Selasa, 31 Maret 2020

Kita, jadilah bijak bestari untuk keutuhan ekosistem di Papua

“Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, lalu saat tanah Papua lahir Tuhan sedang apa ya? Barangkali saat nonton film rating 9 di Netflix sambil makan popcorn alias mood sedang sangat baik”

Merekam ulang perjalanan di Jayapura
Saya selalu menerka seperti apa tanah Papua, yang kata orang-orang elok menawan, juga eksotis rupawan. Ternyata di bulan Oktober 2019 saya diizinkan melihatnya. Di malam pukul 23.45 dari terminal keberangkatan Soekarno Hatta, saya dan rekan-rekan kerja melangsungkan perjalanan dinas ke Kota Jayapura, Papua. Rasanya seperti menjemput kado saat ulang tahun di usia balita. Sumringah tak terlepas sejak saya meninggalkan Jakarta sambil menantikan sunrise pertama di atas awan. Ya walau pada akhirnya sudah bisa ditebak, rasa kantuk bagi saya adalah lebih besar daripada apapun hahaha. Jadi saya mengalah saja, tidak apa-apa jika harus melewatkan sinar matahari yang muncul menerangi penumpang melalui celah-celah jendela. Toh nanti akan ada pemandangan alam yang bisa dinikmati lebih banyak lagi.

Logat khas orang Papua asli adalah yang pertama kali bisa saya rasakan setelah mendarat dengan cantik di Bandara Sentani. Udara sejuk di pagi hari adalah yang kedua. Yang ketiga, peringatan untuk tidak kemana-mana jika waktu sudah di atas jam 8 malam, karena katanya akan ada orang mabuk di tengah jalan dan membahayakan. Ya itu adalah salah satu cerita dari Bapak supir di sepanjang perjalanan menuju penginapan. Selama melewati jalan yang mirip dengan Kelok Sembilan, saya memandangi bukit-bukit hijau dan pepohonan yang terbentang merata, bahkan sapi di tanah berumput ikut melengkapinya.
Kenapa jadi lebih mirip Harvest Moon Back to Nature ya?

Tidak hanya itu, kami juga menyempatkan diri menuju puncak Jayapura City sehabis beberes di hotel. Kalau saya diminta memberikan deskripsi, pesonanya kira-kira seperti perpaduan dari atas Puncak Sikunir Dieng dan Bur Telege Takengon. Tinggi dan menawan. Benar kata kebanyakan orang, Papua itu elok rupawan. Laut luas dan bukit-bukit hijau yang menghimpit permukiman di Kota Jayapura memecahkan dugaan saya: kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, lalu saat tanah Papua lahir Tuhan sedang apa ya? Barangkali saat nonton film rating 9 di Netflix sambil makan popcorn alias mood sedang sangat baik.
Pemandangan dari hotel menghadap ke Teluk Yos Sudarso
sumber: dokumentasi pribadi 
Pemandangan dari puncak Jayapura City
sumber: dokumentasi pribadi 
Wajar saja jika yang saya temukan selama perjalanan di Kota Jayapura adalah bukit-bukit hijau dan pepohonan rimbun. Ternyata 38 persen hutan primer yang tersisa di Indonesia berada di Papua (tahun 2012). Beragam jenis pohon yang tumbuh liar di hutan hijau terbentang luas di Papua dan Papua Barat. Hutan yang lestari di Papua adalah napasnya Nusantara. Beberapa media menyebutkan, Papua menjadi harapan terakhir bagi hutan Indonesia yang utuh akibat kondisi tutupan hutan yang semakin berkurang di Sumatera dan Kalimantan.

Suatu hari nanti untuk perjalanan ke Taman Nasional Teluk Cendrawasih
Suatu hari nanti, saya ingin ke tanah Papua lagi, mengenal lebih luas tempat-tempat yang belum pernah dipijaki. Seperti yang paling memikat hati sejauh ini: Taman Nasional Teluk Cendrawasih.
Jika saat itu saya dapat menikmati pesona bukit-bukit hijau yang membentang di Kota Jayapura, maka suatu hari nanti saya ingin melakukan perjalanan ke Taman Nasional Teluk Cendrawasih. Bukan hanya hutan hijau yang bisa saya temukan di sana, tapi kekayaan alam yang penuh keeksotisan. Faktanya, Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) dengan keanekaragaman hayati yang unik menyajikan perwakilan 1ekosistem terumbu karang dan ikan hiu paus, 2pantai mangrove, 3hutan tropika dan daratan Pulau Papua yang indah.

1ekosistem terumbu karang dan ikan hiu paus
Taman nasional yang meliputi Pulau Mioswaar, Pulau Nusrowi, Pulau Roon, Pulau Rumberpon dan Pulau Yoop merupakan lokasi yang memiliki spesies ikonik “Gurano Bintang”. Walaupun saya tidak bisa berenang bebas di tengah laut lepas, keinginan untuk melihat cantiknya Gurano Bintang si ikan hiu paus masih dipupuk hingga kini. Keindahan perairan di TNCC juga kaya akan berbagai jenis ikan dan hewan laut, dilengkapi terumbu karang yang luas dengan kualitas terbaik di dunia. Terdapat lebih dari 500 jenis spesies terumbu karang dengan Pulau Purup dan Selat Numamurang sebagai tempat terbanyak ditemukannya keanekaragaman hayati. Saya janji, tidak akan memaksakan kondisi jika suatu hari nanti tidak bisa mengunjungi terumbu karang yang warna-warni, karena saya tahu kalau tempat ini adalah rumah bagi banyak populasi.  
Ekosistem Terumbu Karang dan Ikan Hiu Paus di TNCC
sumber: greenpeace//wondamakab.go.id
2pantai mangrove
Taman Nasional Teluk Cendrawasih membentang dari timur Semenanjung Kwatisore sampai utara Pulau Rumberpon dengan panjang garis pantai sekitar 500 kilometer. Di sana dapat ditemukan hutan/vegetasi mangrove di pesisir pantai. Terbayang di benak saya saat Shizuka berkunjung ke Hawaii di musim panas. Di daerah pantainya juga terdapat berbagai jenis penyu yang akan menambah keutuhan nuansa tropis kawasan ini.
3hutan tropika dan daratan pulau
Tidak berhenti di situ saja, keanekaragaman ekosistem di Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berada di 5 wilayah dan 2 provinsi yaitu Papua dan Papua Barat menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna. Ada yang dilindungi, dan ada yang tidak. Di kawasan ini kita bisa melihat bahwa Papua adalah destinasi wisata hijau karena terdapat lebih dari 50 jenis vegetasi daratan pulau mulai dari hutan pantai sampai vegetasi hutan pegunungan daratan pulau (ketinggian 467 mdpl).
Hutan Tropika dan daratan Pulau di TNTC
sumber: wondamakab.go.id
Seperti Raline Shah yang tidak sengaja bertemu dengan ikan hiu paus pertama kali, saya juga ingin ke sana, menyapa mereka dari atas kapal: “hai salam kenal”. Semoga waktu yang baik akan berpihak ya!

Bijak Bestari untuk Taman Nasional Teluk Cendrawasih
Keutuhan ekosistem di kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat. Banyak yang menjadikannya rumah. Tidak hanya flora dan fauna, tapi juga masyarakat lokal yang hidup di sekitarnya, memanfaatkan sumberdaya alam untuk keberlangsungan hidup mereka. Bahkan TNTC memiliki fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, menunjang pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, serta untuk dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan pendidikan, juga menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (sumber: situs resmi Kab Wondama).

Menjadi bijak demi menjaga keutuhan ekosistem TNTC dilakukan karena ada beberapa ancaman yang mungkin terjadi, seperti: 1kehilangan tutupan pohon, 2kerusakan terumbu karang akibat pendangkalan, 3air laut tercemar karena sampah plastik, 4terjadi polusi di perairan akibat tumpahan minyak kapal, bahkan 5kehidupan biota air bisa terganggu karena eksploitasi penambangan emas. Saya tidak bilang kalau semua itu adalah ulah-ulah manusia, tapi mungkin bisa terjadi karena aktivitas di kawasan taman nasional dan sekitarnya sangat rentan terhadap keutuhan ekosistem. Entah kapan saya dan kita semua akan punya kesempatan ke sana, mungkin besok atau 20 tahun lagi, tapi keindahannya saat ini tidak akan bisa kita nikmati jika tidak menjadi bijak dari sekarang. Kita bisa ikut terlibat jika mau. Seperti halnya yang dilakukan Eco Nusa Foundation, organisasi non-profit yang bertujuan mengangkat pengelolaan sumber daya alam berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia dengan memberi penguatan terhadap inisiatif-inisiatif lokal.
sumber: EcoNusa
Eco Nusa Foundation fokus pada komunikasi antara pemangku kepentingan di Indonesia Timur (Tanah Papua dan Maluku). Perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam dilakukan melalui 10 program. Bahkan EcoNusa menyoroti kesadaran masyarakat menjaga lingkungan sebagai sudut yang penting. Di satu aspek, “Letter from the Ocean” pernah diikutkan untuk gerakan kelautan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di sisi lain, EcoNusa juga turut melindungi hutan untuk penghidupan berkelanjutan dan iklim global melalui gerakan #BeradatJagaHutan. 
sumber: EcoNusa 
Ohya! Saya dan kamu bisa turut melakukan aksi serupa, yaitu bergabung sebagai sukarelawan atau magang di EcoNusa dengan cara berkirim pesan lewat website mereka. Menarik ya?

Bagi saya, Taman Nasional Teluk Cendrawasih adalah gambaran dari wajah Papua. Di sana adalah rumah bagi banyak spesies, flora dan fauna, juga masyarakat lokal. Kekayaan alamnya terbentang dari pulau satu ke pulau yang lain, ada perairan pun daratan, ada hutan juga lautan, ikan sampai burung elang bisa ditemukan.
Kita, jadilah bijak bestari dan manfaat untuk sekitar, supaya keutuhan ekosistem di sana selalu terjaga untuk Papua napasnya Nusantara, karena Papua itu Indonesia.
Artikel ini diikutkan dalam lomba Wonderful Papua
#BeradatJagaHutan #PapuaBerdaya #PapuaDestinasiHijau #EcoNusaXBPN #BlogCompetitionSeries


Sumber pendukung:
Eco Nusa
WRI Indonesia
WWF Indonesia
Green Peace Indonesia
Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Situs resmi Kab Wondama (www.wondamakab.go.id)

Sabtu, 21 Maret 2020

Kalau bumi hancur, kita juga

Ilustrasi//shutterstock
“Aku, biarlah seperti bumi. Menopang meski diinjak, memberi meski dihujani, diam meski dipanasi. Sampai kau sadar, jika aku hancur, kau juga.” Fiersa Besari

Merebaknya Koronavirus adalah bencana yang tidak hanya membahayakan, tapi juga mematikan. Data dari John Hopkins University per tanggal 20 Maret, terdapat lebih dari 200.000 pasien positif Coronavirus Disease (Covid-19), dengan lebih dari 9.000 orang meninggal dunia, dan 80.000 lebih orang sembuh. Sedangkan di Indonesia, per tanggal 20 Maret, terdapat 369 kasus, 32 meninggal, dan 17 sembuh.

Terhitung sejak Presiden RI mengumumkan 2 pasien yang terjangkit Korona di Indonesia, virus ini ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) di Kota Solo dan Provinsi Banten. Tidak hanya itu, efek dari keberadaan Covid-19 yang mendunia benar-benar menimbulkan banyak perubahan maupun kebijakan baru.   

Sepanjang sejarah Indonesia, baru kali ini saya melihat kondisi tidak biasa yang terjadi secara bersamaan seperti: wisuda ditunda, sistem belajar di sekolah berubah daring, mahasiswa belajar di rumah sampai 1 semester selesai, tercipta “Work From Home” untuk para pekerja, Monas dan Dufan tutup sementara, sterilisasi terjadi di beberapa tempat, harga rempah-rempah melonjak, hand sanitizer juga masker diburu, bahkan ibadah dianjurkan di rumah.
Dampak wabah ini juga melebar sampai ke industri hiburan: jadwal rilis film diundur, konser musik tanah air memasuki masa penundaan, standup comedy show diberi “libur”, proses shooting beberapa film dihentikan sementara, sampai Resepsi Jesika Iskandar juga ditunda banyak industri travel merugi bahkan terancam kolaps.

Dampak dari Korona memang tidak main-main. Untuk skala besar: Liga Inggris dan Liga Spanyol sudah ditunda, berbagai tempat wisata di belahan dunia ditutup dalam waktu yang tidak ditentukan, warga Jepang sebagai yang paling sibuk pun tidak terlihat keluyuran, Italia sudah mirip kota mati, sampai Pemerintah Arab Saudi menutup Masjidil Haram untuk kegiatan ibadah umrah.

Se-gila itu, cuk!
Malah yang lebih gila lagi, warga Iran sampai keracunan alkohol karena mengira dengan meneguknya akan menjaga diri tertular dari Korona. Belum lagi di Korea Utara, siapapun yang terjangkit Korona akan ditembak mati jika meninggalkan karantina tanpa izin. 

Di sini saya tidak menyoroti bagaimana kondisi perekonomian dunia setelah virus ini semakin meluas atau Korona yang menjadi isu “pembunuh” umat manusia, tapi bagaimana Bumi diminta untuk beristirahat sejenak dari tugasnya menopang manusia-manusia dan segala tindak-tanduknya, termasuk ulah nakal yang melakukan penyelundupan satwa liar. Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi atau wabah penyakit global yang berasal dari satwa liar seperti kelelawar. Dalam kurun waktu 1 dekade, banyak satwa liar yang masuk pasar internasional secara ilegal.
Mungkin kita diminta untuk sadar dan berhenti menyusahkan lingkungan, atau barangkali kita ditegur agar berupaya menjaga keseimbangan ekosistem di bumi sebaik mungkin, dan hidup berdampingan dengan alam yang sudah memberikan tumpangan pada kita.
Faktanya, sebelum terjadinya wabah Korona, perubahan iklim hanya disibukkan dengan tanggung jawab kita untuk mengurangi emisi karbon. Tampaknya hanya menciptakan kesan “iya iya aku ngerti kok” saat isu perubahan iklim menjadi masalah besar. Kita masih bandel jika diminta untuk ikut terlibat dalam mencegah situasi lingkungan yang semakin kritis. Dari data  yang saya temukan (baca:NOAA) tahun 2019 merupakan tahun kedua yang terpanas setelah 2015. Suhu bumi mencapai 2 derajat Celcius yang dapat menyebabkan kekeringan ekstrem dan kenaikan permukaan laut.

Namun akhir-akhir ini, kabar dari ESA-NASA cukup mengejutkan saya. Katanya, udara di Italia lebih bersih dari polusi sejak pemerintah setempat memberlakukan lock down. Terjadi penurunan emisi nitrogen-dioksida secara drastis. Hal ini juga berlaku di Cina, polusi udara mengalami penurunan tajam antara awal Januari dan akhir Februari.
ESA, NASA
Memang tidak ada yang menyebutkan “untung” dari situasi sekarang. Bukan karena Bumi jadi bebersih, kedatangan Koronavirus adalah sebuah keuntungan. Bukan, bukan begitu konsepnya. Kita tetap tidak boleh panik, harus selalu waspada, jaga kesehatan agar imunitas tidak turun, tetap produktif dan istirahat cukup, juga tidak ngeyel saat diminta untuk melakukan penjarakan sosial, bukan malah liburan dan makan siang ke mall dong ((Otaknya pada ketinggalan apa gimana, hadeh)).

Jika memang ini adalah saatnya, maka izinkan Bumi untuk istirahat sebentar saja. Semoga dengan mengurangi aktivitas di luar rumah, Ibu Pertiwi juga ikut membaik kondisinya, kembali seperti sedia kala, entah itu karena Korona atau perubahan iklim yang semakin melanda. Kalau yang kemarin melakukan sesukanya, maka kali ini tahan sebisanya. Cuci tangan sesering mungkin, pakai masker saat sedang sakit, dan tidak nongkrong dulu di cafe ala-ala. 

Ah, ayolah, kerja sama. Kurangi gobloknya. 

Betul juga kata Fiersa, kalau Bumi hancur, kita juga.



Sumber pendukung:
www.kompas.com
www.mongabay.co.id
ESA, NASA (www.nasa.gov)

Senin, 09 Maret 2020

Fagetti Marmer: jawaban kebutuhan rumah impian minimalis bagi milenial

Beberapa waktu lalu, saya hanya menjadi penonton atas cuitan di media sosial yang mengusik para milenial. Sebut saja akun-akun konsultan keuangan yang dianggap sebagian orang memunculkan insecure karena membahas informasi seputar keuangan, mulai dari gaji, lifestyle, financial planning, investasi, sampai aset yang dimiliki. Kehadiran akun-akun seperti ini menjadi pro-kontra bagi pembaca, ada yang bilang kalau informasi yang diberikan mampu menjawab kebutuhan pengetahuan finansial bagi anak muda karena mendorong masyarakat lebih melek finansial. Namun ada juga yang menganggap bahwa mereka lebih sering melakukan fear-mongering atau kampanye dengan menjual rumor dan ketakutan untuk memengaruhi pendapat dan tindakan publik terhadap suatu tujuan/keputusan akhir (dikutip dari Wikipedia).
Sebetulnya pro-kontra yang muncul, kembali lagi pada pandangan masing-masing individu tentang bagaimana harus menyikapi fakta yang dibagikan. Sah-sah saja jika banyak yang tidak menerimanya, barangkali karena menyangkut kesiapan milenial dalam melanjutkan hidup ke jenjang yang lebih tinggi, atau mungkin sedang berada dalam fase bernama quarter life crisis, siapa yang tahu? Mari sama-sama bersikap bijak.

Tren memiliki rumah bagi milenial
Membahas soal informasi seputar finansial, hal yang paling menarik adalah saat ditanya mengenai apa aset yang sudah kamu miliki saat ini. Investasi dan rumah adalah aset yang popular di kalangan milenial. Segmen pasar properti beberapa tahun belakangan menunjukkan tren peningkatan (www.btnproperti.co.id). Dari survei yang dilakukan Rumah.com yaitu Consumer Afordability Sentiment Index, sebanyak 55 persen responden menyatakan memiliki rencana untuk membeli rumah di tahun 2019. 
Fun fact: sebagian besar responden yang menyatakan minatnya untuk membeli rumah berasal dari kalangan milenial.
Ada apa dengan milenial dan tren untuk memiliki rumah sendiri?
Generasi Milenial – atau Generasi Y, yang disebutkan oleh mayoritas peneliti serta ahli demografi sebagai generasi yang lahir pada dalam rentang tahun 1980-an hingga awal tahun 2000 merupakan generasi unik yang lahir di tengah-tengah pertumbuhan internet dan kemudahan informasi. Kelompok umur ini diidentifikasi memiliki karakter yang lebih kritis dan sangat dekat dengan teknologi. Walaupun karakteristik milenial berbeda-beda karena tergantung wilayah, kondisi sosial ekonomi, hingga pola hidup tiap individunya, namun ada karakteristik serupa yang dapat dikaitkan dengan tren memiliki hunian saat ini.  

Milenial adalah generasi kreatif dan cepat yang memanfaatkan perubahan dan peluang yang ada. Mereka (termasuk saya juga sih) saat ini sedang berada dalam Era Disrupsi atau era yang diramaikan dengan munculnya berbagai inovasi dalam teknologi digital serba canggih maupun dalam lingkup hidup sosial sehari-hari. Di era ini, sistem konvensional mulai ditinggalkan. Semua beralih menjadi online, entah itu sarana transportasi atau media massa sekalipun. Orang-orang gemar memulai sesuatu yang sifatnya anti mainstream dan tentunya tidak berbelit-belit.
Milenial merasa kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dalam pembelian properti dan ketersediaan berbagai insentif menjadi faktor yang mendorong tingginya minat untuk membeli rumah. Katanya lagi, pembeli rumah pertama yang adalah milenial merupakan segmen pasar yang paling tertarik untuk memiliki hunian di kawasan dengan kemudahan akses transportasi.

Sampai di sini make sense berarti ya? Ada faktor kemudahan dan peluang yang dilirik oleh milenial.
Lagi kata Chairman CT Corp Chairul Tanjung dalam sebuah artikel, saat ini kita mengalami dua disrupsi yang luar biasa yaitu bidang teknologi karena revolusi industri 4.0 dan gaya hidup karena adanya perubahan generasi.
Fun fact:Tren pengeluaran masyarakat Indonesia per bulan pada 2014 paling banyak dihabiskan untuk keperluan bukan makanan, yaitu persentase terbesar untuk membiayai perumahan dan fasilitas rumah tangga, lainnya adalah kebutuhan barang dan jasa. Padahal sebelum tahun 2007, porsi belanja masyarakat lebih banyak dihabiskan untuk membeli makanan.
Sumber: databoks.katadata.co.id
Sekali lagi, mohon garis bawahi dan beri highlight: membiayai perumahan dan fasilitas rumah tangga. Dari fakta tersebut dapat digambarkan kalau gaya hidup masyarakat mulai beralih dari “yang mengedepankan perut” jadi lebih “memikirkan ketahanan atap rumah dan kenyamanan di dalamnya”. Ya nggak sih? Masyarakat mulai menilai bahwa memiliki rumah dan membiayai fasilitas rumah tangga adalah kebutuhan yang penting.

Rumah minimalis, impian bagi milenial
Memiliki hunian lewat KPR memang merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh bagi milenial, tapi bagaimana kalau mencoba untuk membangunnya sendiri? Mulai dari interior, kepemilikan lahan, sampai bahan material diatur dan ditata sendiri sesuai selera pemiliknya. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari memilih membangun rumah sendiri dibandingkan membeli rumah sudah jadi dari developer.

Tentu menjadi tantangan tersendiri, ya namanya juga impian kan. Tapi nggak apa-apa, tidak ada yang salah dari bermimpi. Mari mewujudkannya pelan-pelan.
 
Dari sumber yang saya dapatkan, ada baiknya sebelum membangun rumah, perhatikan beberapa hal agar rumah yang diimpikan bebas sengketa dan nyaman untuk ditinggali (https://kpr.online).
Caranya adalah: Pertama, tentu saja siap lahir batin alias ada dana cukup yang menyokong pembangunan rumah. Kedua, pastikan bahwa lahan yang akan dibangun bebas sengketa. Selanjutnya, jangan lupa untuk mengantongi IMB dan perizinan yang berkaitan. Setelah itu, baru eksekusi membangun rumah bersama tukang yang sudah ahli. Nah bagian eksekusi ini menjadi sangat krusial karena harus hati-hati memilih desain interior dan bahan material yang dibutuhkan. Bagi saya, rumah impian yang terpikirkan adalah rumah minimalis modern, nggak tau ya kalau Anda ehe ehe. 

Rumah impian yang saya maksud adalah rumah dengan desain yang hanya menggunakan kebutuhan paling mendasar dan menekankan pada hal-hal bersifat esensial dan fungsional. Arti minimalis cukup membuktikan kalau luas lahan rumah tidak perlu sampai 6000 m2 seperti rumah impian versi Dodit Mulyanto yang ada di lereng gunung, lengkap dengan peternakan ayam, kuda-kuda, sampai hamparan rumput hijau. Oh sungguh tidak perlu begitu dong.

Yang menjadi pe-er di sini adalah bagaimana membangun rumah dengan desain arsitektur minimalis namun modern. Tentu saya ini bukan lulusan arsitektur yang memahami seluk-beluk dan tindak-tanduk sebuah hunian, tapi saya mencoba menelusuri contoh hunian gaya modern yang bisa diwujudkan dengan bantuan bahan material berupa marmer. Ya marmer. Anda tidak salah baca. 

Kenapa marmer?
Marmer merupakan batuan alami yang termasuk jenis batuan malihan. Permukaannya yang mengkilap dengan corak alami yang cantik, menjadi alasan mengapa marmer dipilih sebagai bahan yang sangat popular di kalangan masyarakat. Tampaknya marmer akan membantu rumah minimalis memiliki kesan mewah. Harus diakui kalau marmer adalah bahan material yang cukup mahal, jadi saya pikir marmer digunakan di dinding dapur saja untuk melengkapi interior modern. Beberapa gambar menarik berikut ini saya cuplik untuk ilustrasi rumah impian milenial.

3 alasan kenapa Fagetti Marmer menjadi jawaban kebutuhan bahan material rumah impian
Batu marmer merupakan salah satu bahan material untuk pembangunan rumah yang sudah banyak digunakan pada hunian modern. Tidak hanya menjadi material untuk lantai, marmer juga dapat digunakan untuk pelengkap perabot rumah tangga seperti meja makan dan dinding dapur. Tapi yang jadi persoalan adalah, marmer mana yang bisa menjadi jawaban kebutuhan bahan material untuk rumah minimalis? Kira-kira marmer mana yang terjamin kualitasnya dan terpercaya dapat memenuhi keinginan pemilik hunian?

Setelah riset, saya menemukan Faggeti Marmer sebagai jawabannya. Tentu karena 3 alasan ini:
Alasan 1: Fagetti merupakan perusahaan marmer dengan jenis marmer terlengkap, terpercaya, dan memiliki kredibilitas tinggi 
PT. Fajar Gelora Inti atau Fagetti merupakan produsen marmer dan batu alam yang didirikan oleh Ferdinand Gumanti sejak tahun 1986 dan telah memiliki koleksi lebih dari 900 jenis batu alam. Dengan waktu yang cukup lama berkecimpung dalam industri marmer, Faggeti membangun branding yang tidak tanggung-tanggung: menjadi supplier marmer utama di Indonesia.
Faggeti dipercaya untuk bekerja sama dengan mega proyek seperti Park Hyatt – MNC Media Tower, Menara Astra – BOD Area, Intercontinental Hotel Pondok Indah, Arkadia Tower Blog G dan PIK Office. Dan proyek lainnya seperti Jakarta Box, Kota Kasablanca 3, Mangkuluhur City, Eka Hospital Cibubur, Graha Binakarsa dan Green Sedayu Apartment.
Alasan 2: Fagetti Marmer memiliki kualitas premium serta warna dan corak eksklusif
Fagetti menciptakan jenis marmer dengan kualitas tinggi, serta warna dan motif bervariatif. Hal ini didukung oleh teknologi canggih yang dapat menghasilkan permukaan marmer yang halus seperti sutra hingga tekstur kasar yang dipahat. Faggeti Marmer mampu memenuhi keinginan para arsitek, product designer, juga pelanggan dengan detail dan ukuran yang sangat presisi. Bahkan sebelum digunakan, marmer yang dihasilkan harus melalui uji kekuatan dan kualitas terlebih dahulu. Jadi tidak dapat diragukan lagi kalau “karya yang rapi dan estetik” melekat pada marmer kelas premium ini.
Beberapa marmer dan batualam yang diproduksi oleh PT. Fajar Gelora Inti antara lain Marmer Putih, Marmer Statuario, Granit, Travertine, Limestone, Quartzsite, Silverstone, Basalt, dan Onyx. Ya Onyx. Jenis batu marmer keluaran Fagetti. Bukan pemilik blog ini dong tentu. 

Alasan 3: Material Fagetti marmer mewah yang memesona
Guratan cantik pada permukaan marmer Fagetti dapat menimbulkan kesan eksotis yang mewah. Marmer Fagetti dipenuhi mineral yang berkilau dan mampu memberikan nuansa ketenangan. Dari tampilannya yang elegan dan cantik, Fagetti marmer sangat cocok digunakan pada hunian-hunian modern karena karakteristiknya yang kokoh. 

3 alasan di atas adalah yang menguatkan saya untuk memilih Fagetti Marmer dalam memenuhi rumah impian minimalis versi milenial. Dengan Fagetti Marmer, dapur idaman yang saya impikan tidak mungkin akan berubah kusam dan tentu akan selalu berkilau. Emang sih harganya bisa tiga kali lipat dibanding material keramik biasa. Ya nggak apa-apa mahal, karena untuk mendapatkan sesuatu yang berkualitas, kamu memang harus mengeluarkan yang lebih kan?

Artikel ini diikutkan dalam Fagetti Blog Competition #Fagetti #MarmerTerbaik #MarmerFagetti #FagettiWold.


Sumber Pendukung: 
www.fagetti.com/blog 
www.rumah.com/ 
www.99.co/
www.idntimes.com/
www.situsnesia.com
databoks.katadata.co.id/
www.btnproperti.co.id/
www.aca.co.id/
kpr.online/
www.hipwee.com/

Diberdayakan oleh Blogger.