“Kopi akan terasa pahit jika tidak tahu bagaimana cara menikmatinya”
Selasa pagi (3/9) kali ini sepertinya akan sama dengan hari-hari
sebelumnya. Embun dingin membasahi wajahku yang belum sempat dibasuh. Sepenggal
pesona alam terlintas begitu saja. Binatang kecil
yang berkicau, beramai-ramai menyusuri pepohonan sebagai magnet alam ini.
Kesempatan untuk menghirup kembali kesejukan udara dipagi hari benar-benar aku
nikmati. Karena ketika asap kendaraan mulai menguasai atmosfer, aku tahu, aku
takkan merasakannya lagi.
Ketika fajar masih menyelimuti
kota ini, aku bisa menerawang langit yang sedari tadi ditemani bintang kejora.
Disaat ia mulai menyingsing, aku
yakin, hanya segelintir orang yang ingin
menyapa langsung “tuan matahari” yang duduk
manis “di pelatarannya”.
Namun
aku tak bisa berlama-lama disini sekedar untuk menyapa alam.
Waktu yang terus bergerak
memaksaku bergegas menuju tempat “manusia super sibuk” di bumi melanjutkan
pendidikannya. Kuda besi yang biasa aku tunggangi
melaju kencang dengan jarum speedometer
menunjukkan angka 60km/jam, dipadu dengan kepadatan jalanan.
Dengan
waktu relatif singkat, aku tiba ditempat yang memberikan pelayanan
pendidikan, pengajaran dan keterampilan melalui berbagai proses dan pasti banyak ilmu baru yang
akan aku terima hari itu. Namun siapa sangka, sekolah yang notabene-nya tempat menuntut ilmu pun dijadikan ajang gengsi dan obral polularitas. Sibuk dengan dunia sendiri dan
mengesampingkan arti perjuangan pemuda-pemudi gagah berani tempo dulu. Mengabaikan
hak-hak negara yang mestinya dipenuhi bersama oleh anak bangsa. Malang
sekali nasib ibu pertiwi ini,
ketika ia sudah tua dan butuh uluran tangan generasi muda, mereka malah terbuai
dalam kekayaan yang fana, dimanjakan dengan gadget-gadget
super canggih ala abad 20 ini.
Ketika
matahari mulai merangkak dari ufuk timur dan membentuk posisi horizontal
terhadap muka bumi, disaat itulah bel pulang sekolah terngiang ditelingaku, dan
lagi-lagi aku terjebak dalam lautan manusia penuh sesak dijalanan.
Lampu
di perempatan jalan masih setia dengan warna merahnya, ketika seorang anak
kecil dengan tumpukan koran
ditangannya yang mungil menghampiriku. Hanya sisa-sisa rasa
lelah yang tergambar dari raut wajahnya yang kusam dan tubuh yang masih dibalut
dengan seragam merah putih. Sugesti dari
otak kanan menuntunku untuk menepi, melangkah menuju trotoar disepanjang jalan gubernuran
itu.
Aku
mengajaknya berbicara banyak hal,
dan dari situlah, sejumput
aktivitasnya terpampang
jelas diingatanku. Ilham (10), seorang anak laki-laki yang masih terlalu
dini untuk mengenal kerasnya hidup. Ibunya yang hanya seorang penjual jagung
tidak sekedar mengajarkan pendidikan formal, namun juga arti kehidupan.
Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, tidak
seharusnya ia memaksakan diri berjemur ditengah radiasi matahari demi
mengumpulkan sekelumit rupiah. Apalagi sejak kepergian ayahnya tempo lalu,
Ilham terbiasa hidup mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain, ia berani
menghadapi “Elnino dimusim kemarau”. Apa yang ia lakukan hanyalah untuk mencoba
bertahan hidup seperti “bluebells dimusim
dingin dan bluebird dimusim panas”.
Cuaca yang sedikit ekstrim tak melunturkan semangatnya
untuk menjajakan koran kepada pengendara di perempatan jalan, tempat ia biasa
mengais rezeki. Rupiah demi rupiah ia kumpulkan, mengingat kehidupannya yang
sederhana, uang sejumlah Rp31.000,00 itu
pun diberikan kepada sang ibu. Walau tidak seberapa, tapi aku yakin, tidak
semua anak di negeri ini bisa seperti Ilham, mengartikan hidup lebih sederhana.
Memang tidak setiap hari dagangan korannya laku, bahkan ketika lampu lalu
lintas padam dan para pengendara berlalu lalang seenaknya, ia memilih untuk
beralih ke tempat yang jauh lebih baik.
Untuk usia yang masih dini, wajar jika sewaktu-waktu ia
ingin seperti teman-temannya, menghabiskan masa kanak-kanak dengan bermain. Namun
ketika senja mulai berganti malam dan rasa lelah menghujam tubuh, ia masih
menyempatkan diri untuk meringankan pekerjaan ibunya dirumah. Menimba di sumur
demi mendapatkan air sudah biasa dilakukan. Siapa sangka, disela-sela
kesibukannya, ia masih meluangkan waktu khusus untuk menggali ilmu demi masa
depan.
Awan cerah yang perlahan berubah mendung menggelayut,
mendesakku untuk segera pulang ke rumah, ketika itu pula jalanan terlihat
semakin lengang. “ Memangnya nggak gengsi ya jualan koran seperti
ini, Dik? ” tanyaku dengan antusias. “ Kenapa
harus gengsi, kak? Sudah biasa kok” balasnya sambil tersenyum kecil.
Kehidupan Ilham yang sederhana mengajarkanku banyak hal, agar tidak ada lagi “buku” yang tercecer. Karena
mungkin saja ada “debu” yang menutupi keyakinan dalam rak buku
kehidupan,
menyepelekan arti perjuangan dan menganggap keberhasilan semata-mata hanya keberuntungan,
tetapi sebenarnya terselip sebuah pengorbanan.
Ilham, teruslah hidup layaknya Daun
Maple yang tidak memiliki klorofil tapi tetap bertahan hidup dan memberikan
warna disetiap mata yang melihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar