Senin, 26 Mei 2014

If the time passed away


Jadi sejauh ini, masih ada yang aku khawatirkan.
Bukan tentang tujuan hidup, jodoh,  atau masa depan.
Bukan itu semua. Karena aku juga tau, untuk hal-hal yang terjadi, sudah ada yang mengatur : Tuhan.

Pertemanan. Terdengar klasik memang, tapi itu yang selama ini menjadi teka-teki dan sebenarnya sudah ada jawaban. Untuk sekian banyak orang, mereka malas memperdebatkan. Tapi tidak bagiku. 

Aku ragu untuk semua pertemanan yang sudah pernah ter-rangkai, kemudian dengan tidak sengaja menjadi sebuah cerita lalu diikat dengan tali yang mempereratnya.  Bahkan sampai saat ini, aku masih tidak yakin.
Time passed away, and I just can't get you off my mind. 
I keep on searching but I can't find you.

Terlalu banyak klise yang aku dengar dari mulut-mulut tak terkunci: "I always remember you."
Nyatanya?
Seminggu setelah tak ada lagi perjumpaan : "Heei...ada waktu kosong kan?kita kumpul bareng ya."
Sebulan setelah itu : "Aaa udah lama nggak cerita, ketemuan yuuk."
Setahun kemudian : "Halo... apa kabar? long time no see."

Lalu bagaimana 20tahun mendatang? Jelas aku ragu.
Dua insan yang pernah Tuhan pertemukan, kemudian karena "salahnya" waktu, mereka tak lagi saling mengenal baik, seperti dulu. Masing-masing sudah menjadi hal asing dalam hidupnya, sudah lupa dengan cerita, canda tawa, tangis haru, bahkan semua hal indah yang -kabarnya- akan menjadi kenangan. 
Entahlah, aku masih tidak paham. 
"But, sorry if I'm too shy to ask about you, I'm too proud to lose..
Will I ever see you smiling at me? no one knows."










Kamis, 15 Mei 2014

Alone Like a Bluebell (2)








Alone like a bluebell, waiting for the bluebird to come, and against me with the warmth of its love, forever more” -RA

Setangkai bluebells yang menunduk malu ternyata menjadi latar jendela berembun dikamarku. Padahal musim untuk para bunga lonceng ini bermekaran sudah tiba, tapi yang aku lihat ia hanya sendirian, menikmati suasana kota yang ramai dipenuhi oleh sekawanan manusia yang sedang mengadakan festival tahunan. Entahlah, tidak bisa dipastikan apakah ia benar-benar menikmatinya atau sedang menunggu kedatangan bluebells-bluebells yang lain.    

Sementara itu disurat kabar diberitakan tentang seorang manusia yang masih bertahan hidup dengan penyakit lamanya-kanker paru-paru-. Bertahan? Omong kosong! Percuma berjuang jika hasilnya nihil! Tak ada yang menarik. Bahkan dimusim ini begitu banyaknya objek yang bisa dilihat, tapi bagiku merokok adalah hal yang paling me-legenda.

“Kenapa tidak ada masalah semenarik bunga tulip yang aku lihat di Monet’s-Garden waktu itu ya?” Sambil menatap nanar keluar jendela, tak segan bibir ini menyeruput segelas kopi pahit ditemani dengan tiga bungkus rokok kretek.  

“Oh,  jadi laki-laki yang sudah tiga tahun terakhir hilang, ternyata berlibur ke Frankland?”. Ternyata ada seorang wanita yang sedari tadi memperhatikan apa yang sedang aku lakukan. Tapi jujur saja, aku sudah tahu kedatangannya kemari. Pertanyaan basa-basinya tak aku gubris sama sekali. Tatapanku kosong, sementara empat batang rokok sudah habis hingga ujungnya.  

“Kapan kau tiba disini? Tadi malam? Tapi aku tidak lihat seorang pun di apartmentmu.” Lagi-lagi ia mengusik kediamanku. Heh!Dasar tikus! Gerak-geriknya membuat aku tak nyaman, bukan mulutnya saja yang tak berhenti berceloteh, tapi tangannya pun ikut mengintrogasi benda-benda antik milikku.

“Wow, apa aku ketinggalan sesuatu? Sejak kapan kau punya ini?” katanya sambil menunjuk pohon sakura kecil disudut kamar.

“Hmm...kau baru saja dari Jepang? Mengapa tak pernah mengabariku?” Aku membiarkan wanita itu berceloteh panjang lebar, seolah-olah tidak ada lawan bicara. Kemudian ia mengambil sepucuk kertas dari pohon sakura kecil itu. Tingkahnya membuat aku geram, tapi berusaha mengendalikan emosi yang menggebu, karena sebenarnya aku paham, ia hanya mengumpan.

Teruntuk bluebells,
Aku tidak tahu apa yang sedang kau tunggu, mungkin seorang teman yang ingin memetik kemudian merawatmu dengan penuh cinta. Aku hanya berharap kesendirian yang kau rasakan berakhir secepatnya.
Ya, dulu aku pernah merasakan kesepian yang tak ada ujung, hidup seperti nyawa yang segan untuk mati. Dulu temanku hanya penyakit yang lebih buas dari singa betina, siang malam aku bersamanya menikmati hari-hari penantian. Tapi kemudian seseorang yang penuh arti hadir secara cuma-cuma dalam hidupku, lalu seperti daun Ek yang menyisir ke lautan,  ia hilang dan tak pernah kembali.”

“Tidak untuk yang itu, nona! Jangan sentuh apapun yang ada dikamarku!” Spontan aku berteriak karena ia sempat membaca harapan yang selalu aku simpan rapi disetiap ujung pohon sakura itu.  

Aku menatapnya tajam, ia seperti menjaga diri, takut kalau-kalau emosiku meledak seketika. Sesaat ia hanya diam, tapi kemudian berkomentar.

“Jadi siapa dia?” Ia menatapku sinis.

“Kau tidak perlu tahu soal itu, Anne. Hidupku sudah ditakdirkan untuk sendiri hingga keganasan penyakit yang dari dulu meronta-ronta ini berakhir.” kataku pasrah.

“Kemarin kasus pembunuhan George telah terungkap, dan pelakunya adalah Stefanus, bukankah itu rekan lamamu? Berhati-hatilah karena kabarnya kaulah target berikutnya.” Ia berusaha mengalihkan.

“Bukankah itu berita baik? Aku juga sudah muak hidup setengah mati dengan kanker ini, tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu.”
“Tapi...aku tidak mau itu terjadi.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin menjadi bluebells yang lain.”
Aku terdiam, berusaha mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Mungkin ini mengejutkan, tapi jujur, selama kau pergi, aku merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Aku berharap kau mengerti.”
Apa yang diingankannya?!
 “Aku hanya tidak mau terlambat lagi.”
Aku menatapnya dalam dan menemukan mata yang sama, yang dulu selalu membuat aku tenang.  
“Your eyes are the last thing I wanna see.” kataku memberikan jawaban.






Jumat, 09 Mei 2014

Bunga Anyelir dan Perempuan Senja



Keraguan senja untuk memasuki masanya tampak dikala itu, ia tidak berani memancarkan sinar oranyenya dimuka  sebuah rumah berdinding krem, bersembunyi dibalik pohon berkayu yang tinggi. Ia kehilangan nyali.  Sesekali senja yang cantik ini mengetuk pintu lalu tak ada jawaban, ia takut, kemudian mengintip melalui celah jendela, ingin tahu keributan apa yang sedang terjadi di dalam.

Ibu. Itulah yang saat ini menjadi penyebab senja segan memasuki rumah kami.  Apa yang sudah terjadi? Entahlah, aku juga tak tahu pasti, yang jelas saat aku pulang malam itu, suasana api yang baru saja padam  sangat terasa. Jelas berbeda dari senja-senja biasanya, yang selalu terselip cerita, yang membawa kami satu-persatu larut dalam kehangatan, bahkan canda tawa. Inilah yang sering disebut masalah.

Aku merasa ini bukan persoalan daun Ek yang sesekali jatuh tidak gugur langsung ke jalan setapak, terbang jauh menyisir-nyisir udara, kadang-kadang terbang sangat tinggi, kadang-kadang nyaris sekali menyentuh daratan. Tampaknya ini seperti hujan yang datang bersamaan dengan rekannya, petir, kemudian menyambar-nyambar, dan menumbangkan pohon-pohon yang lemah tanpa pondasi.

Bukan waktu yang menjawab. Ia hanya memperingatkan seluruh manusia untuk berjaga-jaga, kalau-kalau masih ada diantara mereka yang masih membekukan hati, tak memberi ruang sedikit saja untuk mendamaikan keadaan.

Kemudian malamnya, aku mulai membiarkan pikiran ini diam, tidak kelayapan untuk hal yang saat ini bukan menjadi tujuan utama. Lama aku berpikir, mata yang hampir lelah menatap langit-langit kamar menangkap sinar redup dari arah tenggara tempat tidurku. Ternyata laptop yang tergeletak diatas meja masih terbuka lebar, dengan bunga anyelir yang menghiasi latar desktop. Aku terperangah, baru menyadari memori tentang keperkasaan bunga itu, ia mampu menginspirasi rakyat Portugal untuk mengedepankan revolusi yang berlangsung damai, tanpa banyak penumpasan darah,  sehingga membuat kudeta terbebas dari kekerasan. Peristiwa ini secara efektif mengubah rezim Portugis dan menghasilkan perubahan besar pada sendi-sendi sosial, ekonomi, dan politik. Ini jelas karena kelembutannya yang memberikan perubahan besar dan menciptakan keadaan yang lebih baik.

Keesokan paginya kudapati mata sudah melihat pagi, menelan sejuknya embun-embun yang setia menemani. Aku masih berdiam diri, melihat ibu yang sedari tadi melihat kearah yang sama terus-menerus, ia melamunkan sesuatu, matanya sembab seperti habis menangis semalaman. Aku sedih melihat keadaan ini masih sama, hingga akhirnya kurangkul ibu penuh kelembutan, seperti Anyelir yang tak pernah bosan menyejukkan jiwa yang baru saja terbakar. Ibu menangis, ia menceritakan apa yang sudah terjadi kemarin, jelas mewakili hatinya yang lesu.

“Semua akan baik-baik saja, ma. Tenanglah dan berdoa. Tuhan tidak pernah sia-sia dengan rencanaNya.”


Aku masih memeluknya dalam hangat, membisikkan sesuatu yang memberikan ia kekuatan. Ibu tersenyum, ia yakin semuanya pasti akan indah pada akhirnya, karena jika tidak indah, maka itu bukan akhirnya. Hingga senja kembali datang, kali ini ia tidak takut lagi menampakkan diri. Karena tahu senyuman manis yang membawa ia kembali pulang, ke rumahku, ke hati kami masing-masing. Aku tinggalkan pintu dan menutupnya sampai malam menjemput. 
Diberdayakan oleh Blogger.