Rabu, 22 Oktober 2014

Dalam Gelap

Saya selalu penasaran dengan kebisingan yang kerap terdengar dari rumah tua di persimpangan jalan setiap kali saya lewati di waktu senja.
Awalnya saya membiarkan pikiran ini diam, kekeuh melanjutkan perjalanan. Tapi kaki ini kelayapan!
Pintunya tak terkunci. Kayu tua pelapis dinding yang reot mulai terdengar, beradu suara dengan paku perekat.
“Hei! Jangan berisik ada tamu.”
“Siapkan roti dan mentega!”
“Kau bercanda?”
“Hanya ada ikan seluang yang mati tadi malam.”
Saya mulai mencari sumber suara, bahkan di dalam gelap perdebatan itu terdengar sangat jelas. Astaga! Saya baru menyadari hanya ada satu objek di ruangan ini, lukisan di sisi sebelah kanan.




 #Prompt67 On the Riverside in MFF : 100 words

Selasa, 21 Oktober 2014

Tentang Mimpi ( I )






Saya punya mimpi yang sederhana tapi tidak semua orang menganggapnya berharga. Ada kala dimana mereka belum menemukannya. Iya, saya tahu setiap orang punya mimpi yang berbeda. Tapi percayalah, dulu saya adalah kerang tanpa mutiara, hampa, tapi sejak menulis saya kembali punya jiwa! Dengan menulis saya bisa mengekspresikan naluri dengan naturalnya, tanpa berpikir bahwa hidup harus terlihat sempurna.  Karena menulis, saya bisa menjadi pribadi apa adanya, tanpa menuntun saya menjadi sesuatu yang sebenarnya bukan saya. Tanpa terpaksa menjalani peran untuk menjadi serupa. Karena katanya, serupa adalah satu-satunya cara untuk bisa diterima. Menulis adalah cara bagaimana saya bisa bercerita dengan santainya, apalagi tentang cinta. Hanya dengan cinta, semua yang 
tak terlihat bisa menjadi nyata, semua yang kelam bisa menjadi berwarna, dan semua yang  sederhana bisa menjadi berharga. J




           
         

Senin, 06 Oktober 2014

Lelaki Tua di Tengah Gerimis


Sumber: Dokumentasi Pribadi Rinrin Indrianie

Aroma  ilalang merebak di sepanjang jalan, tak ada embun. Gerimis yang telah lama turun membasahi Gadjah Mungkur, memberi kesan sepi.  Hanya ada saya dan lelaki tua di sisi jalan, tapi posisi kami tidak berpapasan, saya berada agak jauh dibelakangnya, memerhatikan apa yang dipikulnya di atas sepeda ontel.  Betapa ia sudah tua dan butuh uluran tangan, tubuhnya yang digerogoti usia itu tampak begitu memprihatinkan, ia seorang diri.

Pasti  lelaki ini sejak tadi belum berteduh! Kemana anak-anaknya? Istrinya mungkin? atau cucu kesayangannya?

Oh, mungkin saja ia ingin menukar barang bawaannya dengan seikat padi untuk digiling menjadi beras, atau membagi ke peternakan untuk dijadikan jerami. Iya, tapi ini hanya hipotesa awal, saya tak sepenuhnya yakin.    

Kakinya gemetar, tubuhnya lunglai, namun terselubungi dengan baju biru yang tampaknya ia kenakan sejak kemarin sore, lusuh dan kumuh, atau ia sudah berjalan berhari-hari? Setidaknya ia membutuhkan receh atau secangkir teh panas. Saya terus membuntutinya dari belakang, ia tak curiga. Bau aspal terkena panas matahari yang baru saja dibasahi gerimis sangat menyengat, membuat saya semakin ingin tahu tujuan lelaki tua itu.  

Awalnya saya mengurungkan niat, berencana mengikutinya sampai saya tahu apa yang membuat langkah kakinya berada di jalan ini. Tapi yang benar saja, berjam-jam saya berteduh dibawah langit menganga, saya kedinginan!

“Pak, mau kemana?” tidak digubris sama sekali. Barangkali ia sudah pikun, saya ulangi pertanyaan yang sama.

“Anak saya kelaparan, dari kemarin belum makan. Saya dari bawah mau ke tanjakan memberi ini untuknya. Kasihan dia,” katanya kelelahan.

Saya terkejut.
Saat ia menunjuk ilalang di atas sepedanya. 

Prompt#65 in MFF: 243 words




Diberdayakan oleh Blogger.