“Karena gagal
adalah bukti bahwa kau pernah belajar”-Rizky Amallia
Dulu, saya
adalah perempuan yang berani berekspektasi.
Percaya atas
apa yang pernah dikatakan Langit Amaravati kalau tak ada orang yang sangat
pintar hingga nyaris mengetahui segalanya, dan tak ada pula orang yang
sedemikian bodoh hingga tak mengetahui apa-apa. Yang ada hanyalah orang yang
tak pernah berhenti belajar dan para pemalas yang merasa dirinya sudah cukup
cerdas.
Dulu, saya
adalah perempuan yang berani berekspektasi.
Ketika perihal
kekalahan memenangkan stigma kalau sebuah gagal adalah bukti bahwa kita pernah
belajar. Saya yakin kalau gagal yang berikutnya kelak akan mendewasakan.
Dulu, saya
adalah perempuan yang berani berekspektasi.
Tapi itu dulu.
Saat gagal belum benar-benar mengubah cara pandang, saat gagal masih bisa ditolerir.
Dulu, saya
adalah perempuan yang berani berekspektasi.
Tapi itu dulu.
Saat kemungkinan masih layak untuk diterka, saat berekspektasi belum menjadi
sebuah kelelahan panjang.
Ika Natassa
pernah bilang dalam bukunya di Critical Eleven, Expectation is the root of all disappointments. Kadang hidup lebih
menyenangkan saat kita tidak punya ekspektasi apa-apa. Whatever happens is neither good or bad, it just happens. Kadang
hidup lebih menyenangkan jika tidak harus menargetkan plan A atau B. Kadang
semua harus berhenti sebentar, agar ‘menyalahkan’ tidak terus mengelana liar.
Lagipula ibu
tidak pernah menuntut saya ini itu, lakukanlah yang kau bisa. Menakar air laut
dengan lekuk tangan? Lelah kau dibuatnya. Mengukur langit dengan jengkal?
Apalagi. Tujuanmu sekarang bukan lagi dadu yang dilempar berulang, lakukan yang
pasti tanpa harus menghentikan mimpi. Itu yang Ibu bilang.
Jangan-jangan
Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada
momen-momen kini dalam hidup—yang sebentar, tapi menggugah, dan mungkin indah. ― Goenawan
Mohamad, Catatan Pinggir 7
Semarang, 02.13 WIB
Semarang, 02.13 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar