Sabtu, 12 Juli 2014

Alone Like a Bluebell




Alone like a bluebell, waiting for the bluebird to come, and against me with the warmth of its love, forever more” –Rizky Amallia

Setangkai bluebells yang menunduk malu ternyata menjadi latar jendela berembun dikamarku. Padahal musim untuk para bunga lonceng ini bermekaran sudah tiba, tapi yang aku lihat ia hanya sendirian, menikmati suasana kota yang ramai dipenuhi oleh sekawanan manusia yang sedang mengadakan festival tahunan. Entahlah, tidak bisa dipastikan apakah ia benar-benar menikmatinya atau sedang menunggu kedatangan bluebells-bluebells yang lain.   

Sementara itu disurat kabar diberitakan tentang seorang pendaki gunung yang konon tersesat setelah melihat manusia kerdil di ujung lembah atau seorang manusia yang masih bertahan hidup dengan penyakit lamanya-kanker paru-paru-. Tak ada yang menarik. Bahkan dimusim ini begitu banyaknya objek yang bisa dilihat, tapi bagi pria berkumis tipis ini,  berdiam diri di dalam kamar adalah pilihan terbaik.

Sambil menatap nanar keluar jendela, ia menyeruput segelas kopi pahit ditemani sejuknya embun pagi. Berulang-ulang bayangan seorang gadis melintas dipikirannya. Sesekali lelaki yang biasa disapa Mr.Potato ini melirik bingkai foto berhias kerang putih yang terpampang di atas meja. Dirinya dan malaikat yang manis. Ada pesona senja yang cantik disana, dengan rangkaian bunga tulip berbentuk angka 18.

“Oh,  jadi laki-laki yang sudah tiga tahun terakhir hilang, ternyata berlibur ke city of Windmill ?”. Ternyata ada seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan apa yang sedang dilakukannya. Tapi jujur saja, ia sudah tahu kedatangannya kemari.  

“Kapan kau tiba disini? Tadi malam? Tapi aku tidak lihat seorang pun di apartmentmu.”
Lagi-lagi ia mengusik kediamanku!

Pertanyaan basa-basinya tak digubris sama sekali. Tatapan pria itu kosong, sementara teriknya siang hari mulai memasuki ruangan melalui celah ventilasi. Ternyata wanita itu masih saja tak berubah, selalu mengintrogasi hal-hal tak penting.

“Wow, apa aku ketinggalan sesuatu? Sejak kapan kau punya ini?” katanya sambil menunjuk pohon sakura kecil di sudut kamar.

“Hmm...kau baru saja dari Jepang? Mengapa tak pernah mengabariku?” Mr.Potato membiarkan wanita itu berceloteh panjang lebar, seolah-olah tidak ada lawan bicara. Kemudian ia mengambil sepucuk kertas dari pohon sakura kecil itu. Tingkahnya benar-benar merusak suasana.

Teruntuk bluebells,
Aku tidak tahu apa yang sedang kau tunggu, mungkin seorang teman yang ingin memetik kemudian merawatmu dengan penuh cinta. Aku hanya berharap kesendirian yang kau rasakan berakhir secepatnya.
Seperti aku yang dulu pernah merasakan kesepian tak berujung, hidup seperti nyawa yang segan untuk mati. Tapi kemudian seseorang yang penuh arti hadir secara cuma-cuma dalam hidupku, lalu seperti daun Ek yang menyisir ke lautan,  ia hilang dan tak pernah kembali.”

“Tidak untuk yang itu! Jangan sentuh apapun yang ada dikamarku!” Spontan lelaki berusia 20 tahunan itu berteriak karena sempat membaca harapan yang selalu disimpan rapi disetiap ujung pohon sakura.

Pria itu menatapnya tajam, seperti menyimpan masa lalu.
“Jadi siapa dia?” Wanita itu balas dengan tatapan yang sama sinisnya.  

“Kau tidak perlu tahu soal itu, Anne!” Kemudian ia berlalu, kembali menatap ke arah luar jendela.

“Kemarin kasus pembunuhan George telah terungkap, dan pelakunya adalah Stefanus, bukankah itu rekan lamamu? Berhati-hatilah karena kabarnya kau adalah target berikutnya.” Anne berusaha mengalihkan.

“Bukankah itu berita baik? Aku juga sudah muak hidup setengah mati dengan kanker ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu.” Tangan kirinya diselipkan ke dalam saku, berusaha bersikap tenang.
“Tapi...aku tidak mau itu terjadi.” Wanita itu menambahkan.
“Maksudmu?”
“Aku ingin menjadi bluebells yang lain.” katanya lagi.
Pria berbaju hijau pupus itu diam, berusaha mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Mungkin ini mengejutkan, tapi jujur, selama kau pergi, aku merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Aku berharap kau mengerti.”
Apa yang diingankannya?!
 “Aku hanya tidak mau terlambat lagi.” Kalimat yang dilontarkan Anne semakin tidak masuk akal, pria itu masih saja tidak paham. Entahlah, hal yang tidak jelas berkecambuk dalam hatinya.
Keduanya diam, tak seorang pun berani memulai pembicaraan. Keheningan memenuhi ke seluruh penjuru ruangan yang dibalut karpet merah dan gorden yang senada.

Tak lama itu Anne menyodorkan kotak yang dibungkus dengan kain berwarna merah marun, persis dengan warna kesukaan lelaki itu. Tapi tetap saja, Mr Potato memilih untuk bungkam, ia menggenggam bingkai foto yang sedari tadi dilihatnya.

“Baiklah, jika kau tidak mau bicara. Secepatnya aku akan pergi dari sini. Besok Chand akan melamarku, dan kami akan ke Frankland untuk pernikahan. Selamat berakhir pekan.” Volume suaranya merendah, tidak seperti saat pertama ia berbicara di awal pertemuan. Kemudian tersirat kesedihan yang amat sangat, air matanya menetes menyentuh pijakan.
Wanita itu beranjak dari tempat ia berdiri, bergegas meninggalkan apartment itu dan tak lupa menghapus semua kenangan tentang yang baru saja terjadi.

Mr Potato masih saja diam, ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Anne, tangan kanannya kemudian merogoh kotak kecil yang diletakkan wanita itu di atas meja.

“Selamat ulang tahun, Hans. Selamat tanggal 18  untuk yang kesekian kalinya, aku akan merindukanmu.” Begitu ia membukanya, suara lembut Anne terdengar jelas ditelinganya. Ia teringat sesuatu. Tanpa disadari, pria bermata coklat itu berlari ke luar kamar, ia mengikuti kata hatinya.

Sosok gadis itu ternyata masih dalam jangkauan mata, ia berjalan tanpa gairah, seperti baru saja melepas seseorang yang berarti dalam hidupnya. Entahlah, rasanya seperti dicabik-cabik oleh belenggu, sakit sekali.

Lelaki itu terus saja berlari, hingga akhirnya meneriakkan sebuah nama.
“Anne! Tunggu!”

Anne terus berjalan tanpa arah, ia bahkan tak menyadari Mr Potato mengejarnya.

Hans memanggilnya untuk yang kedua kali. “Anne, aku mohon.”

Kemudian wanita itu berbalik arah menoleh ke belakang dan mendapati lelaki itu berkeringat setelah berlari cukup lama. Ia masih diam, tidak memberi komentar apapun.

Hans menatapnya dalam dan menemukan mata yang sama, yang dulu selalu membuatnya tenang. 
“Your eyes are the last thing I wanna see.” katanya memberikan jawaban.


***







6 komentar:

  1. ini cerita yang pernah suruh aku baca ya? apa beda sih? hehe^^

    BalasHapus
  2. Eh iya nich, cuman pembuka sm karakter tokoh aja yg sama, inti ceritanya beda soalnya aku males buat ulang hihi ^-^

    BalasHapus
  3. I wonder sejujurnya.... bluebells itu apa ya? kayaknya bagus banget<3

    BalasHapus
  4. bluebells itu kamu #salahfokus
    bunga yg melambangkan kesendirian :) searching cb qq

    BalasHapus
  5. hoalah baru tau:O
    berarti aku.... bluebells (?) :")

    BalasHapus
  6. kamu sendiri? hmm
    menurut aku sih enakan jd dandelion :p

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.