“Jika yang fana adalah waktu, lantas yang abadi ?”
Jika padamu
ditanyakan, manakah paling menawan ? Mungkin Lili, Mawar, atau Tulip yang bisa
diterima, memikat setiap mata untuk jatuh hati padanya.
Tapi, masih si abadi Edelweiss yang sampai detik ini bisa menenangkan
rindu. Meninggalkan sendu.
Abadi yang
sederhana.
Hanya dengan
melihatnya, memiuh lirikal puisi secara
timpa-menimpa tak lagi perlu. Edelweiss sudah mewakili sajak yang panjang tanpa
benar-benar harus ditulis. Mungkin sudah serupa antologi.
Abadi yang
sederhana.
Berani merekah kala
angin dingin menggigil tiap malam, pun panas matahari meraja. Setia untuk ada
di atas sana. Ia menenun sabar tiap akan mekar, tidak pernah mencela padaNya: “Mengapakah
Engkau membentuk aku demikian?”
Abadi yang
sederhana.
Tidak pernah ingin
melupa, karena senantiasa bergegas menyambut raga yang mau berusaha melihatnya.
Ialah yang ternyata menggenggam lengan untuk bersama-sama memuncaki kediamannya.
-Karena menjadi
istimewa tak perlu menjadi sama. Edelweiss akan cantik dengan
caranya sendiri-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar