Sabtu, 14 Mei 2016

Titik Tersulit : Mengenal Diri


“Nilai perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan”-Agustinus Wibowo

-Under the Southern Stars-
Adalah buku yang menjadi urutan kesekian untuk aku selesaikan dalam waktu yang lama. Entah berapa lama sudah tidak aku baca sejak bertemu langsung dengan penulisnya di 19 Mei 2015 lalu. Dialah Anida Dyah. Demi bertemu dengan engineer penuh nyali ini, aku rela bolos dua mata kuliah sekaligus. Haha. Aktivitas di balik kubikel perkuliahan yang menyita waktu selama beberapa semester membuat buku yang menawarkan alam dengan kebebasan penuh dalam perjalanan terbengkalai di atas almari, ia berdebu. Sampai pada akhirnya ia punya kesempatan untuk aku jelajahi. Kali itu disela-sela waktu dalam perjalanan dari Jakarta menuju Semarang, sembari menunggu jam transit yang panjang, halaman demi halaman secara acak aku buka untuk mengingat kembali cerita terakhir yang sempat dibaca. Hanya butuh waktu sekitar 5 menit untuk memastikan bahwa aku sudah mengingatnya dengan baik. Sesekali membuka bagian depan dan menemukan cerita tentang rekayasa resume yang berujung makian oleh chef dan supervisor atau kalimat dengan tulisan miring "So your mom chinese?" Haha, aku hanya tertawa, namun ketika aku mendapati kalimat ini “Bagaimanapun juga, Ibu selalu mengajariku untuk melakukan segala sesuatunya dengan hati dan senyuman, betapapun beratnya pekerjaan”, aku teringat bahwa ibuku juga mengatakan hal yang sama, untuk sabar dan tidak menjadi lemah.

-03.47 AM-
Belum sempat aku jejaki buku yang katanya jurnal itu selama jam transit, ada kesempatan lain pada jam 03.47 di selasar kampus di tengah tugas mengantri hingga aku selesaikan tanpa meninggalkan sisa penasaran. Tentang perjalanan mengenal alam dan lingkungan, juga diri sendiri. Rasa kantuk yang telah lama ku tahan berbalik arah, imajinasi dini hari justru melanglang buana entah kemana. Keningku berkerut. Apakah aku sudah mengenal diriku sebaik Anida mengenal dirinya? Jangankan untuk menjawab seberapa dalam aku pernah terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan, sedangkan seberapa dalam aku mengenal diriku sendiri saja aku tidak tahu. Aku terlalu sibuk berada dalam zona nyaman, sibuk mengurusi hal-hal kecil yang bahkan tidak penting untuk dipermasalahkan. Iya, aku. Ku kira prestasi yang mengagumkan atau IPK mumpuni dan lainnya adalah bagian terpenting dari pencapaian diri, tapi ternyata hal-hal terbaik justru datang dari kesederhanaan yang selama ini tak pernah disadari. Tentang pelajaran, usaha, dan proses yang bisa kau ceritakan pada anakmu kelak. Tentang hal-hal sederhana yang mendewasakanmu untuk menjadi siapa dirimu nanti. Tidak penting seberapa besar kau bisa mengubah dunia, tapi yang terpenting seberapa mampu kau bisa mengubah dirimu untuk membentuk kenyataan bagi tanah kehidupanmu sendiri.  
Mau mengalah demi menemukan titik netral seperti yang Aymeric lakukan merupakan tamparan keras bagiku yang sering kali tidak peka untuk mau memikirkan keinginan orang lain. Aku terlalu sibuk dengan kepentingan sendiri, mengurus perkara A, memikirkan plan B hingga berniat mendirikan tembok tinggi agar tak ada orang lain yang berniat masuk ke dalam. Bahkan seorang Anida bernyali untuk bertemu orang-orang baru dan melakukan perjalanan bersama Judith, Thomas, dan Aymeric dengan bahasa ibu yang berbeda.
Sejak aku mulai membaca chapter 12-Mirabooka, ada keinginan untuk membiarkan fajar membingkai ketenangan bersama gulungan angin dingin yang menusuk. Terimakasih kak! Untuk bintang yang kau bilang mengajarkan rasa nyaman, tentang awal sebuah mimpi dan keingintahuan pada dunia, tentang kokohnya ia menyemarakkan tata surya dan memberi sinar keperakan, untuk perpisahan dan harapan. Itulah filosofi yang Bapak ajarkan juga kepadaku. Tentang menghargai apa yang kau punya. Bukan tempat indah yang menjadikan perjalananmu menjadi berkesan, melainkan orang-orang yang ditemui sepanjang perjalanan.
Ku kira merantau adalah salah satu kesempatan untuk mengenal diri lebih dalam, agar kau tau makna sebuah pulang, karena rumah yang kau bilang adalah tempat hatimu berlabuh dan kembali. Dan kalimat “Ibu mengajarkanku untuk menjadi seorang perempuan tangguh yang mampu menghadapi segala masalah dengan kepala tegak, untuk menjelajah dunia seorang diri. Butuh keberanian, keteguhan hati, juga ketajaman naluri” dalam buku ini juga mengingatkanku pada Ibu yang mengajariku untuk tidak bergantung pada orang lain. Terimakasih kak Anid untuk bukunya! Terimakasih karena mengajarkan pembaca untuk berani berjuang mengejar mimpi, pun aku! 




Regards,
Onix
-Mahasiswi Planologi yang sekarang tidur nggak tidur menjalani semester 4- HAHAHA



See you kak!







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.