Kamis, 30 November 2023

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

foto jadul bgtt waktu masih culun


Sejak tulisan terakhir di blog ini dipublikasikan (tahun 2021), saya memutuskan untuk menutup akses publik. Alasannya sederhana, setiap kali membaca tulisan di sini saya seperti bertualang ke masa lalu yang jalannya tidak mudah, seperti melihat luka yang terus terulang bahkan belum selesai. Mengupas kejadian dengan menulis membutuhkan keterbukaan yang jika dilakukan malah bisa menjatuhkan diri sendiri ke tempat yang lebih dalam, pekat, gelap, dan tidak ada ujungnya. Meski begitu, saya tau kemana akan melangkah saat suatu waktu ingin mengingatnya dengan baik, entah itu kepedihan atau kebahagiaan.

 

Yes, ke blog ini.

 

Saya kembali lagi ke sini.

 

Menulis bahwa hidup yang tau-tau ini terlalu dekat dan cepat, tau-tau rutinitas yang dijalani sudah 9am to 6pm, tau-tau mengidolakan BTS, tau-tau jadi pengangguran di usia hampir kepala 3, tau-tau trauma memeluk dengan paksa, tau-tau kehilangan seorang teman, tau-tau hari ini dia sudah tiada.

 

Kata orang begini: “Mau seberapa sering menghadapi kehilangan, kamu tidak akan pernah terbiasa”, sampai suatu ketika saya menangis dalam diam. Berjam-jam. Tanpa menyadari apa yang sudah membuat saya begitu terluka. Waktu itu di siang hari menjelang sholat jumat, saya dikabari kalau seorang teman sudah pergi, menginjakkan garis finish setelah berjuang semampunya.

 

Pertemanan yang saya ingat bukan seperti ke sahabat dekat cerita dari A sampai kembali lagi ke A, bukan yang pernah 'deep talk' meski sama-sama introvert yang tertutup rapat, bukan haha-hihi dan huhu-huhu bersama, bukan yang setiap ada waktu luang nongki cantik supaya instastory estetik, bukan yang saling mengirimi hampers dan kado ulang tahun. Bahkan saya tidak tau dia berapa bersaudara dan berapa sapi yang dia punya (arek boyolali soale wk).

 

Pertemanan yang saya ingat cukup sederhana:

ketika saya belum menuliskan kehadiran saat buka puasa bersama, dia bertanya: “wujudmu dimana?”;

ketika dia lembur dan twitternya penuh karena mengeluh, saya menyela: “octo bgt yaallah”;

ketika saya jengkel karena responnya menyebalkan, dia terbahak: “wahaha yaampun happiest, duh senang sekali”;

ketika tiba momen hari raya, dengan sopan dia menyapa: “njing, test. Minta maaf kene mbe aku”; dan

ketika di suatu sore yang teduh saat pulang dari kampus saya iseng bertanya ingin menikah di usia berapa, katanya: “30 sih nik kalau aku”. Dan dia sudah lebih dulu pulang tanpa sempat menyelesaikan sisa tahunnya di usia 20.

 

Ini hanya pertemanan biasa yang isinya lempar argumen, debat nasib, adu ego, sampai sambat tanpa lihat tempat. Tapi saya tau tidak ada yang hati yang terluka karena kata-kata, saya tau kalau ini adalah cara berteman paling efektif karena misuh-misuh dan berbagi kabar bisa didapat sekaligus.  

 

Saya menyadari dia bukan hanya teman kuliah yang setelahnya tidak ada memori lain untuk dikenang. Dia teman sederhana, tengil, dan tidak terganti. Dia teman yang hangat, mengesalkan, dan akan selalu diingat. Dia teman yang murah senyum, gengsian, dan menularkan tawa. Dia teman yang ambis, rapuh, dan banyak cita-cita. Dia teman yang tidak sempurna, banyak luka, dan tidak putus asa. Dia adalah teman yang sering saya ceritakan ke teman lain.


Dari banyak hal tentang kehilangan, saya belajar bahwa semua orang yang ditinggalkan tetap melanjutkan hidup, tidak ada yang berubah sampai nanti 5, 20, atau 50 tahun mendatang suaranya pelan-pelan terlupakan oleh waktu. Tapi ya tidak apa, kan katanya yang patah akan tumbuh dan yang hilang akan berganti. Saya yakin dia bukan sekedar ‘pergi’ tapi pulang menuju tempat yang indah, sejuk, berwarna, estetik, damai, yang belum pernah dia datangi. Bahagia-bahagia kelak datang berlipat ganda, semoga.

 

Semoga saya tidak akan sering ke sini untuk menuliskan banyak hal-hal yang pedih.

Semoga badai marah riuh yang berisik cukup di tahun ini, berikutnya hanya ketenangan jiwa, tidak perlu sampai petualangan wara-wiri penuh makna.

Semoga, hari ini, besok, dan besoknya lagi masih ada ruang yang menyisakan tawa dan senang-senang saja.

 

Ah saya baru ingat, nangis yang terlalu waktu itu karena yang bikin hidup jadi lucu pergi satu persatu. Asu. Wkwk. 

 

- ditulis dengan hati yang penuh –

 

P.S: you are not that special To, I just want to remember you before I can’t remember anymore wk :P

 

Diberdayakan oleh Blogger.