotase pun dilakukan. Batang kayu tumbang dihanyutkan ke dekat jembatan, pasang yang datang mulai meninggi hingga air menyentuh rel. Mardan hanya memperhatikannya dari atas pohon, menunggu apa lagi yang akan terjadi. Sesaat uap lokomotif mendekat ke arah rel, itu dia ! iring-iringan tangki dan tentara-tentara NICA yang siap membunuh ! Serdadu mencurigai hal tersebut, pemuda yang berada di bawah tangki minyak tertembak. Rencana gagal !
Mardan dengan sigap terjun ke dalam rawa dan menyelundup ke bawah tangki, sambil meniup mancisnya yang masih basah, ia mencari sumbu dinamit yang sempat dipasang para pemuda itu. Bisa saja ia tertembak oleh musuh, tapi keberaniannya mencuat. Disundutnya sumbu itu dengan nyala api, kemudian menjalar dan mendekati sumber ledakan. Lantas Mardan melompat ke atas gundukan tanah, ada ledakan ! Semua tangki meledak secara beruntun, semua serdadu mati terbakar. MERDEKA !

Selain masa kemerdekaan, bagian lain yang cukup menarik adalah saat Tentara NICA melihat tulisan “Dicari Tentara NICA Untuk Dikirim ke Neraka !” di pelakat yang terpampang di semua pohon dan dinding di tangkahan. Itu artinya para sekutu menyadari bahwa bangsa Indonesia punya semangat juang yang tinggi dan tentunya bisa baca tulis !
Hamsad Rangkuti berhasil membuai pembaca dengan kejutan yang dilakukan oleh Mardan, pejuang kecil yang berani mengubah nasib bangsanya. Sosok Mardan seolah ingin menjelaskan dan menegaskan kepada generasi saat ini untuk Define yourself, don't let others define you ! Secara tidak langsung, penulis juga memperkenalkan taktik perang gerilya pada zaman penjajahan, tidak hanya melindungi diri, bahkan pesan sederhana juga disampaikan dalam cerita ini. Tentang menjaga kepercayaan, juga makna perjuangan yang sebenarnya, bahwa tidak hanya memperjuangkan keselamatan diri sendiri, tapi juga keselamatan bangsa.
Kereta Pagi Jam 5 dengan bahasanya yang ringan mampu menyihir imajinasi pembaca, saat Mardan hendak menyelamatkan diri dan menemukan perahu di balik rawa-rawa nipah dengan sungai yang bercabang dua. Atau saat bagaimana Mardan dengan beraninya membakar ujung dinamit itu tergambar jelas. Walau ia masih kecil, tapi tidak pernah kehilangan akal.

Beberapa kesalahan ejaan seperti kata “Alai” yang seharusnya Alat di kalimat Nama Alai itu Loting pada halaman 4, dan kata “obah” pada kalimat Dia tidak obahnya seperti jalan setapak di dalam hutan di halaman 19 yang seharusnya ubah, tidak mengurangi makna dan inti yang disampaikan dalam cerita. Selain konflik dan ending yang menggugah pembaca, alur yang mengalir mampu menutupi semua kekurangan tersebut. Pembaca tidak lagi menghiraukan kesalahan pengetikan, penggunaan bahasa tetap diperhatikan oleh Hamsad. Beliau tidak hanya mampu mendeskripsikan setiap setting dan kejadian dengan kompleks, tetapi juga turut memperkenalkan diksi yang jarang dimunculkan dalam cerita kebanyakan.

#Diikutkan dalam lomba ini . (Lumayan sekalian latihan nulis ekekekeh)
#PADIreview

2 komentar:

  1. sepertinya menarik, yah? Onix dapat novelnya di mana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menarik dan rekomen juga, mas huehehe. Untuk ukuran buku 90an, bahasanya masih bisa dimakan oleh pembaca sekarang.

      Buku online sih, sila baca di sini opac.perpusnas.go.id/detailopacblank.aspx?id=908918 :)

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.