Rabu, 08 Mei 2019

Semoga setiap orang di luar sana mampu mengenali dirinya sendiri

Saya suka senja, barangkali kamu suka pagi. Kita beda? Tak apa, karena setiap
punya pilihannya masing-masing tentang apa yang ia suka
Source image: Akbar

23:27

Iya. Saya menulis ini di jam 23:27, yang satu jam sebelumnya baru saja selesai menelepon Ibu di rumah.
“Mam tau nggak sih, di sini orang-orang bangunin sahur udah kek ngajak ribut. Hahaha,” saya memulainya dengan kalimat sederhana. Saya tahu setelah ini yang kami bicarakan akan lebih berat, maka saya awali saja dengan yang lucu menggemaskan namun ingin lempar obor dari kamar, kalau bisa. Kalau tidak bisa? Ya lanjut tidur, lah.

“Halah kalau kau tidur di rumah juga banyak yang keliling bangunin sahur, kek nggak pernah aja.” Ibu menjawab begini biar menghibur sekadarnya, saya tahu itu.

“Hee beda tau. Di sini anarkis. Kek mau suporteran sepak bola.” Tentu saya tidak mau kalah.

“Ah, ikut aja sekalian biar rame.”

“Ok.”

Jika Ibu menghubungi saya dari seberang telepon, ia hanya ingin tahu tentang bagaimana harimu, apakah pekerjaanmu menyenangkan, pulang jam berapa tadi, kapan perjalanan dinas, mengapa tidak mau jadi cpns, dan seterusnya-seterusnya. Karena yang paling menarik adalah soal pulang jam berapa, maka itu saja yang saya jawab paling panjang.

“Jam 3 dong, kan puasa.” Tentu kalimat ini saya ucapkan dengan nada penuh kesombongan.

“Ih, orang yang puasa kau yang ambil hikmahnya ckck,” jawab Ibu datar.

“Hahaha, thanks to teman-teman yang puasa lah, mam.”

“Jadi kalau udah pulang, habis itu ngapain?” Ibu bertanya lagi.

“Tidur.”

“Apalah kerja anak-anakku ini, si abang kerjanya makan, kau tidur. Sibuk tidur terus. Weekend tidur, pulang kerja tidur. Halah.” Ibu mulai naik pitam. Tapi saya biasa saja tentunya, karena Ibu sudah sangat tahu apa yang menyenangkan bagi saya dan apa yang tidak.

“Hahahaha, biasalah. Passion, mam.” Balas saya mengejek.

“Kerjain yang lain kek.” Ibu saya ini paling anti jika melihat orang hanya ongkang-ongkang kaki, tidur, dan tidak berbuat apa-apa, lalu saya tanya dengan serius, “Mam, emang nggak suka tidur?”

“Nggaklah, buat apa,”

“Terus sukanya ngapain?”

“Hmm apa ya? Nggak tau.”

“Masa mama nggak tau sukanya apa. Aku sukanya tidur, kalau bosan ada opsi lain, bisa nulis. Abang sukanya makan, punya cadangannya lagi, main game. Adek suka make-up. Bapak juga suka tidur, kalau ada buku pas lagi makan, dibaca. Masa mama nggak ada?”

“Nah emang nggak tau sukanya apa,” Ibu saya mulai menjawab ini dengan serius.

Saya bertanya lagi, memberikan pilihan “Kemarin waktu bikin tanaman di sana suka, nggak?”

“Nggak.”

“Lah, ngapain dikerjain?”

Ibu saya diam.

“Ah masa nggak punya hobi sih? Suka masak kan, mam?”

“Nggak juga.”

“Lah? Tapi kok enak.”

“Nah aneh. Kan masakan enak karena udah biasa masak, belum tentu karena suka,” Ibu mulai ketus.

“Jadi sukanya apa?”

“Ya mana tau.”

Setiap kali Ibu saya jawab ‘tidak tahu’ saya jadi berpikir, apa yang selama 20 tahun ini saya kerjakan, sampai saya tidak tahu apa yang Ibu saya suka ketika melakukannya. Jangan-jangan ini adalah kali pertama seseorang bertanya padanya tentang apa yang ia suka. Saya tertegun.

Saya tanya lagi, masih dengan nada bercanda, “Mam, coba deh cari tau kesukaanmu apa. Menjahitkah, menyulam, berkebun, apa ajalah. Tapi jangan nyanyi ya, nggak bisa.”  

“Kampret, hahahaha.”

“Hahaha, nggak usah dipaksa kalau nggak bisa nyanyi mah.” Kami tertawa bersama.

“Emang kalau udah tau sukanya ngapain, terus kenapa?”

“Mam, aku kalau lagi bête, lagi sedih atau capek, aku tidur. Pas bangun udah lupa semuanya. Fresh lagi. Abang juga gitu. Kemarin dia jemput aku pulang kerja, sepanjang jalan ngomel-ngomel. Beh. Kacau. Tapi karena dia suka makan, setelah aku ajak makan, dia happy. Kan aku jadinya nggak kena omel. Jadi kalau kita udah tau diri sendiri, kita bisa ngerti harus ngapain, nggak perlu minta bantuan sama orang atau uring-uringan,” jawab saya serius.

“Oh gitu.”

“Iya. Kalau mau bikin orang lain di sekitar kita happy, kita juga harus happy dulu.”

“Hmm bener juga sih ya.” Kalau percakapan ini tatap muka, saya tahu kalau Ibu sedang mengangguk setuju.

“Jadi, sekarang hobimu apa, mam?”

“Tidur ajalah hahahaha.”

“Hadeh.”

Selama saya berusaha melihat diri sendiri, saya baru tahu bahwa orang yang paling dekat dengan saya bahkan belum mengetahui tentang dirinya. Lalu saya menyadari, Ibu sudah bahagia jika saya dan anak-anak Ibu yang lain juga bahagia. Bahkan jika dirinya sendiri tidak merasa cukup dengan apa yang sedang ia lakukan, ia juga bahagia, karena itu untuk saya. Untuk kami yang bahkan tidak tahu apa yang membuatnya bisa tersenyum.

“Ya udah, kalau gitu aku tunggu seminggu ya, mam. Cari tau hobimu apa. Pokoknya minggu depan aku tanya harus udah ada jawabannya.”

“Caranya gimana sih?”

“Cobain semua hal. Nanti kalau ada yang pas, berarti suka. Lakukan terus, nanti jadi hobi. Gitu, mam.”

“Iya deh iya. Mama udah ngantuk ini,”

“Dicoba ya? Bener ya?”

“Iya.”

“Oke, mam. Nite,”

“Nite, kak.”

“Yaa.”

“Malam.”

“Hah nite sama malam sama aja, mam. Ah udah matiin lah.”

“Yaa.”

-Tuuuut-


Semoga setiap orang di luar sana mampu mengenali dirinya sendiri, bisa membedakan apa yang menyenangkan baginya dan apa yang tidak, apa yang ia butuhkan, kapan merasa cukup, pilihan mana yang membuatnya bisa bahagia, cara apa yang ia suka, dan bagaimana ia tidak menjadi orang lain. Karena mengenali diri sendiri bukan tergantung dengan usia.


Jakarta, 00:23.
Iya. Saya selesai menuliskan ini pukul 00:23, ditutup dengan topik yang agak berat. Wha, sejak kapan saya bisa menasehati Ibu sendiri?



SELAMAT SAHUR 2 JAM LAGI!
SEBENTAR LAGI LAGU-LAGU YANG BERDENDANG MERDU ITU AKAN MENGISI MIMPIKU.

Rabu, 01 Mei 2019

Sebuah Surat Digital


Hari ini, pada tanggal saat semua buruh diliburkan termasuk saya, surat digital ini dituliskan.

Kau tahu kan bagaimana mekanisme sebuah surat digital? Tidak mungkin setelah menulisnya, saya titipkan pada merpati lalu diterbangkan ke awan-awan, tidak mungkin juga saya selipkan dalam botol untuk dihanyutkan di laut dan disampaikan lewat neptunus.
Tentu ketika surat ini diterbitkan, maka siapapun bisa menemukannya, siapapun bisa mengetahui apa yang hati saya sedang bicarakan.  
Untuk itu, saya ingin mengiba maaf: karena malah berterus terang lewat surat digital; bukan di dalam kamar, menutup pintu, melipat tangan, lalu berdoa; saya malah membiarkan orang lain membacanya.

Kau tahu kenapa saya ingin menulisnya di sini? Supaya saya terus mengingat, untuk banyak hal yang sudah saya lalui dan mengabaikannya.

Semua berjalan dengan baik. Kuliah, menjalani proses skripsi, diwisuda, dapat kerja. Tidak ada yang menjadi kendala, semuanya tepat waktu. Malah saya bertemu pengalaman baru. Berjabat erat dengan orang baru. Menikmati hal baru. Bahkan kalau orang lain melihat, rasanya saya melewatinya tanpa ada kesulitan meski hanya sedikit saja. Tapi karena itulah surat ini ada. Saya ingin kau melihatnya.

Saya paling benci ini: berdamai dengan diri sendiri. Bisakah kau ajar saya berdamai? Saya benci diri saya yang sering mengeluhkan hari-hari, menggampangkan kemudahan, mengabaikan kebaikan, mencaci kecukupan. Saya benci dikala saya terlambat menyadari sesuatu, merasa bersalah, lalu lupa mengadukannya padamu.

Ada teman yang belum selesai skripsinya, ada yang sudah berbulan-bulan belum mendapat panggilan kerja, ada yang dilema antara kesehatan atau cita-cita, ada yang kesusahan dengan lingkungan barunya, ada pula yang patah hati tapi mesti menjalani hari.
Sedangkan saya? Hanya menjalani saja, namun berontaknya banyak.

Buruh berdemo satu kali dalam satu tahun, tapi saya? Bahkan saya berdemo hampir setiap bangun tidur di pagi hari. Maka di hari ini, ketika para buruh berdemo di hadapan yang memerintah, maka saya sangat cukup untuk bilang terima kasih dihadapanmu. Ada kalanya saya tersenyum ketika jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Senyum itu tidak kunjung hilang saat saya tiba di sebuah rumah, membuka pagar, berteduh di bawahnya, dan melanjutkan malam. Dan sebelum esok pagi tiba, saya ingin sekali mengucap terima kasih berulang kali, karena hingga kini saya masih bisa mengulangi itu semua setiap hari.

Barangkali, kemudahan macam apalagi yang akan kau beri? Saya bertanya-tanya.


Salam,
Onix Octarina.
Untuk, Yang Maha Kuasa: Tuhan.

Diberdayakan oleh Blogger.