“Nilai perjalanan tidak
terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya
perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi
dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan”-Agustinus Wibowo
-Under
the Southern Stars-
Adalah buku yang menjadi
urutan kesekian untuk aku selesaikan dalam waktu yang lama. Entah berapa lama sudah tidak
aku baca sejak bertemu langsung dengan penulisnya di 19 Mei 2015 lalu. Dialah
Anida Dyah. Demi bertemu dengan engineer penuh
nyali ini, aku rela bolos dua mata kuliah sekaligus. Haha. Aktivitas di balik
kubikel perkuliahan yang menyita waktu selama beberapa semester membuat buku
yang menawarkan alam dengan kebebasan penuh dalam perjalanan terbengkalai di
atas almari, ia berdebu. Sampai pada akhirnya ia punya kesempatan untuk aku
jelajahi. Kali itu disela-sela waktu dalam perjalanan dari Jakarta menuju
Semarang, sembari menunggu jam transit yang panjang, halaman
demi halaman secara acak aku buka untuk mengingat kembali cerita terakhir yang
sempat dibaca. Hanya butuh waktu sekitar 5 menit untuk memastikan bahwa aku
sudah mengingatnya dengan baik. Sesekali membuka bagian depan dan menemukan cerita tentang rekayasa
resume yang berujung makian oleh chef dan
supervisor atau kalimat dengan tulisan miring "So your mom chinese?" Haha, aku hanya tertawa, namun ketika aku
mendapati kalimat ini “Bagaimanapun juga, Ibu selalu mengajariku untuk melakukan
segala sesuatunya dengan hati dan senyuman, betapapun beratnya pekerjaan”, aku teringat bahwa ibuku juga mengatakan hal yang sama, untuk sabar dan tidak menjadi lemah.
-03.47 AM-
Belum sempat aku jejaki buku yang katanya jurnal
itu selama jam transit, ada kesempatan lain pada jam 03.47 di selasar kampus di
tengah tugas mengantri hingga aku selesaikan tanpa meninggalkan sisa
penasaran. Tentang perjalanan mengenal alam dan lingkungan, juga diri
sendiri. Rasa kantuk yang telah lama ku tahan berbalik arah, imajinasi dini
hari justru melanglang buana entah kemana. Keningku berkerut. Apakah aku
sudah mengenal diriku sebaik Anida mengenal dirinya? Jangankan untuk menjawab
seberapa dalam aku pernah terkoneksi dengan
orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan, sedangkan seberapa
dalam aku mengenal diriku sendiri saja aku tidak tahu. Aku terlalu sibuk
berada dalam zona nyaman, sibuk mengurusi hal-hal kecil yang bahkan tidak
penting untuk dipermasalahkan. Iya, aku. Ku kira prestasi yang mengagumkan atau IPK mumpuni dan lainnya adalah bagian terpenting dari pencapaian diri,
tapi ternyata hal-hal
terbaik justru datang dari kesederhanaan yang selama ini tak pernah disadari. Tentang
pelajaran, usaha, dan proses yang bisa kau ceritakan pada
anakmu kelak. Tentang hal-hal sederhana yang mendewasakanmu untuk menjadi siapa
dirimu nanti. Tidak penting seberapa besar kau bisa mengubah dunia, tapi yang
terpenting seberapa mampu kau bisa mengubah dirimu untuk membentuk
kenyataan bagi tanah kehidupanmu sendiri.
Mau mengalah demi menemukan titik netral seperti
yang Aymeric lakukan merupakan tamparan keras bagiku yang sering kali tidak peka untuk mau memikirkan keinginan orang lain. Aku terlalu sibuk dengan kepentingan sendiri, mengurus perkara A, memikirkan plan B hingga berniat mendirikan
tembok tinggi agar tak ada orang lain yang berniat masuk ke dalam. Bahkan seorang
Anida bernyali untuk bertemu orang-orang baru dan melakukan perjalanan bersama
Judith, Thomas, dan Aymeric dengan bahasa ibu yang berbeda.
Sejak aku mulai membaca chapter 12-Mirabooka, ada
keinginan untuk membiarkan fajar membingkai ketenangan bersama gulungan angin
dingin yang menusuk. Terimakasih kak! Untuk bintang yang kau bilang mengajarkan rasa nyaman,
tentang awal sebuah mimpi dan keingintahuan pada dunia, tentang kokohnya ia
menyemarakkan tata surya dan memberi sinar keperakan, untuk perpisahan dan harapan. Itulah filosofi yang Bapak ajarkan juga kepadaku. Tentang menghargai apa yang kau punya. Bukan tempat indah yang menjadikan
perjalananmu menjadi berkesan, melainkan orang-orang yang ditemui sepanjang
perjalanan.
Ku kira merantau adalah salah satu kesempatan untuk
mengenal diri lebih dalam, agar kau tau makna sebuah pulang, karena rumah yang
kau bilang adalah tempat hatimu berlabuh dan kembali. Dan kalimat “Ibu
mengajarkanku untuk menjadi seorang perempuan tangguh yang mampu menghadapi
segala masalah dengan kepala tegak, untuk menjelajah dunia seorang diri. Butuh keberanian,
keteguhan hati, juga ketajaman naluri” dalam
buku ini juga mengingatkanku pada Ibu yang mengajariku untuk tidak bergantung
pada orang lain. Terimakasih kak Anid untuk bukunya! Terimakasih karena
mengajarkan pembaca untuk berani berjuang mengejar mimpi, pun aku!
Regards,
Onix
-Mahasiswi
Planologi yang sekarang tidur nggak tidur menjalani semester 4- HAHAHA
See you kak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar